Z- Manhaj Salaf adalah satu-satunya jalan yang benar

MENGAPA MEMILIH MANHAJ SALAF?

oleh: Abu Hudzaifah

Buat Yang Masih Bingung

Rasulullah berkata: “Sungguh, aku tinggalkan kalian di atas yang putih bersih, malamnya seperti siangnya (artinya sangat2 jelas). Tidak akan menyimpang daripadanya sepeninggalku kecuali orang yang celaka.” (HR Ibnu Majah (1/16), Ahmad (4/126), Al Hakim (1/175) )

“Barang siapa yang kalian hidup sepeninggalku, maka kalian akan menyaksikan perselisihan yang sangat banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang kepada sunnahku (ajaranku) dan sunnahnya para khulafaur rosyidin” (HR abu dawud 4608, tirmidzi 2676, ibnu majah 44).

Umatku nanti akan terpecah menjadi 73 kelompok (HR Ahmad dan lainnya). Dalam riwayat tirmidzi ada tambahan “semuanya masuk neraka kecuali satu, yaitu aku dan para sahabatku yang berada di atas jalan tersebut”

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” (At taubah : 100)

Dari hadist2 di atas maka:

1. Sungguh islam sudah jelas dan terang, sesuatu itu menjadi tidak jelas dan membingungkan itu disebabkan karena “masih bodohnya” kita semua (sehingga janganlah malas untuk belajar dan bertanya) dan banyaknya syubhat yang bertebaran.

2. Salahkah ana apabila ana ingin selamat dari “fitnah”, ana menginginkan menjadi “golongan yang selamat” (firqoh an naajiyah) ?

3. Dari banyak nash, alqur’an maupun as sunnah (hadist), maka golongan yang selamat adalah “orang-orang yang berpegang teguh kepada alqur’an dan as sunnah sesuai dengan apa yang difahami dan di amalkan oleh oleh rosululloh dan para sahabatnya”. Sepakatkah kita dengan ini?

4. Mengapa tidak cukup bagi ana untuk mengatakan “berpegang teguh kepada alquran dan as sunnah “(titik)?

jawabnya: karena semua orang atau kelompok pun demikian. Tidak ingatkah kita dengan kelompok “khowarij” yang diperangi oleh Ali Rodhiyallohu anhu? Bukankah mereka sangat berpegang teguh kepada keduanya? bahkan “jargon” yang mereka bawa adalah “tidak ada hukum melainkan milik Allah” (al an’am : 57). Lalu dimana letak kesalahan khowarij? Salahkah Ali radhiyallohu anhu memerangi mereka? apakah kita akan katakan ali radhiyallohu anhu sebagai “tukang ribut”? apakah mereka (orang khowarij) tidak berpegang kepada al qur’an dan as sunnah?

Kita jawab : “mereka telah berpegang teguh..namun dengan pemahaman yang salah, bukan menurut pemahamannya nabi dan para sahabatnya..namun dengan pemahaman akalnya sendiri, kelompoknya sendiri atau pemimpinnya sendiri. Dan ali rodhiyallohu anhu tidak salah, karena selain jihad terhadap orang2 kafir, kita juga diwajibkan untuk berjihad terhadap orang-orang yang memiliki pemikiran menyimpang. Dan itulah yang dilakukan olah para ulama’ dalam membantah pemikiran-pemikiran atau syubhat2 yang batil lewat tulisan2 mereka. Dan karena waktu itu ali rodhiyallohu anhu adalah amirul mu’minin, maka beliau bisa berjihad dengan tangannya (memeranginya)

Maka dengan tambahan “sesuai dengan pemahaman nabi dan para sahabatnya” itu akan dengan sendirinya memilah mana yang benar dan mana yang salah.

5. Lalu gimana saya tahu itu sesuai dengan pemahaman dan pengamalan nabi atau bukan?

Maka jawabnya: B E L A J A R

Bukalah, bacalah dan fahamilah kitab2 para ulama yang terpercaya atau mu’tabar, semisal Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ath Thohawi, Al Qurthubi, Ibnul Jauzi, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dll. Dan juga ulama’2 sekarang semisal syaikh albani, syaikh bin baz, syaikh ibnu utsaimin dll (semoga Alloh merahmati mereka semuanya). Maka akan antum temukan banyak “mutiara” yang terpendam di dalamnya dan penjelasan yang terang benderang, seterang matahari di siang bolong.

6. Tapi gimana saya gak ngerti bahasa arab?

Kita jawab: maka memang benar, kebodohan adalah penghalang untuk sampainya hidayah. Jadi belajarlah Bahasa Arab.

7. Tapi belajar bahasa arab kan perlu waktu lama, gimana nanti kalau saya mati sebelum bisa bahasa arab? Gmn saya bisa tahu mana yang benar dan mana yang salah?

Jawabnya: Maka sambil belajar bahasa arab, bacalah buku terjemahnya dari “penerjemah dan penerbit yang terpecaya”. Dan juga belajarlah dari guru atau ustadz yang juga “terpecaya” akan ilmu dan akhlaknya.

8. mengapa sih harus pake “terpercaya” segala?

Jawabnya: Ingat perkataan nabi bahwasanya akan ada nanti da’i-da’i yang mereka menyeru pada neraka jahanam (kesesatan) (HR muslim 1847). dan juga perkataan seorang tabi’in bernama Muhammad bin Sirin mengatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” Beliau juga berkata: “Dahulu orang-orang tidak bertanya tentang sanad (rangkaian para rawi yang meriwayatkan) hadits, maka tatkala terjadi fitnah mereka mengatakan: sebutkan kepada kami sanad kalian, sehingga mereka melihat kepada Ahlussunnah lalu mereka menerima haditsnya dan melihat kepada ahlul bid’ah lalu menolak haditsnya.” (Riwayat Muslim dalam Muqaddimah Shahih-nya)

9. Nah..kesimpulannya, cara beragama (atau yang lebih dikenal dengan istilah “manhaj”) yang benar dan selamat adalah cara beragama dengan berpegang teguh kepada al qur’an dan as sunnah sebagaimana yang di fahami dan diamalkan oleh nabi dan para sahabatnya”.

Nah..untuk menyingkat itu maka sebutlah dengan istilah “manhaj salaf”.

Dan orang yang meniti manhaj salaf disebut dengan salafy (dalam bahasa arab disebut dengan nisbah pelakunya). Seperti orang yang mengikuti fahamnya asy’ariyah disebut asy’ari, orang yang mengikuti madzhabnya imam abu hanifah disebut hanafi, mengikuti imam ahmad disebut hambali.

10. Jadi, salaf adalah penisbatan kepada nabi dan para sahabatnya (yakni dalam beragama ini, baik keyakinan ataupun amalan). Sedangkan salafy adalah orangnya, yakni orang yang menisbahkan cara beragamannya dengan “salaf” yaitu nabi dan para sahabatnya.

11. terakhir…(afw agak panjang)

Mungkin ada yang bertanya: tapi banyak sekarang yang mengaku bermanhaj salaf tapi kenyataannya…?

Kita jawab: manhaj ini tidak butuh pada pengakuan, namun yang diperlukan bukti. seperti syair arab: “semua orang mengaku punya hubungan dengan laila, akan tetapi laila tidak mengakuinya”.

Maka ada 2 kemungkinan kalau ada orang yang mengaku bermanhaj salaf, namun kenyataaanya ucapan dan perbuatannya jauh dari manhaj salaf. Pertama: pengakuannya dusta. Kedua: pelakunya telah khilaf (setiap bani adam pasti punya salah). Maka celalah pelakunya (personnya), jangan antum hubungkan dengan mulianya “manhaj” ini.

Terakhir…..TERUSLAH BELAJAR…karena nabi bersabda: “barang siapa yang Allah ingin kehendaki baginya kebaikan, maka Allah akan fahamkan dia tentang masalah (ilmu) agama (HR Bukhori dan Muslim).

Paling terakhir..bagi yang masih bingung antara “salaf” dengan “salafi” adalah seperti orang non muslim yang masih bingung antara “islam” dengan “muslim”. (awas..! jangan salah faham, nanti ana dikira takfir, yaitu menyatakan orang yang masih bingung sama dengan non muslim. Tapi yang ana samakan adalah dari sisi “bingungnya”.

Maka janganlah islam ini dirusak dengan istilah “islam garis keras”, “islam moderat”, “islam militan” “islam nasionalis” dsb. ISLAM ya islam…dengan segala keagungan syariatnya. Maka kalau ada orang islam (muslim) yang suka ngebom (baca “teror), suka nyuri, kolot, jorok, pemalas….maka CELALAH PELAKUNYA. Dan jangan kau hubungkan sedikitpun dengan mulianya syari’at ini.

Dan ketika semua orang mengaku dirinya adalah beragama islam, namun kenyataannya mereka memahaminya hanya dengan akal mereka sendiri, kelompoknya, pemimpinnya dan hawa nafsunya sendiri, maka salahkah bila kita mengatakan bahwa islam yang benar adalah islam yang sesuai dengan apa yang pernah difahami dan diamalkan oleh rosululloh dan para sahabatnya?

Ana tidak sedang menyatakan pembenaran atas diri ana sendiri, karena meskipun ana mengaku bermanhaj salaf (salafy), namun sebagaimana manusia biasa, ana juga tak luput dari khilaf. Namun ana sedang menyatakan pembenaran atas cara beragama atau manhaj yang benar.

Mudah2an komentar ini bermanfaat untuk kita semuanya… dan afwan apabila ada kata2 yang mungkin kasar atau kurang pas, sekali lagi itu karena kekhilafan dan kebodohan ana, bukan karena jeleknya atau kurang sempurnanya manhaj salaf ini dalam metode menasehati atau amar ma’ruf nahi munkar.

Buat Yang Masih Bingung

7 Tanggapan

  1. Mengapa Harus Bermanhaj Salaf
    Penulis: Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari

    Orang-orang yang hidup pada zaman Nabi adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya sehingga kepada merekalah kita harus merujuk.

    Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj () dan salaf (). Manhaj () dalam bahasa Arab sama dengan minhaj (), yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957).

    Sedangkan salaf (), menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. (Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234). Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in). (Lihat Manhajul Imam As Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55).

    Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf () adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafi atau As Salafi, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala 6/21).

    Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dan bersatu di atasnya. Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal. Disebut juga Al Firqatun Najiyyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari neraka (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash), disebut juga Ath Thaifah Al Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban). (Untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An Najiyyah, karya Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali).

    Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

    Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa? Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Quran dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam Sunnahnya. Sedang kan Allah telah berwasiat kepada kita:
    “Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’: 59)

    Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut:

    1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

    “Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al Fatihah: 6-7)

    Al Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah.” (Madaarijus Saalikin, 1/72).

    Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang mereka itu adalah Salafush Shalih, merupakan orang-orang yang lebih berhak menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan “orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya mereka dalam mengikutinya.
    Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.

    2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

    “Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)

    Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.’” (Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).

    Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (As Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalannya para sahabat.

    Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan… akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan… dan kesudahannya masuk ke dalam neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali… na’udzu billahi min dzaalik.

    3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

    “Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” (At-Taubah: 100).

    Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar (As Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga seperti mereka.

    Al Hafidh Ibnu Katsir berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka dari jannah-jannah (surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/367).

    Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut:

    1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

    “Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455).

    Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh dengannya.

    Al Imam Asy Syathibi berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam -sebagaimana yang engkau saksikan- telah mengiringkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka sunnahkan benar-benar mengikuti sunnah nabi mereka  atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baik secara global maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain mereka.”(Al I’tisham, 1/118).

    2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

    “Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).

    Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang tafsir hadits di atas): “Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!” (Syaraf Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi, hal. 36).

    Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Sinan Al Muhaddits, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini: “Mereka adalah Ahlul Hadits.” (Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26, 37).

    Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), di dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di masa kini.” (Tarikh Ahlil Hadits, hal 131).

    Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari “sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.

    3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

    “…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: (golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).

    Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini sebagai nash (dalil–red) bagi apa yang diperselisihkan, karena ia dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara:

    – Pertama, bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk ke dalam neraka, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta Alam.

    – Kedua, kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan mereka berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan penyimpangan.

    – Ketiga, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh Ahlil Hadits hal 78-79).

    Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para sahabatnya berada di atasnya.

    Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus diikuti di dalam memahami dienul Islam ini, karena:

    1. Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus.

    2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam.

    3. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah surga yang penuh dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya.

    4. Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

    5. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

    6. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya.

    Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika:

    1. Al Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al Auza’i berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun orang-orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy Syari’ah, karya Al Imam Al Ajurri, hal. 63).

    2. Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah bid’ah.” (Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal. 322, saya nukil melalui kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54).

    3. Al Imam Abul Mudhaffar As Sam’ani berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al Intishaar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88).

    4. Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani berkata: “Barangsiapa menyelisihi sahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” (Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, 2/437-438, saya nukil melalui kitab Al Intishaar li Ahlil Hadits, hal. 88)

    5. Al-Imam As Syathibi berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan.” (Al Muwafaqaat, 3/284), saya nukil melalui Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57).

    6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa, 4/149).

    Beliau juga berkata: “Bahkan syi’ar Ahlul Bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa, 4/155).

    Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lamu bish shawaab.

    Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
    dengan mencantumkan sumbernya yaitu : http://www.asysyariah.com

  2. jika mengikuti sunnah nabi dituduh wahabi, maka saksikanlah bahwa aku seorang wahabi

    Imam Al-’Auza’i Rahimahullahu berkata : “Bersabarlah dirimu diatas sunnah, berhentilah sebagaimana mereka berhenti, dan katakanlah seperti apa yang mereka katakan serta cegahlah dari apa yang mereka cegah. Telusurilah jejak salafush sholeh”. (Syarhu ushul I’tiqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah 1/154 oleh Al-Lalika’i).

    Fadhilatus Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan :

    “Penamaan salafiy, atsariy atau yang semisal dengannya, hal ini sesungguhnya suatu hal yang tidak ada asalnya. Kita menilai dari hakikatnya bukan dari ucapan, penamaan ataupun dakwaan belaka. Terkadang ada orang mengatakan dia salafiy padahal dia bukan salafiy, dia atsariy padahal dia bukan atsariy. Terkadang pula ada orang yang (benar-benar) salafi atau atsari namun ia tidak pernah mengatakan dirinya atsari atau salafi. Karena itu penilaian itu dari hakikatnya bukan dari penamaan atau dakwaan belaka…” (Pengajian Syarh Aqidah ath-Thohawiyah, 1425 H, dinukil dari Kasyful Khola`iq karya al-Ushaimi)


    Fadhilatus Syaikh juga berkata :

    “Maka tidak ada perlunya kamu mengatakan “aku salafiy”, “aku atsariy”, “aku ini” atau “aku itu”. Namun yang wajib atas kalian adalah mencari kebenaran dan mengamalkannya untuk meluruskan niat. Hanya Alloh swt-lah yang mengetahui hakikat keadaan sebenarnya.” (sumber yang sama).


    Syaikh Abdus Salam bin Qasim al-Husaini as-Salafy di dalam kitabnya Irsyadul Barriyah ila Syar’iyyatil Intisab Lis-Salafiyyah menyebutkan ciri-ciri salafy sebagai berikut :

    1. Menjadikan Al-Qur’an dan sunnah sebagai pedoman hidup dalam segala perkara.

    2. Memahami agama ini sesuai dengan pemahaman para sahabat nabi, terutama dalam masalah aqidah.

    3. Tidak menjadikan akal sebagai landasan utama dalam beraqidah (misalnya: banyak mukjizat yg tidak “masuk akal”, karenanya jika kita menjadikan akal diatas segala-galanya maka kita akan sesat, buktinya bukankah dalam kesenian debus ada orang yang tidak mempan dibacok senjata tajam, bukankah akal tidak bisa menjelaskan kenapa bisa begini) .

    4. Senantiasa mengutamakan dakwah kepada tauhid ibadah (Seruan hanya Allah satu-satunya Dzat yang berhak disembah).

    5. Tidak berdebat kusir dengan ahli bid’ah serta tidak bermajlis dan tidak menimba ilmu dari mereka.

    6. Berantusias untuk menjaga persatuan kaum muslimin serta menyatukan mereka diatas Al-Qur’an dan sunnah sesuai pemahaman salafush sholeh.

    7. Menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam bidang ibadah, akhlak dan dalam segala bidang kehidupan hingga merekapun terasing.

    8. Tidak fanatik kecuali hanya kepada Al-Qur’an dan sunnah.

    9. Memerintahkan kepada yang baik dan mencegah dari kemungkaran.

    10. Membantah setiap yang menyelisihi syariat baik dia seorang muslim atau non muslim.

    11. Membedakan antara ketergelinciran ulama ahli sunnah dengan kesesatan para dai-dai yang menyeru kepada bid’ah.

    12. Selalu taat kepada pemimpin kaum muslimin selama dalam kebaikan, berdoa untuk mereka serta menasehati mereka dengan cara yang baik dan tidak memberontak atau mencaci-maki mereka.

    13. Berdakwah dengan cara hikmah.

    14. Bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agama yang bersumberkan kepada Al-Qur’an dan sunnah serta pemahaman salaf, sekaligus meyakini bahwa umat ini tidak akan menjadi jaya melainkan dengan ilmu tersebut.

    15. Bersemangat dalam menjalankan Tashfiyah (membersihkan Islam dari kotoran-kotoran yang menempel kepadanya seperti syirik, bid’ah, hadits-hadits lemah dan lain sebagainya) dan Tarbiyah (mendidik umat diatas Islam yang murni terutama dalam bidang tauhid).

    Dan seterusnya…


    Adapun akhlak salafiyin adalah sebagaimana yang telah disebutkan oleh Syaikh Samir Mabhuh al-Kuwaiti di dalam risalahnya yang berjudul Hiyas Salafiyyah fa’rifuuha :

    “Mereka adalah manusia yang paling baik akhlaknya, paling banyak bersikap lembut, lapang dan tawadhu’-nya. Mereka adalah yang paling bersemangat berdakwah menyeru kepada akhlak yang mulia dan amal yang paling bagus, dengan wajah yang ceria, menyebarkan salam, memberikan makan, menahan marah, menghilangkan kesusahan manusia, mendahulukan kepentingan kaum muslimin dan berusaha memenuhi kebutuhan mereka. Mereka senantiasa mengerahkan daya upaya di dalam menolong mereka, bersikap lembut dengan fakir miskin, bersikap kasih sayang terhadap tetangga dan kerabat, lemah lembut dengan penuntut ilmu, menolong dan berbuat kebajikan kepada mereka, berbakti kepada orang tua dan ulama dan memelihara kedua orang tua (di waktu tuanya).

    “Tidak diragukan lagi bahwa syariat Islam datang dengan memperingatkan dari sikap ekstrim di dalam beragama, dan memerintahkan untuk berdakwah ke jalan al-Haq dengan hikmah, pelajaran yang baik dan diskusi dengan cara yang lebih baik. Walau demikian tidaklah hal ini berarti meniadakan sikap tegas dan keras yang pada tempatnya apabila kelemahlembutan dan diskusi dengan cara yang lebih baik tidak bermanfaat lagi.” (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah III:204 oleh Imam Ibnu Bazz).

    -=======================================================

    Dari Abu Huroiroh, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda :

    “Semua umatku akan masuk surga kecuali yang enggan, para Shahabat bertanya : ‘Siapakah gerangan yang enggan itu ?’ jawab Beliau, orang yang ta’at kepadaku dia masuk surga dan yang durhaka kepadaku maka sungguh dialah orang yang enggan itu.” (HR. Bukhary 7280)

    Dari Abu Huroiroh radliallahu’anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda :

    “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang dengannya. Yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Al Hakim 1/93 dan Beliau menshahihkannya) Hadits ini memiliki banyak penguat.
    Dari Irbadl bin Sariyah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda :

    “Barangsiapa di antara kalian yang hidup nanti maka dia akan menyaksikan perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang terbimbing sepeninggalku, pegangilah sunnahku dan gigitlah dengan geraham-geraham kalian.” (HR. Abu Dawud 4607, At Tirmidzy 2676, Ibnu Majah 440 dan Ahmad 4/126 dengan sanad yang shahih)

    Ubay bin Ka’ab a berkata, ” Ikutilah oleh kalian sunnah Rasulullah dan janganlah kalian membikin kebid’ahan…..”
    (Riwayat Muhammad bin Nasher Al Marwazy dalam As Sunnah (2 dan Ibnu Wadldloh dalam Al Bida’ (17)

    Az Zuhry rahimahullah berkata, “Berpegang teguh dengan sunnah adalah keselamatan” (riwayat Al Lalikaiy 15)

    Abul Aliyah rahimahullah berkata, “Wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnah nabi kalian dan apa yang dijalani oleh para Shahabat “. (riwayat Abdur Rozzaq dalam Al Mushonnaf 20758, Al Marwazy dalam Sunnah 8 dan Lalikaiy 17)

    Al Auza’iy rahimahullah berkata, “Kita berjalan bersama dengan Sunnah kemanapun dia berjalan.” (riwayat Al Lalikaiy 47)

    ========================================
    Sesungguhnya manhaj salaf adalah satu-satunya manhaj yang benar, barangsiapa menyimpang dari manhaj salaf maka dia telah sesat, karena itu kita harus berpegang teguh dengan manhaj salaf agar selamat dunia akherat,
    contoh situs-situs yg bermanhaj salaf:

    http://www.salafy.or.id

    http://www.almanhaj.or.id

    http://www.muslim.or.id

    http://www.alsofwah.or.id

    http://www.asysyariah.com

    http://www.perpustakaan-islam.com

    http://www.bukhari.or.id

    http://www.jilbab.or.id

    http://www.islam-download.net

    http://www.hakekat.com

    http://www.muslimah.or.id

    http://www.sobat-muda.com

    http://al-ilmu.web.id/

    http://darussalaf.org/


    sumber: http://www.asysyariah.com
    http://www.almanhaj.or.id

  3. Dan Aku pun Dituduh Wahabi…

    Jika tuduhan wahabi dilekatkan kepada mereka yang membenci pengagungan kuburan, termasuk kuburan orang-orang shalih, maka aku adalah seorang wahabi!

    Jika label wahabi dilekatkan kepada mereka yang berdakwah untuk memurnikan tauhid, seperti firman Allah : ”Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun“ (QS Al Mu’minuun : 59), maka aku adalah seorang wahabi!

    Jika istilah wahabi disandarkan kepada mereka yang mengharamkan berdo’a kepada selain Allah mengikuti firmanNya : ”Dan janganlah kamu berdo’a kepada selain Allah, yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Yunus : 106) , maka aku ada seorang wahabi!

    Jika seorang wahabi adalah mereka yang selalu berusaha menjauhkan segala macam kesyirikan sebagaimana firman Allah , ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.“ (QS An Nisa : 48), maka aku adalah seorang wahabi!

    Jika sebutan wahabi dinisbatkan kepada mereka yang percaya bahwa Nabi Muhammad SAW tidak dapat memberikan syafaat melainkan dengan seizin Allah SWT sebagaimana firmanNya, ”Katakanlah: (hai Muhmmad) “Hanya kepunyaan Allah lah syafaat itu semuanya..“ (QS Az Zumar : 44) dan firmanNya : ,“ Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya.“ (QS Al Baqarah : 255), ataupun firmanNya, ”Dan tiadalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu..“ (QS Saba : 23), maka aku adalah seorang wahabi!

    Jika tuduhan wahabi dilontarkan kepada mereka yang mengharamkan segala jenis pengagungan atau keberkahan benda-benda dan tempat-tempat keramat, jimat, guna-guna termasuk segala ritual yang terkait dengannya, maka aku adalah seorang wahabi!

    Jika tudingan wahabi ditujukan kepada mereka yang berusaha mengenal Allah, agama Islam dan Nabi Muhammad SAW dengan lebih baik dan mendalam seperti yang dituliskan dalam kitab Utsuluts Tsalasah (3 Landasan Utama), maka aku adalah seorang wahabi!

    Dan masih ada banyak jika semisalnya yang dinisbatkan kepada mereka yang dianggap wahabi, yang secara menyeluruh berupaya memurnikan kalimat tauhid laa ilaaha illallah beserta segala aspek yang terkait dengannya berikut konsekuensinya, maka alhamdulillah, saksikanlah aku telah menjadi seorang wahabi!

    Sungguh yang perlu dipertanyakan kepada mereka yang berpandangan ”miring” dan cenderung meremehkan ketika memberi cap kepada seseorang sebagai wahabi, manakala semua jika diatas dikumpulkan dan dipertanyakan kepada diri masing-masing, kalimat apakah yang akan tertera mengikuti kata maka sebagai konsekuensinya? Karena menolak semua jika diatas maka keimanan akan persaksian terhadap kalimat tauhid yang selalu diulang dalam setiap shalat, perlu dipertanyakan.

    Bahkan sesungguhnya bukanlah yang memecah belah ummat ini dakwah untuk menegakkan tauhid – sebagaimana inti dakwah para nabi – melainkan dakwah lemah lembut yang membiarkan agama ini bercampur dengan segala kemusyrikan, adat istiadat, kepercayaan, bid’ah dan khurafat dengan dalih menghindari perpecahan ummat.

    Wallahu a’lam

    sumber; kumpulan artikel an najiyah http://www.islam-download.net

    Penulis : Ummu Abdullah Al-Butoni *)

    *) ini adalah sebuah pengalaman pribadi penulis dalam perjalanan menempuh kebenaran, dan saya mengenalnya dari room chat di Yahoo (buldozer)

    http://buldozer.wordpress.com

    =

  4. Telah berkata Abdullah bin Aun Al-Bashri Rahimahullah:

    “Jika hawa nafsu telah menguasai hati, maka seseorang akan menganggap baik sesuatu yang buruk”

    (Sallus Suyuf:24)

    ============================================

    MUTIARA KENABIAN

    Al-Imam Ahmad Rahimahullah berkata: Abdush Shamad mengatakan kepada kami: Al-Mustamir mengatakan kepada kami: Berkata kepada kami Abu Nadhrah dari Abu Sa’id Al-Khudri :

    Rasulullah bersabda:

    ”Janganlah salah seorang dari kalian terhalang untuk menyampaikan kebenaran, manakala kebenaran itu ia lihat dan ketahui, atau ia lihat dan dengar”

    (Al-Musnad, 3/46-47)

    Di dalam Sunan Ibnu Majah dari jalan Ali bin Zaid bin Jad’an, dari Abi Nadhrah,

    dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah sedang berdiri berkhutbah dan diantaranya bersabda:

    “Ketahuilah, janganlah kamu terhalang rasa segan kepada manusia untuk menyatakan kebenaran manakala ia telah mengetahui kebenaran itu”

    (Kitabul Fitan, hadits no.4007)

    MUTIARA FATWA

    Dalam surat Asad bin Musa yang ditujukan kepada Asad bin Furaat berbunyi:

    ”Wahai saudaraku, yang menjadi pendorong aku menulis surat kepadamu tidak lain hanyalah karena banyaknya orang yang memujimu tentang ketegasanmu dan sikap obyektifmu dalam menghidupkan sunnah dan menampakkan aib ahli bid’ah. Engkau seringkali menyebut-nyebut dan menghujat mereka, semoga Alah menghancurkan mereka lantaran kamu dan menguatkan pengikut kebenaran. Semoga Allah Ta’ala memberi kekuatan kepadamu dalam memerangi dan menghujat ahli bid’ah. Dan semoga Allah menghinakan mereka sehingga tidak melakukan bid’ah kecuali dengan sembunyi-sembunyi. Bergembiralah wahai saudaraku dengan balasan baik dan semoga masuk dalam amalan kebaikan paling utama dari shalat, puasa, haji dan jihad, manakah yang lebih baik daripada menegakkan Kitabullah dan Sunnah Rasul?” (Al-Bida’ wa an-Nahyu ‘anha, Ibnu Wadhdhah, hal.6)

    Imam Al-Qahthani dalam Nuniyah menghujat Asy’ari :

    ”Aku akan potong-potong kehormatan kalian selagi nyawaku masih di kandung badan

    Aku akan menyerang hizbi kalian dengan syairku hingga badanku dibungkus kain kafan

    Aku akan robek-robek penutup aibmu hingga titik darah yang penghabisan

    Aku akan menulis kepada penduduk negeri ini yang berisi hujatan kepada kalian hingga kalian berjalan terseok-seok laksana onta yang keletihan

    Aku akan bongkar seluruh syubhat kalian dengan hujjah-hujjahku hingga kebodohan kalian tertutupi dengan pengetahuanku”

    (Nuniyah Al-Qahthani, hal.52)

    Imam al-Qarafi berkata:

    “Aib ahli bid’ah dan kesesatan buku-buku mereka harus dijelaskan kepada semua orang agar orang-orang yang lemah iman dan ilmu tidak terjerat oleh kesesatan mereka. Tetapi harus dipisahkan kejujuran obyektif dan tidak gampang melempar tuduhan fasik dan kekejian tanpa bukti. Oleh karena itu kita tidak boleh menuduh ahli bid’ah berzina atau minum khamr tanpa bukti yang nyata.”

    (Al-Farq 4/207-208)

    Demikian itu pernyataan Salaf yang terkenal taat beragama, bertaqwa, zuhud dan wara. Mereka secara terang-terangan membolehkan menghujat dan menyebarkan aib ahli bid’ah, bahkan termasuk kewajiban yang berpahala besar. Begitu juga para ulama’ setelah mereka, mengeluarkan pernyataan yang sama.

    (Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Maktabah Al Ghuraba’ Al Atsriyah 1415 H, Penulis Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili1, doktoral jurusan Aqidah dari Jami’ah Islamiyyah Madinah yang lulus dengan predikat Summa Cum Laude, edisi Indonesia Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah, Bab Sikap Ahli Sunnah Tentang Menggunjing Ahli Bid’ah Agar Umat Selamat Dari Pengaruh Mereka)

    http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=416

    ==========================================================

    ”Diantara bukti nyata kesungguhan ahlul hadits yang sangat mulia ialah : Ilmu Naqd, Al-Jarh wat Ta’dil terhadap para perawi hadits, atsar, aqidah, kelompok, bid’ah dan kesesatan. BAHKAN KRITIK, JARH DAN TIKAMAN MEREKA TERHADAP AHLI BID’AH SANGATLAH KUAT DAN MANTAP. INILAH KRITIKAN MEREKA, JARH WAT TA’DIL MEREKA KEPADA PARA PERAWI DAN AHLI BID’AH.

    Perpustakaan-perpustakaan penuh-padat dengan kitab-kitab al-Jarh wat Ta’dil, Jarhul Khash, dan juga kitab-kitab aqidah yang MENCELA AHLI BID’AH. MEN-JARH DAN MENGGEMPUR MEREKA DENGAN GEMPURAN YANG LUAR BIASA, TERFOKUS PADA CELAAN DAN PENGHINAAN MEREKA TERHADAP AHLI BID’AH, TANPA BASA BASI DAN MUWAZANAH.

    MEREKA MENGANGGAP HAL ITU ADALAH JIHAD DAN TAQARRUB YANG PALING UTAMA. APALAGI JIKA JARH DITUJUKAN KEPADA DA’I-DA’I KEBID’AHAN. Mereka tidak akan peduli cercaan orang (ketika berjuang) di jalan Allah . TANPA MENARUH BELAS KASIHAN KEPADA MEREKA DEMI AGAMA ALLAH , karena kebid’ahan yang ada pada mereka jauh lebih berbahaya daripada kemaksiatan yang paling maksiat sekalipun. Dan karena ahli bid’ah itu lebih berbahaya terhadap agama Allah daripada ahli maksiat. Sebab, orang yang bermaksiat akan mengakui bahwa dirinya sedang menyelisihi perintah Allah dan sedang melanggar apa yang menjadi larangan Allah .

    Adapun ahli bid’ah yang senantiasa mengamalkan kebid’ahannya yang jelek dan menimbulkan kemurkaan Allah, justru meyakini bahwa perbuatan tersebut merupakan pendekatan diri kepada Allah.

    Tatkala kaum Muslimin lain menyerunya kepada ajaran yang benar, dia akan menjawab dengan sikap dan perkataannya:”(Yang ada pada kami) Inilah agama Allah!”

    Dia mengingkari kebenaran yang telah disyariatkan Allah di dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasulullah , sementara pada saat yang sama ia menuduh sesat kepada Al-Haq dan siapa yang membelanya.

    Maka adakah bahaya yang lebih besar terhadap Islam daripada ini?!

    Dari sinilah MAYORITAS ULAMA MEMANDANG BAHWA BAHAYA YANG DITIMBULKAN AHLI BID’AH TERHADAP ISLAM JAUH LEBIH DAHSYAT DARIPADA BAHAYA ORANG-ORANG KAFIR!!”

    (Al-Mahajjatul Baidla’, Syaikh Rabi’, Maktabah Al-Ghuraba’ Al-Atsariyyah, Cetk.3, 1418H/1997, hal.52-53)

    sumber:
    http://fakta.blogsome.com/2006/12/17/mutiara-fatwa/

  5. Tidak boleh Allah disifati kecuali menurut apa yang telah Dia sifatkan untuk Diri-Nya

    Sifat Allah SWTdiketahui hanya berdasarkan pada wahyu, sedang akal tidak mempunyai peran di dalamnya. Syekh Utsaimin, ulama Salaf masa kini (wafat Syawal 1421H di Saudi Arabia) menegaskan: “Untuk itu, kita tidak menetapkan sesuatupun sifat untuk Allah kecuali bila ada dasarnya dari Kitab dan Sunnah.

    Imam Ahmad –rahimahullah—mengatakan: “Tidak boleh Allah disifati kecuali menurut apa yang telah Dia sifatkan untuk Diri-Nya atau menurut apa yang telah disifatkan Rasulullah SAW, tidak boleh melanggar Al-Qur’an dan Hadits.” (Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin, Al-Qawaa’idul Mutslaa fii Shifaatillaahi wa Asmaaihil Husnaa, terjemahan M Yusuf Harun MA, Kaidah-kaidah Utama Masalah Asma’ dan Sifat Allah, CV MUS Jakarta, cetakan I, 1419H/ 1998, p 51.)

    =========================

    Imam-imam Salaf dan kaidah penting bagi Salaf

    Imam-imam yang dianggap sebagai imam Salaf di antaranya:

    Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Al-Bukhari, Imam Abu Ja’far At-Thahawi Al-Hanafi, Imam Ibn Abi Zaid Al-Qirawani Al-Maliki, Imam Ibnu Taimiyah, dan Imam Muhammad bin Abdul Wahhab.

    Kaidah yang penting dalam kajian Aqidah, menurut Salaf adalah:

    1. Al-Qur’an sebagai sumber dalil Naqli dan Aqli.

    2. Mengikuti Salafus Shalihin dalam menafsirkan nas-nash.

    3. Beriman kepada masalah-masalah ghaib terbatas pada berita yang benar/ sah (khabar shadiq).

    4. Pembagian tauhid kepada Rububiyyah dan Uluhiyyah dan kewajiban meyakini keduanya.

    5. Mengisbatkan (menetapkan) Asma wa shifat Allah, dan mengakui maknanya tanpa mencoba membicarakan kaifiyatnya.

    6. Menolak takwil.

    7. Membatasi akal dari memikirkan yang bukan bidangnya.

    8. Membatasi makna mutasyabbih dan menjelaskan bahwa Qur’an itu seluruhnya jelas dan dapat ditafsiri.

    9. Pengaruh sebab-sebab alam bagi akibat yang ditimbulkannya dengan izin Allah.

    10. Baik dan buruk dalam af’al adalah bersifat aqli dan syar’i.

    11. Tidak boleh mengkafirkan seorang muslim karena perbuatan dosa yang diikhtilafkan dan bukan dosa syirik besar karena kesalahan.

    [Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, dasar-dasar Aqidah Para Imam Salaf, 1416H, p 6-7]

    =======================================

    Allah berada di atas langit ke-7, di atas ‘Arsy (bantahan bagi yang berkata bahwa Allah ada dimana-mana, atau Allah tidak bertempat)

    Menurut Salaf, Allah itu Maha Tinggi di atas langit sesuai dengan keagungan Allah dan tidak sama dengan tingginya makhluk, karena sifat Mahatingginya itu adalah sifat yang sempurna bagi Allah. Hal itu sudah ditetapkan sendiri oleh Allah dalam kitabNya dan sabda Rasulullah saw, sedang fitrah dan cara berfikir yang sehat juga mendukung kenyataan tersebut.

    Al-Qur’an, hadits shahih, naluri dan cara berfikir yang sehat telah mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy.

    1. Firman Allah:

    الرحمن على العرش استوى. (طه: 5).

    Allah yang Maha Pemurah bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thaha:5).

    Pengertian ini sebagaimana diriwayatkan Bukhari dari beberapa Tabi’in.

    2. Firman Allah:

    “Apakah kamu merasa aman terhadap Yang di langit? Bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu….” (Al-Mulk: 16).

    Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan “Yang di langit” adalah Allah, sebagaimana dituturkan dalam Kitab Tafsir Ibnul Jauzi.

    3. Firman Allah:

    “Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berada di atas mereka….” (An-Nahl: 50).

    4. Firman Allah tentang Nabi Isa ‘as.

    “Tetapi Allah mengangkatnya kepada-Nya….” (An-Nisa’: 158).

    Maksudnya, Allah menaikkan Nabi Isa ke Langit.

    5. Rasulullah saw mi’raj ke langit ke tujuh dan difirmankan kepadanya oleh Allah serta diwajibkan untuk melakukan shalat lima waktu. (Riwayat Bukhari dan Muslim).

    6. Rasulullah saw pernah menanyai seorang budak wanita: “Di mana Allah?” Jawabnya: “Di langit” Rasulullah bertanya lagi: “Siapa saya?” Dijawab lagi: “Kamu Rasul Allah.” Lalu rasulullah bersabda: “Merdekakanlah dia, karena dia seorang mukminah.” (Riwayat Muslim).

    ======================================

    Ma’iyatullah (kebersamaan Allah dengan makhluk)

    Mengenai ma’iyatullah atau kebersamaan Allah, Salaf menjelaskan:

    Adapun firman Allah:

    وهو معكم أينما كنتم

    “….dan Dia (Allah) selalu bersamamu di mana kamu berada.” (QS Al-Hadiid: 4) maksudnya bahwa Dia bersama kita: mengetahui, mendengar, dan melihat kita di manapun kita berada. Apa yang disebutkan sebelum dan sesudah ayat ini menjelaskan hal tersebut, seperti keterangan dalam Tafsir Ibnu Katsir.

    Bahwa hakekat pengertian kebersamaan Allah dengan makhluk tidak bertentangan dengan keberadaan Allah di atas ‘arsy (diatas langit), karena perpaduan antara kedua hal ini bisa terjadi pada makhluk. Contohnya seperti dikatakan: “Kami masih meneruskan perjalanan dan bulan pun bersama kami.” Ini tidak dianggap kontradiksi dan tak seorangpun memahami dari perkataan tersebut bahwa bulan turun di bumi. Apabila hal ini bisa terjadi pada makhluk, maka bagi Allah –sekalipun berada di atas ‘arsy- tentu lebih patut lagi, karena hakekat pengertian ma’iyah (kebersamaan) tidak berarti berkumpul dalam satu tempat.

    ===================================================

    Tentang Allah dekat


    Ulama Salaf menjelaskan tentang Allah dekat sebagai berikut:

    Firman Allah SWT:

    “…Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS 50: 16).

    “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu…” (QS 56:85).

    Bahwa “dekat” dalam kedua ayat ini ditafsirkan dengan dekatnya para malaikat. Itu bukanlah perubahan nash dari dhahirnya, bila benar-benar dimegerti. Karena pada ayat pertama dilanjutkan: “(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat…” itu menunjukkan bahwa yang dimaksud “dekat” yaitu dekatnya dua malaikat pencatat amal perbuatan.

    Sedangkan ayat kedua, kata “dekat” di sinipun muqayyad, dibatasi dengan situasi saat pencabutan nyawa, di mana pada saat itu datanglah malaikat kepada orang yang hendak dicabut nyawanya. Berdasarkan firman Allah SWT:

    “Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajiban.” (QS 6:61).

    Kemudian firman Allah:

    “….tetapi kamu tidak melihat.” (QS 56:85).

    Merupakan bukti nyata bahwa mereka itu adalah malaikat, sebab ayat tersebut menunjukkan bahwa dzat yang dekat ini berada di tempat yang sama tetapi tidak terlihat oleh kita. Dan ini mendukung penafsiran di atas bahwa yang dimaksud dengan “dekat” ialah dekatnya malaikat, dengan alasan hal ini mustahil bagi Allah SWT. [Al-‘Utsaimin, Kaidah-kaidah Utama…, hal 104-105]

    Mengapa Allah menisbatkan “dekat” ini kepada diri-Nya, dan apakah ada ekspresi semacam ini sedang yang dimaksud adalah malaikat?

    Allah SWT menisbatkan dekatnya para malaikat ini kepada diri-Nya karena dekatnya mereka berdasarkan perintah-Nya. Mereka adalah bala tentara dan utusan-utusan-Nya. Dan ekspresi semacam ini dengan yang dimaksud malaikat pun ada, seperti firman Allah:

    فإذا قرأناه فاتبع قرأنه.

    “Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS 75:18).

    Maksud dari ayat ini bahwa Jibril membacakan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW. Padahal Allah SWT menisbatkan pembacaan ini kepada diri-Nya. Namun, karena Jibril membacakannya kepada Nabi SAW berdasarkan perintah Allah, maka benarlah bila pembacaan itu dinisbatkan Allah kepada diri-Nya [Al-‘Utsaimin, Kaidah-kaidah Utama…, hal 105] . Demikian pula ayat 74 Surat 11. Ibrahim bersoal jawab dengan malaikat-malaikat tentang kaum Luth. Sedang kalimatnya yujaadilunaa (dia bersoal-jawab dengan Kami).

    ==============================================

    Dikutip dari buku karya Hartono Ahmad Jaiz yang berjudul:
    Bila Kiyai Menjadi Tuhan, Membedah Faham Keagamaan NU & Islam Tradisional

    download ebooknya di http://www.pakdenono.com

  6. “Aku datang untuk menemui ummat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan kekuatan tapi dengan logika, tidak dalam benci tapi dalam cinta.”
    (Henry Martyn, missionaris)

    Perang Salib telah gagal, begitu kata Henry Martyn. Karena itu, untuk “menaklukkan” dunia Islam perlu resep lain: gunakan “kata, logika, dan kasih”. Bukan kekuatan senjata atau kekerasan.

    Hal senada dikatakan misionaris lain, Raymond Lull, “Saya melihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci, dan berpikir bahwa mereka dapat menguasainya dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai apa yang mereka pikir bisa diperoleh.”

    Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan darah dan air mata, tetapi dengan cinta kasih dan doa.

    Bagi para missionaris, mengkristenkan kaum Muslim adalah keharusan. Dalam laporan tentang Konferensi Seabad Misi-misi Protestan Dunia (Centenary Conference on the Protestant Missions of the World) di London (1888), tercatat ucapan Dr George F Post, “Kita harus menghadapi Pan-Islamisme dengan Pan-Evangelisme. Ini merupakan pertarungan hidup dan mati.” Selanjutnya, dia berpidato, “… kita harus masuk ke dalam Arabia; kita harus masuk ke Sudan; kita harus masuk ke Asia Tengah; dan kita harus mengkristenkan orang-orang ini atau mereka akan berbaris mengarungi gurun-gurun, dan mereka akan menyapu laksana api melahap kekristenan kita dan melahapnya.”

    Ringkasnya, misionaris ini menyatakan: Kristenkan orang Islam, atau mereka akan mengganyang Kristen!”

    Kekuatan “kata” yang dipadu dengan “kasih” seperti yang diungkapkan Henry Martyn perlu mendapat catatan serius. Konon, “orang Jawa” – sebagaimana huruf Jawa — akan mati jika “dipangku”.

    Jika seseorang dibantu, dibiayai, diberi perhatian yang besar (kasih), maka hatinya akan luluh. Pendapatnya bisa goyah. Bisa, tapi tidak selalu.

    Ketika kaum Muslim tidak lagi memahami Islam dengan baik, tidak meyakini Islam, dan menderita penyakit mental minder terhadap peradaban Barat, maka yang terjadi kemudian adalah upaya imitasi terhadap apa saja yang dikaguminya. Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki Muda menyatakan, “Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus.”

    Socrates, seperti diceritakan muridnya, Plato (427-347 SM), dalam karyanya The Republic, memandang demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang tidak ideal; lebih rendah nilainya dibandingkan aristokrasi (negara dipimpin para pecinta hikmah/kebenaran), ‘timokrasi’ (negara dipimpin para ksatria pecinta kehormatan), dan oligarchi (negara dipimpin oleh sedikit orang). Di negara demokrasi (pemerintahan oleh rakyat – the rule of the people), kata Socrates, semua orang ingin berbuat menurut kehendaknya sendiri, yang akhirnya menghancurkan negara mereka sendiri. Kebebasan menjadi sempurna. Ketika rakyat lelah dengan kebebasan tanpa aturan, maka mereka akan mengangkat seorang tiran untuk memulihkan aturan. (… when men tire of the lawlessness of a liberty… they appoint a strong man to restore order).

    ——————————————-

    Sebagai umat Islam tentu kita harus waspada terhadap semua orang kafir dan tidak boleh terjerumus ke dalam tipu daya dan propaganda sesat mereka. Bagaimanapun juga orang-orang kafir adalah orang-orang zhalim dan salah satu kezhaliman terbesar mereka adalah perbuatan syirik mereka.

    “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).” (An-Nisa: 89)

    “Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (An-Nisa: 101)

    Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. (QS Al baqarah; 120)

    Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda:
    “Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya! Tidaklah mendengar dariku seseorang dari umat ini baik orang Yahudi maupun orang Nashrani, kemudian ia mati dalam keadaan ia tidak beriman dengan risalah yang aku bawa, kecuali ia menjadi penghuni neraka.”

    Hadits di atas diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya no. 153 dan diberi judul bab oleh Al-Imam An-Nawawi “Wujubul Iman bi Risalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ila Jami’in Nas wa Naskhul Milali bi Millatihi” (Wajibnya seluruh manusia beriman dengan risalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terhapusnya seluruh agama/ keyakinan yang lain dengan agamanya).

    Al-Quran menegaskan, bahwa amal perbuatan orang-orang kafir itu laksana fatamorgana. “Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun.” (QS an-Nuur:39).

    Agama Islam lah yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Dia tidak menerima agama selainnya:

    “Sesungguhnya agama (yang diterima) di sisi Allah adalah agama Islam.” (Ali Imran: 19)

    “Siapa yang mencari agama selain agama Islam maka tidak akan diterima agama itu darinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)

    Agama Islam adalah kebenaran mutlak, adapun selain Islam adalah kekufuran. Siapa pun yang enggan untuk beragama dengan Islam yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia kafir.

    “Laknat Allah atas kaum Yahudi dan Nashrani.” (HR. Al-Bukhari no. 435 dan Muslim no. 531)

    Dengan penjelasan di atas, bahwa Yahudi dan Nashrani adalah kaum yang kafir, dimurkai dan terlaknat, dapatkah agama Islam disamakan dengan agama Yahudi dan Nashrani, terlebih lagi dengan agama selain keduanya yang tidak memiliki kitab samawi (kitab dari langit)? Dan jelas agama Islam tidak boleh dibangun di atas teologi inklusif, bahkan harus dibangun di atas keyakinan eksklusif bahwa hanya Islam agama yang benar, adapun selainnya adalah salah!

    “Sungguh telah ada bagi kalian contoh teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya kerika mereka mengatakan kepada kaum mereka (yang kafir musyrik): Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah tampak permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian selama-lamanya sampai kalian mau beriman kepada Allah saja.” (Al-Mumtahanah: 4)

    Memiliki sikap Al-Wala dan Al-Bara merupakan agama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai kekasih-kekasih (teman dekat), karena sebagian mereka adalah kekasih bagi sebagian yang lainnya. Dan siapa di antara kalian yang berwala dengan mereka maka ia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51)

    Ayat di atas menyebutkan keharaman untuk berwala dengan ahlul kitab secara khusus, sementara keharaman berwala dengan orang kafir secara umum, Allah nyatakan dalam firman-Nya:

    “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan musuh-musuh-Ku dan musuh kalian sebagai kekasih, penolong dan teman dekat.” (Al-Mumtahanah: 1)

    Bahkan Allah mengharamkan seorang mukmin untuk berwala dengan orang-orang kafir walaupun orang kafir itu adalah kerabatnya yang paling dekat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menjadikan bapak-bapak kalian dan saudara-saudara kalian sebagai kekasih apabila mereka lebih mencintai kekufuran daripada keimanan, dan siapa di antara kalian yang berwala kepada mereka maka mereka itu adalah orang-orang dzalim.” (At-Taubah: 23)

    ——————————————–

    Bahaya Penyatuan Agama-agama

    Penyatuan agama-agama dengan segala bentuknya adalah musibah paling besar yang menimpa kaum muslimin dewasa ini. Ini adalah kekufuran nomor wahid: memandang sama antara Islam dan kafir, hak dan batil, hidayah dan kesesatan, kebaikan dan kemungkaran, sunnah dan bid’ah, serta ketaatan dan kemaksiatan.

    “Sesungguhnya seruan kepada penyatuan agama, jika dilakukan oleh seorang muslim maka hal itu berarti kemurtadan yang nyata dari Islam, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip aqidah, meridhai kekufuran kepada Allah, menolak kebenaran Al Qur’an dan menolak fungsinya sebagai penghapus seluruh kitab sebelumnya, dan menolak Islam sebagai penghapus seluruh syariat dan agama sebelumnya. Berdasarkan hal itu, maka pemikiran tersebut tertolak secara syariat, dan haram secara pasti dengan seluruh dalil-dalil syar’i dari Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’.” (Raf’ul Litsam, hal. 76)

  7. SALAF DAN INTROSPEKSI DIRI

    Abu Hamzah A Hasan Bashori Lc. M.Ag

    1. Mu’awiyah ibn Abi Sufyan -Radiallahuanhu- (Al-Khalifah al-Umawi, wafat ada tahun 60 H pada usia 80 tahun)

    Mu’awiyah -Radiallahuanhu- pergi haji, lalu ia melihat sumur tua di Abwa’ (satu desa dari desa-desa yang ada di wilayah al-Far’ dari kota Madinah. Jarak dari Abwa’ ke Juhfah dari wilayah yang paling dekat dengan Madinah adalah 23 Mil. Di sana ada kuburan Ibu Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- Aminah binti Wahb.) Kemudian ia terserang penyakit laqwah (penyakit di wajah yang menyebabkan semacam perot di pipinya. Wallahu a’lam), maka ia memasuki rumahnya di Makkah dan menutup gordennya. Lalu ia memakai surban hitam pada pipi yang tidak terkena penyakit. Setelah itu ia mengizinkan orang-orang untuk masuk. Kemudian ia berpidato, memuji-muji Allah dan menyanjung-Nya lalu berkata:

    أَيُّهَا النَّاسُ ! إِنَّ ابْنَ آدَمَ بِعَرْضِ بَلاَءٍ، إمَّا مُبْتَلَى لِيُؤْجَرَ، أَوْ مُعَاقَبٌ بِذَنْبٍ، وَإِمَّا مُسْتَعْتِبٌ لِيُعْتَبَ، وَمَا أَعْتَذِرُ مِنْ وَاحِدَةٍ مِنْ ثَلاَثٍ، فَإِنِ ابْتُلِيْتُ، فَقَدْ ابْتُلِيَ الصَّالِحُوْنَ قَبْلِيْ، وَإِنْ عُوْقِبْتُ، فَقَدْ عُوْقِبَ الْخَاطِئُوْنَ قَبْلِيْ، وَمَا آمَنَ أَنْ أَكُوْنَ مِنْهُمْ، وَإِنْ مَرِضَ عُضْوٌ مِنِّي، فَمَا أُحْصِي صَحِيْحِيْ، وَلََوْ كَانَ اْلاَمْرُ إِلَى نَفْسِيْ، مَا كَانَ لِي عَلَى رَبِّي أَكْثَرَ مِمَّا أَعْطَانِيْ، فَأَنَا ابْنُ بِضْعٍ وَسِتِّيْنَ، فَرَحِمَ اللهُ مَنْ دَعَا لِي بِاْلعَافِيَةِ، فَوَاللهِ لَئِنْ عَتَبَ عَلَيَّ بَعْضُ خَاصَّتِكُمْ، لَقَدْ كُنْتٌ حَدَبًا عَلَى عَامَّتِكُمْ،

    “Wahai manusia, sesungguhnya anak keturunan Adam selalu rentan cobaan. Adakalanya diberi cobaan untuk diberi pahala, atau dihukum karena dosanya, dan atau orang yang meminta ampunan untuk diampuni. Dan saya tidak mengelak dari salah satu kemungkinan itu. Jika aku diuji, maka sesungguhnya telah diuji orang-orang shalih sebelumku. Jika aku dihukum karena dosaku maka telah dihukum orang-orang yang berdosa sebelumku. Dan saya mungkin saja termasuk dari mereka. Dan jika memang sakit (biasa) salah satu bagian anggota tubuhku maka aku tidak bisa menghitum kesehatanku. Seandainya pilihan itu diberikan kepadaku tentu aku tidaklah hakku atas tuhanku lebih banyak dari pada yang sudah Dia berikan kepadaku. Saya berumur lebih dari 60 tahun. Semoga Allah merahmati orang yang mendoakanku dengan keselamatan. Demi Allah seandainya sebagian orang khusus dari kalian menyalahkanku sungguh aku sayang pada kebanyakan kalian.” Maka orang-orang ramai mendoakannya, lalu Mu’awiyah menangis.” (Siyarul A’lam: 3/156; Tarikhul Islam: 2/323; al-Bidayah: 8/118; Tarikh Dimasyq: 59/215) Kata Sya’bi: Orang yang pertama kali berpidato (khutbah) sambil duduk adalah Mu’awiyyah -Radiallahuanhu- tatkala badannya gemuk.

    2. Anas ibn Malik -Radiallahuanhu- (Pelayan Rasul -Shalallahu alaihi wa salam-, wafat tahun 93 H, pada usia lebih dari 100 tahun)

    Anas ibn Malik -Radiallahuanhu- berkata: Pada suatu hari saya keluar bersama Umar -Radiallahuanhu- hingga masuk pagar kebun kemudian saya mendengarnya berkata, sedangkan antara saya dan beliau terhalang oleh tembok, beliau ada di dalam tembok, beliau berkata:

    عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أَمِيْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ بَخْ وَ اللهِ لَتَتَّقِيْنَ اللهَ ابْنَ الْخَطَّابِ أَوْ لِيُعَذِّبَنَّكَ

    “Umar ibnul Khaththab seorang amirul mukminin? Wah, demi Allah engkau akan bertakwa kepada Allah wahai ibnul Khaththab ataukah Dia akan menyiksamu.” (Ibnu Abid Dunya, Muhasabah an-Nafs, nomor 3)

    3. Ibnu Abi Mulaikah

    Ibnu Abi Mulaikah -Rahimahullah- berkata: Saya menjumpai 30 sahabat Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- kesemuanya mengkhawatirkan kemunafikan atas dirinya.” (Ibnu Rajab, Jami’ul Ulum wal Hikam, 407)

    4. Hasan Bashri -Rahimahullah- (Abu Sa’id, mawla Zaid ibn Tsabit, ibunya adalah mantan budak milik Ummu Salamah ummil mukminin. Melihat para sabahat besar, manusia yang paling mengerti tantang halal dan haram. Wafat di awal Rajab tahun 110 H, dishalati sehabis jum’atan di Bashrah. Begitu banyaknya yang melayat sampai shalat ashar tidak didirikan di masjid jami’.)

    Hasan Bashri -Rahimahullah- berkata:

    مَا ضَرَبْتُ بِبَصَرِيْ وَلاَ نَطَقْتُ بِلِسَانَيْنِ وَلاَ بَطَشْتُ بِيَدَيْنِ وَلاَ نَهَضْتُ عَلَى قَدَمِيْ حَتَّى أَنْظُرَ عَلَى طَاعَةٍ أَوْ عَلَى مَعْصِيَةٍ فَإِنْ كَانَتْ طَاعَةً تَقَدَّمْتُ وَإِنْ كَانَتْ مَعْصِيَةً تَأَخَّرْتُ

    “Saya tidak pernah menyorotkan pandangan, tidak pernah berbicara dengan dua lidah, tidak pernah memukul dengan dua tangan, dan tidak pernah bangkit di atas kakiku hingga saya melihat apakah saya di atas ketaatan atau di atas maksiat. Jika di atas taat maka saya lanjutkan, dan jika maksiat maka saya urungkan.” (Ibnu Abid Dunya, al-Wara’, nomor 195)

    5. Ibrahim at-Taimi -Rahimahullah- (ibn Yazid ibn Syuraik, wari’, zahid, pernah

    berdiam diri selama 40 hari tanpa makan. Wafat dalam tawanan al-Hajjaj tahun 92 H)
    Ibrahim al-Taimi -Rahimahullah- berkata:

    مَا عَرَضْتُ عَمَلِي عَلَى قَوْلِي إِلاَّ خَشِيْتُ أَنْ أَكُوْنَ مُكَذِّباً.

    “Saya tidak membandingkan amal saya dengan ucapan saya melainkan saya khawatir kalau saya seorang yang mendustakan.” (Sifat al-Shafwah: 1/321)

    يَنْبَغِيْ لِمَنْ لاَ يَحْزَنُ أَنْ يَخَافَ أَنْ يَكُوْنَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لِأَنَّ أَهْلَ الْجَنَّةِ قَالُوْا: ” اَلْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ ” وَيَنْبَغِيْ لِمَنْ لاَ يُشْفِقُ أَنْ يَخَافَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ لِأَنَّهُمْ قَالُوْا: إِنَّا كُنَّا فِيْ أَهْلِنَا مُشْفِقِيْنَ.

    “Orang yang tidak sedih seyogjanya khawatir termasuk ahli neraka, karena ahli surga berkata: Segala puji Bagi Allah yang telah menghilangkan kesusahan dari kami.” (Fathir: 34) Dan orang yang tidak merasa takut hendaknya khawatir tidak termasuk ahlisurga, sebab ahli surga berkata: “Sesungguhnya kamidulu di keluarga kami adalah orang-orang yang takut.”

    Dia juga pernah berkata: Saya bayangkan seolah saya berada di surga memakan dari buah-buahnya, meminum dari suangainya dan memeluk bidadarinya. Kemudian saya bayangkan diri saya ada di neraka, memakan dari buah zaqqumnya, meminum dari nanahnya, merasakan beratnya rantai dan belenggunya. Lalu aku tanyakan pada diriku sendiri: Kamu ingin apa? Dia berkata: aku ingin seandainya saja aku dikembalikan ke dunia tentu aku akan beramal shalih. Saya jawab: sekarang kamu berada dalam keinginanmu itu, maka beramallah.” (ibid)

    6. Ibrahim a-Nakha’i -Rahimahullah- ( mufti dan faqih Irak W. 96 )

    Adalah Ibrahim an-Nakha’i -Rahimahullah- selalu menangis kepada isterinya pada hari kamis, dan isterinyapun menangis kepadanya. Ibrahim berkata: Pada hari ini amal-amal kita dilaporkan kepada Allah.” (Lathaiful Ma’arif 1/138)

    Di tempat lain diterangkan ia berkata:

    “Pada hari ini amal-amal kita dilaporkan kepada Allah. Wahai orang yang menyombongkan ilmunya, kepada siapa kamu menyombongkan? Sementara yang kritis (melihat tajam) selalu mengawasi?! Wahai orang yang mengatakan nanti saja nanti saja (menunda-nunda amal), sampai kapan kamu menunda nunda?! Sementara Umur ini pendek sekali.” (Lathaiful Ma’arif: 1/101)

    7. Abu Malik an-Nakha’i -Rahimahullah- (ad-Dimisyqi, Ibnu Sakan menyebutnya termasuk sahabat nabi -Shalallahu alaihi wa salam-, tetapi yang benar beliau seorang tabi’in dan haditsnya adalah mursal)

    Abu Ayyub bercerita: Abu Malik pada suatu hari berkata kepada saya:

    يَا أَباَ أَيُّوْبَ احْذَرْ نَفْسَكَ عَلَى نَفْسِكَ فَإِنِّي رَأَيْتُ هُمُوْمَ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي الدُّنْيَا لاَتَنْقَضِيْ وَأَيْمُ اللهِ لَئِنْ لَمْ تَأْتِ اْلآخِرَةَ وَالْمُؤْمِنَ بِالسُّرُوْرِلَقَدْ اجْتَمَعَ عَلَيْهِ اْلأَمْرَانِ هُمَا الدُّنْيَا وَشَقَاءُ اْلآخِرَةِ

    Wahai Abu Ayyub, wasadai dirimu atas dirimu, karena aku melihat kesedihan orang mukmin di dunia tidak akan berakhir. Demi Allah seandainya tidak datang hari akhirat membawa kegembiraan kepada orang mukmin, sungguh telah berkumpul atasnya dua perkara: susahnya dunia dan sengsaranya akhirat.”
    Saya katakan: Bagaimana akhirat tidak membawa kegembiraan sementara dia bersusah payah untuk Allah di dunia dan beramal terus? Dia berkata:

    يَا أَبَا أَيُّوْبَ فَكَيْفَ بِالْقَبُوْلِ وَ كَيْفَ بِالسَّلاَمَةِ

    “Wahai Ayyub, bagaimana dengan diterimanya amal dan keselamatan?
    Kemudian beliau berkata:

    كَمْ مِنْ رَجُلٍ يَرَى أَنَّهُ قَدْ أَصْلَحَ شَأْنَهُ قَدْ أَصْلَحَ قُرْبَاَنَهُ قَدْ أَصْلَحَ هِمَّتَهُ قَدْ أَصْلَحَ عَمَلَهُ يُجْمَعُ ذَلِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يُضْرَبُ بِهِ وَجْهَهُ

    “Betapa banyak orang yang merasa bahwa dirinya telah memperbaiki urusannya, telah memperbaiki ibadahnya, telah memerbaiki niatnya, telah memperbaiki amalnya. Ternyata semua itu nanti akan dikumpulkan pada hari kiamat kemudian dipukulkan pada wajahnya.” (Muhasabah an-Nafs: 81)

    8. Waki’ ibnul Jarrah -Rahimahullah- (al-Kufi, sahabat Ibnul Mubarak, guru Imam Syafi’i, Imam yang agung, tidak pernah terlihat meludah, menyentuh kerikil dengan tangannya, bersumpah demi Allah, bergerak di majlis, duduk bersandar, dan duduk tidak menghadap kiblat. Beliau menyampaikan hadits sejak usia 33 tahun dan mengganti posisi gurunya Imam Tsauri di Makkah sepeninggalnya. Beliau memiliki kitab karangan yang sangat banyak. Lahir tahun 129, wafat sepulang dari haji ada hari Asyura’ tahun 197 dalam usia 66 tahun.)

    Pernah ada seorang laki-laki bernuat kasar kepada Imam Waki’, maka Imam Waki’ masuk rumah lalu melumuri wajahnya dengan debu kemudia keluar menemui orang itu dengan mengatakan:

    “Tolong tambahkan pada Waki’ karena dosanya, seandainya bukan karena dosanya engkau tidak akan dikuasakan atasnya.” (Siyar A’lam: 1/342)

    *Majalah Qiblati Edisi 9 Volume 3

    http://id.qiblati.com/artikel/

Tinggalkan komentar