KESESATAN DAN KERANCUAN DALAM POLITIK (2)

BEDA SISTEM POLITIK ISLAM DAN DEMOKRASI

Hak Murtad, Paham Sesat Demokrasi

B. Demokrasi

Demokrasi atau democracy/democratie adalah sistem masyarakat yang menekankan nilai pribadi dan kehormatan individu manusia, berdiri di atas asas kerjasama anggota kelompok dalam mengatur urusannya. Istilah demokrasi ini kadang menjadi istilah demokrasi politik, yaitu apabila manusia memerintah diri mereka atas dasar kebebasan dan persamaan, tidak membedakan antara pribadi-pribadi dari segi asal usul atau bangsa atau agama ataupun bahasa.[1]

Sumber lain menjelaskan, demokrasi (Yunani: demokratia; demos= rakyat; kratein= memerintah, kratia= pemerintahan), pemerintahan dengan pengawasan rakyat, dalam arti kata agak lebih sebagai keseluruhan daripada sebagai kelas, golongan atau perseorangan. Dalam negara-negara kota (city-states) Yunani, demokrasi hanya bagi warga negara saja (sebagai lawan orang asing dan budak belian). Pada masa Republik Romawi, lahirlah perwakilan rakyat. Pada abad pertengahan timbul angan-angan tentang adanya perjanjian di Inggris antara yang diperintah dan yang memerintah. Demokrasi modern digerakkan oleh revolusi Kaum Puritan di Inggris, serta revolusi-revolusi Amerika dan Perancis. John Locke, Jean Jacques Rousseau dan Thomas Jefferson adalah ahli-ahli teori demokrasi yang berpengaruh. Demokrasi timbul dengan adanya tuntutan persamaan, pertama-tama dalam bidang politik dan hukum, kemudian juga dalam bidang sosial ekonomi. Negara demokrasi modern dengan khas telah menumpahkan kepercayaannya pada suatu sistem partai-partai politik yang bersaingan (pemilihan).[2]

Secara etimologis, demokrasi mempunyai akar bahasa asing Yunani, berarti Hukum rakyat. Artinya, bahwa rakyatlah yang berhak mengatur dirinya sendiri.

Suatu aturan disebut demokrasi bila memenuhi dua prinsip dasar utama:

1. Kekuasaan ada di tangan rakyat.

2. Hak-hak dan kebebasan setiap individu bangsa dilindungi undang-undang demokrasi.[3]

Di dalam undang-undang demokrasi ada tiga macam kekuasaan bangsa:

1. Kekuasaan legislatif.

2. Kekuasaan yudikatif.

3. Kekuasaan eksekutif.

Kedaulatan di tangan rakyat, artinya rakyatlah yang berhak atas segala bentuk kekuasaan, mereka membuat undang-undang sendiri yang sesuai dengan selera mereka dan mereka pula yang berhak merenovasi atau mencabut kembali undang-undang yang mereka anggap tidak sesuai.

Bila suatu bangsa telah menciptakan undang-undang sendiri, lalu yang memegang kekuasaan peradilan adalah mereka, dan yang menyelenggarakan keputusan Hakim Demokrat adalah mereka pula. Maka apalagi yang tersisa bagi Allah Penguasa alam raya yang mencipta hamba dan mengutus kepada para Rasul? Dan Dia (Allah) pula yang menurunkan Kitab Undang-undang secara deteil, adil, lepas dari unsur kezhaliman dan tidak ada kekurangan apa pun.[4]

Dari Mana Sistem Demokrasi Itu Muncul?

Ideologi demokrasi merupakan produk hasil pemikiran panjang, muncul di kalangan peganut Kristen Barat yang berpaling dari syari’at hukum Allah. Bahkan mereka melakukan pembelotan dan perubahan-perubahan pada kitab-kitab Allah yang diturunkan dari langit, sehingga Allah mengangkat penguasa atas mereka dari raja-raja yang zhalim (akibat dari kezhaliman para manusia itu tadi). Akhirnya mereka hidup dirundung siksa dengan dalih pasrah kepada Tuhan agar mereka bisa berbuat semau mereka.

Setelah masa perubahan dan penyalahgunaan arti kitab-kitab yang diturunkan Allah dari langit, bangsa-bangsa Barat hidup dalam tekanan kezhaliman para raja yang seenaknya merampas harta dan menindas diri mereka. Kesengsaraan mereka diperburuk lagi dengan kekejaman gereja yang menghinakan mereka, pikiran mereka dikuasai dan dikelabui dengan membingkai kegiatan-kegiatan ritual untuk menuhankan selain Allah.

Bila ada yang mati di atara mereka, gereja memberi bekal tiket surga, demikianlah mereka hidup dalam sengsara.

Sekali lagi, bahwa bangsa-bangsa Barat penganut Kristen ingin sekali melepaskan diri dari sengsara kezhaliman para raja mereka dengan menyelenggarakan bermacam-macam pertemuan dan konferesi berulang kali sehingga lahir teori “Kedaulatan Rakyat”.

Demokrasi Mengingkari Aturan Tuhan

Kedaulatan rakyat adalah teori yang berangkat dari sebuah ilustrasi ingkar/kekafiran (ilhad), karena teori ini memandang manusia itu diciptakan, disepelekan lalu dibiarkan tanpa memiliki aturan hidup, tidak dijelaskan mana yang baik dan mana yang buruk, antara yang bermanfaat dan yang membawa sengsara, seakan-akan mereka dibiarkan chaos tanpa aturan dan tanpa pemimpin.

Dari rahim kondisi demikianlah ideologi demokrasi lahir kemudian dideklarasikan bahwa rakyatlah yang berkuasa, bukan lagi para raja.[5]

Inilah potret murni ideologi (demokrasi) yang kafir ini, yang telah diantisipasi oleh Allah sejak 15 abad lalu dalam firman-Nya:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُوْلاً أَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطّٰغُوْتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thaghut.’” (An-Nahl: 36)

Kini sinyal semakin terang bahwa teori demokrasi tidak akan bertemu dengan aqidah Islam dan tak pantas diterapkan di bumi negeri kita.[6]

Demokrasi Memberi Hak Murtad Asal Bukan Murtad dari Demokrasi

Berbeda dengan undang-undang syari’at Islam, kedaulatan mutlak adalah hak milik Allah semata, tidak ada yang mampu mempertentangkan kekuasaan-Nya, semua makhluk dan segala urusan adalah milik-Nya, bagi-Nya segala bentuk kekuasaan, milik-Nya segala undang-undang, tidak ada kedaulatan kecuali kedaulatan Allah Yang Mahasuci, di tangan-Nya segala kebaikan, Dia Kuasa atas segala sesuatu.

Beriman kepada sekularisme, demokrasi dan pemikiran-pemikiran kafir modern lainnya adalah suatu sikap yang bertentangan dengan iman kepada Allah.[7]

Demokrasi yang tak sesuai dengan Islam itu masih disertai pula lahirnya undang-undang jahiliyah (modern?) mengenai kebebasan hak individu yang diakui oleh demokrasi. Hak-hak dan kebebasan itu meliputi:

1. Kebebasan beraqidah (hak murtad).

2. Kebebasan moral, yang lebih populer dengan kebebasan individu.

3. Kebebasan berbicara dan berpendapat.

4. Kebebasan mencari dan memberi nafkah.

5. Kebebasan memperoleh dan memberi pengajaran.

6. Kebebasan bertempat tinggal.

7. Kebebasan berpindah atau berganti-ganti tempat.

Kebebasan pertama, kebebasan beraqidah, artinya kebebasan murtad (keluar dari Islam). Dalam sistem demokrasi, setiap individu mendapat kebebasan berganti-ganti agama dan aqidah sesuai kemauannya. Tidak seorang pun berhak menghalangi. Tetapi pada saat yang sama seorang individu tidak dibenarkan menuntut “murtad” (keluar) dari hukum demokrasi.

Bila demikian kenyataannya, logiskah bagi para pakar demokrasi muslim mengakui dan membenarkan pola pemurtadan semacam ini?

Sementara pandangan Islam tentang kebebasan beraqidah atau kebebasan memilih agama dan menganut paham ideologi cukup jelas dan gamblang, ketetapan hukum syari’at berangkat dari dasar petunjuk Rasul Muhammad Shallallahu Alaihi wa Salam:

{ مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ } .رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ والطيالسى ، وأحمد ، وابن أبى شيبة ، وأبو داود ، والترمذى ، والنسائى ، وابن حبان ، وابن ماجه عن ابن عباس . عبد الرزاق ، وابن أبى شيبة ، وأحمد عن معاذ . الدارقطنى فى الأفراد عن أبى بكر(

“Barangsiapa berganti agama (murtad dari Islam), maka bunuhlah dia.” (HR. Al-Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbas).

Maka kesimpulannya, segala bentuk upaya untuk melepaskan diri dari ikatan hukum-hukum Islam dan sikap jiwa tidak menyukainya, bahkan berusaha menghindar dari ketetapan dan persyaratan hukum Islam, tafsirannya tidak ada lain adalah kufur kepada Allah.[8]

Kenyataan di Dunia Ini

Demikianlah dua sistem yang sangat berjauhan. Sistem politik Islam memang beda jauh dengan sistem demokrasi. Secara sekilas tampaknya sistem politik Islam itu hanya teori, padahal sebenarnya telah ada dan dilaksanakan sejak zaman awal Islam, bahkan sampai kini oleh sebagian negeri-negeri Islam. Sayangnya ummat Islam di dunia ini banyak yang tidak mau memakai sistem politik Islam. Sebagian mereka karena memang tidak paham, dan sebagian lainnya hanya karena kalah pengaruh dengan sistem non Islam, atau mereka memang benci terhadap Islam, walau mengaku dirinya Muslim. Akibatnya, pemerintahan dijalankan dengan sistem non Islam alias kufur. Maka ummat Islam –sebagai rakyat– kerepotan dalam menjalankan Islam, dan sering mendapatkan PR (pekerjaan rumah) dari penyelenggara kepemimpinan yang memakai sistem non Islam. Dan ketika ummat Islam jadi lemah dari berbagai seginya, maka faktor utama yaitu disingkirkannya sistem kepemimpinan Islam itu tidak pernah disebut-sebut sebagai biang keladi atau penyebab utama, karena banyak orang Islam sendiri yang ragu-ragu bahkan menolak sistem politik Islam itu. Ironis memang.

Sebaliknya, ada sebagian kelompok Islam yang memfokuskan seluruh upayanya dan pemikirannya kepada satu fokus, yaitu seakan-akan kepemimpinan Islam itu tujuan utama dan pertama. Sehingga hal-hal pokok dan mendasar dalam Islam yaitu aqidah malah terabaikan. Akibatnya mereka dijadikan sasaran kecurigaan oleh penguasa, masih pula tentang pembinaan aqidah pun agak keteteran/terlantar. Tetapi anehnya, dalam kondisi seperti itu, kemudian mereka yang tujuan pokoknya mewujudkan kepemimpinan Islam itu tiba-tiba ada yang berbalik bermesraan dengan penguasa dan bergabung dalam sistem non Islam, dengan alasan “ini memang sudah keniscayaan”. Ummat Islam yang jadi pengikutnya pun kehilangan dua perkara besar, aqidah mereka terabaikan, sedang sistem politik Islam yang semula mereka idamkan terwujudnya pun kandas karena berbaliknya tokoh-tokoh mereka menjadi bermesraan dengan penguasa yang pakai sistem non Islam.

Sesuai dengan kenyataan bahwa sistem politik Islam itu belum tentu bisa dilaksanakan oleh ummat Islam di sebagian belahan bumi, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Pengasih dan Penyayang tidak memutlakkan terwujudnya sistem politik Islam itu pada setiap wilayah ataupun setiap masa. Ummat Islam hanya dituntut sebatas kemampuannya, dan hanya dimutlakkan agar jangan sampai mati kecuali dalam keadaan Muslim.

Aturan yang sesuai dengan kemampuan manusiawi itu tampaknya kadang disia-siakan oleh sebagian ummat Islam pula, hingga kemutlakan agar jangan sampai mati kecuali dalam keadaan muslim itu pun masih dilanggar. Sehingga ketika ajalnya sampai, si orang yang mengaku beragama Islam itu dalam keadaan ngotot menolak diterapkannya syari’at Islam di negerinya. Maka ketika jasadnya terbujur sebagai mayat yang akan menghadapi pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir di dalam kubur, tercatatlah ia sebagai penolak diterapkannya syari’at Islam di bumi Allah. Itulah yang perlu dipikir benar-benar oleh orang-orang yang sampai kini bersikap seperti itu, kata Hussein Umar Sekjen Dewan Dakwah (wafat pada hari Kamis 1 Rabi’uts Tsani 1428H/ 19 April 2007M, kemudian kepemimpinan Dewan Dakwah digantikan oleh Syuhada Bahri). (Wabil khusus para anggota MPR/DPR, di samping terutama pejabat eksekutif, yang justru sumpahnya saja bersumpah demi Allah tetapi sumpah untuk mempertahankan aturan thaghut, bukan aturan Allah. Ini sangat aneh bin ajaib. Mestinya mereka bersumpah: “Demi thaghut yang kami cintai”, biar sekalian jelas perkaranya. Karena sumpahnya demi Allah, tetapi untuk mempertahankan aturan thaghut, lantas bagaimana nanti cara mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala?) Dan juga orang-orang yang bergabung sambil mendukung sistem non Islam dengan dalih “kami ingin berjuang dari dalam” yang kebenarannya secara teori maupun palaksanaan masih sangat perlu diuji.

Alhasil, hanya disuruh oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk jangan sampai mati kecuali dalam keadaan muslim saja ternyata kadang masih enggan, dan masih pula memprovokasi massa untuk enggan pula. Inilah ujian bagi ummat Islam. (Lihat Buku Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, dengan sedikit tambahan keterangan). (Selesai, al-hamdu lilLah)

[1] Dr. A. Zaki Badawi A Dictionary of The Social Sciences, Libraire Du Liban, Beirut, cet. pertama, 1978, hlm. 101-102.

[2] Prof. MR. AG. Priggodigdo –Hassan Shadily MA, Ensiklopedi Umum, Penerbitan Yayasan Kanisius, 1977, hlm. 260-261.

[3] Apa yang dimaksud dengan “kekuasaan di tangan rakyat?” Bagi seorang muslim yang mau menyadari, undang-undang demokrasi seperti yang ditegaskan dalam ungkapan di atas jelas merupakan wujud undang-undang jahiliyyah kafir. (Syaikh Muhammad Aman bin Ali Al-Jamie, Haqiqah Al-Dimuqrattiyyati wa Annaha Laisat min Aal-Islam, terjemahan Saiful Islam: Demokrasi Murni Bukan dari Ajaran Islam, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, cet 1, 2000, hlm. 22).

[4] Ali Al-Jamie, hlm. 23.

[5] Ibid, hal 26-27.

[6] Ibid, hal 27.

[7] Ibid, hal28.

[8] Ali Al-Jamie, ibid, hal 36.

http://www.nahimunkar.com/kesesatan-dan-kerancuan-dalam-politik-2/

Tinggalkan komentar