Jawaban Syubhat Nasrani (2)

Oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi

Syubhat: Mengapa shalat pada agama Anda dengan bahasa Arab? Apakah Allah tidak faham kecuali bahasa Arab?

Jawab: Saya berterima kasih atas pertanyaan Anda yang penting ini. Anda memiliki hak untuk mengetahui jawabannya. Anda harus mengetahui bahwa menurut kaum muslimin, di dalam shalat terdapat tiga perkara;

Pertama, membaca al-Qur`an, dan ini tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab, dan akan saya jelaskan nati sebabnya apa.

Kedua, lafazh-lafazh dan ungkapan di dalamnya adalah bersifat tauqifiy (paten), tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab.

Ketiga; do’a, boleh bagi orang yang tidak bisa berbahasa Arab (atau tidak hafal doa yang berhasa Arab) untuk berdo’a dengan bahasanya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memahami seluruh bahasa. Dialah yang menciptakannya, dan Dialah yang mengadakannya, (tetapi tetap diajurkan untuk belajar berdoa berbahasa Arab yang ada dalam al-Quran dan Sunnah).

Dari sini, kita bisa memahami, bahwa boleh menggunakan bahasa apa pun dalam do’a di dalam shalat, jika orang yang shalat tidak mengetahui bahasa Arab. Ada pun membaca al-Qur`an, maka tidak boleh kecuali dengan bahasa Arab, sama saja apakah di dalam shalat atau pun di luar shalat, karena sebab berikut:

  1. Karena al-Qur`an adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak boleh bagi kami untuk mengubah, atau mengganti firman itu walaupun satu huruf.
  2. Karena membaca setiap huruf al-Qur`an adalah bernilai satu kebaikan, dan satu kebaikan berlipat sepuluh kali lipatnya. Seandainya al-Qur`an diterjemahkan, maka pastilah jumlahnya akan bertambah atau berkurang.
  3. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjaga kitab-Nya (al-Qur`an) dari penggantian dan perubahan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

    “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr (15): 9)

    Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan bagi setiap orang untuk membaca al-Qur`an dengan bahasa masing-masing, maka pastilah hal itu akan menjadikan perubahan al-Qur`an seperti yang terjadi pada Taurat dan Injil. Selanjutnya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjaga al-Qur`an dari penggubahan dengan bahasa Arab.

  4. Bolehnya membaca al-Qur`an dengan sejumlah bahasa itu akan membawa kepada kerancuan besar dalam makna al-Qur`an, karena manusia akan berbeda dalam menerjemahkan. Masing-masing orang akan mengklaim bahwa terjemahannyalah yang benar, yang kemudian terpecah belahlah kaum muslimin.

Terakhir, saya ingin Anda memahami bahwa asal syubhat ini adalah kedengkian yang disebabkan akan kegelisahan orang-orang Nasrani terhadap keunggulan bahasa ‘Arab di atas bahasa Latin di negeri Andalusia (Spanyol). Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kekuasaan kepada kaum muslimin di negeri Andalusia, mereka mendirikan satu peradaban yang menyinari seluruh negeri Eropa, dan menyebarkan agama Islam serta bahasa Arab di antara putra-putra Andalus. Bersamaan dengan pertengahan abad IX M, mimpi terbesar orang-orang awam di Eropa kala itu adalah agar anak-anak mereka bisa belajar di Universitas Cordova, di hadapan para ilmuwan kaum muslimin yang telah menyalakan lampu peradaban, dan menyinari kegelapan Eropa yang kelam dengan ilmu dan karya-karya mereka.

Adalah para pemuda, dan pencari ilmu, serta orang-orang terpelajar di Eropa melahap bahasa Arab bukan karena bahasa Arab adalah bahasa penakluk yang dengan kekuatan pedangnya menguasai pendidikan, akan tetapi karena bahasa itu adalah bahasa peradaban yang tegak, maka tidak ada jalan untuk bisa mendapatkannya kecuali dengan menguasainya.

Bahkan Gereja di Sevillah terpaksa menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Arab. Orang-orang Nasrani yang telah belajar bahasa Arab bisa membacanya. Sebagaimana  Bapa Paul Alvarez, salah satu pendeta di masa itu melihat kepada para pemuda Eropa yang keluar dengan diam-diam dari peradabannya dengan pandangan gelisah, seraya meletakkan kepalanya di antara dua tapak tangannya, serpeti orang-orang lain yang fanatik terhadap kaumnya, yang tidak ingin menoleh kepada sejarah dan perjalanan peradaban. Dia menulis:

“Sesungguhnya orang-orang Nasrani suka membaca bait-bait sya’ir Arab dan periwayatan mereka. Mereka belajar kepada para ilmuwan agama dan filosof Arab. Bukan dengan tujuan untuk mendebat mereka, akan tetapi untuk mendapatkan bahasa Arab yang benar dan anggun. Di manakah orang-orang biasa, yang membaca pelajaran al-Kitab dengan bahasa Latin? Atau mempelajari kisah-kisah para Nabi dan orang-orang suci? Duhai ruginya, sesungguhnya seluruh pemuda Nasrani yang berbakat membaca buku-buku berbahaa Arab, dan mempelajarinya dengan penuh semangat. Mereka mengumpulkan perpustakaan besar dengan biaya besar. Mereka tidak menghargai pendidikan keNasranian yang keberadannya sudah tidak layak untuk dipentingkan. Betapa celakanya… orang-orang Nasrani telah lupa, hingga kepada bahasa mereka sendiri. Di antara seribu orang, Anda akan sulit mendapatkan satu orang saja yang bisa menulis surat kepada temannya dengan bahasa latin.” (Tarikh Andalus (123))

Ya, orang-orang Spanyol yang lebih mengutamakan tetap tinggal sebagai orang-orang Nasrani, yang jumlah mereka adalah minoritas bila dibandingkan dengan orang yang mengesakan Allah dan masuk Islam telah memiliki bahasa Arab yang tidak diwajibkan atas mereka. Inilah yang diakui oleh Alvares dalam persaksiannya di atas.

Sekarang, marilah kita bandingkan antara toleransi Islam dalam mempergauli selain muslim, dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Katolik saat Granada jatuh, dimana mereka mengharamkan kaum muslimin untuk berbicara dengan bahasa Arab, lalu mereka mewajibkan bahasa mereka dengan paksa. Barangsiapa ditemukan membawa buku berbahasa Arab, maka dia akan dihukum dengan hukuman paling kejam. Mereka pun membakar ribuan buku berbahasa Arab yang berisi syariat (ajaran agama), termasuk ilmu duniawi.

Ini semua menjelaskan kepada setiap peneliti yang obyektif akan perbedaan Islam dengan Nasrani. Sekarang tahukah Anda akan sumber kebencian terhadap bahasa Arab?*

Syubhat: Anda mengklaim bahwa ajaran Islam yang pokok adalah “Tauhid.”  Pengakuannya: “Tiada Tuhan selain Allah dan hanya kepada Dialah kita wajib sembah sujud dan meminta pertolongan” (QS.1 Al-Fatihah 5).  Apakah kiblat dan konsep “Rumah Allah” sesuai dengan konsep Tauhid?

Jawab: Ya, sesuai dengan konsep tauhid. Karena berkumpulnya kaum muslimin di sekitar satu rumah, yaitu Baitullah, dan menghadapnya mereka dengan satu kiblat yang sama yaitu Ka’bah, dan bacaan mereka hanya kepada satu kitab, yaitu al-Qur`an, semua itu turut andil dalam menjaga persatuan kaum muslimin, agar tidak terpecah belah dan berselisih.

Ka’bah, tidak lain hanyalah kiblat, yang kaum muslimin menghadap kepadanya dalam shalat mereka, atas perintah Allah. Itu seperti pandangan persatuan mereka, serta kesatuan tujuan mereka. Mereka menziarahinya, serta thawaf di sekitarnya adalah demi menjalankan perintah Allah. Kaum Muslimin mengetahui bahwa itu hanyalah batu, yang tidak mendatangkan madharat, tidak juga memberi manfaat, akan tetapi kaum muslimin melaksanakan perintah Allah sekalipun belum mengetahui hikmah di belakangnya. Karena itu termasuk kandungan dari “hanya beribadah kepada Allah pencipta alam semesta”.

Tidaklah Islam itu mengajak kecuali hanya menyembah, beribadah dan taat kepada Allah saja, serta mencabut segala perbidatan kepada selain-Nya, manusia atau pun batu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاتَّخَذُوا مِن دُونِهِ آلِهَةً لَّا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلَا يَمْلِكُونَ لِأَنفُسِهِمْ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا وَلَا يَمْلِكُونَ مَوْتًا وَلَا حَيَاةً وَلَا نُشُورًا

“Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak Kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” (QS. Al-Furqan (25): 3)*

Syubhat: Sesungguhnya saya tidak mendapatkan seseorang dari para ulama, dan da’i kaum muslimin yang kami temui di Perancis yang bisa menjawab atas sebuah pertanyaan yang banyak menyulitkan mereka. Yaitu, bagaimana khamer menjadi haram, padahal aslinya adalah anggur yang halal? Ini hanyalah dari itu. Jawaban mereka selalu berputar sekitar perubahan kondisi anggur, karena dengan menjadikannya khomer, maka itu memabukkan. Akan tetapi saya tidak ingin filsafat tersebut, saya ingin mendapatkan jawaban tanpa masuk dalam rincian; bagaimana sesuatu yang diturunkan dari anggur atau apel bisa menjadi haram? Maka apakah mungkin bagi Anda untuk menjawab kami? (Marcell, Perancis)

Jawab: pertama, izinkanlah saya untuk menghaturkan terima kasih kepada setiap ulama dan para da’i yang telah menjawab Anda. Jawaban mereka semua benar. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas mereka dengan kebaikan. Ada pun berkaitan dengan pertanyaan Anda, maka sesungguhnya saya mengetahui apa yang Anda inginkan. Maka janganlah Anda menyangka bahwa ini termasuk kecerdasan. Bahkan itu adalah pengaburan yang dilakukan oleh syetan kepada Anda. Dari jawaban saya, Anda akan yakin dengan kesimpulan saya. Sebelum saya menjawab, saya katakan bahwa dengan logika aneh seperti itu, yang Anda ingin memaksakannya kepada kami, maka Anda pun akan mengalami kekalahan dalam pertandingan ini. Saat itu saya ingin Anda untuk berani mengakui kekalahan Anda. Saya menjawab dengan logika sama yang Anda ingin memaksakannya kepada kami. Yaitu, seharusnya Anda boleh menikahi putri Anda, karena dia itu berasal dari istri Anda yang halal, maka putri itu adalah dari wanita (istri) Anda itu. Sebagaimana Anda lihat saya jawab dengan logika yang sama, maka seharusnya Anda juga mengakui bolehnya pernikahan bapak-bapak dengan putri-putri mereka, agar syubhat Anda ini menjadi semakin kuat atas kami. Saya memohon hidayah kepada Allah bagi Anda.*

Syubhat: Mengapa saat kaum muslimin berhijrah dari Makkah ke Madinah, mereka shalat mengarah ke kiblatnya orang-orang Yahudi (Baitul Maqdis), akan tetapi setelah mereka berhasil mengusir orang-orang Yahudi, Muhammad –Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- dengan hujjah telah turun kepadanya wahyu untuk mengubah arah kiblati dari Baitul Maqdis ke Makkah yang di dalamnya terdapat Ka’bah?

Jawab: Pertama, Baitul Muqaddas bukanlah kiblat untuk orang Yahudi saja, melainkan juga untuk orang Nasrani. Akan tetapi kala itu orang-orang Yahudi yang marah karena adanya perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Penghadapan kiblat kearah Baitul Maqdis kala itu dijadikan oleh orang-orang Yahudi sebagai alasan untuk menolak masuk Islam, dimana mereka di Madinah mengatakan dengan lesan mereka bahwa pengarahan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang yang bersamanya ke kiblat (Baitul Maqdis) adalah sebuah dalil bahwa agama mereka (Yahudi) adalah agama yang sebenarnya, dan kiblat mereka adalah kiblat yang sebenarnya. Maka merekalah yang asli dan agama yang benar. Mereka (Yahudi itu) mengatakan, bahwa yang lebih utama bagi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang bersama mereka adalah kembali ke agama mereka (Yahudi), tidak mengajak mereka untuk masuk Islam.

Pada waktu yang sama, perkara itu menjadi berat atas kaum muslimin bangsa Arab yang mereka sudah terbiasa di zaman jahiliyah untuk mengagungkan Baitul Haram, dan menjadikannya sebagai Ka’bah, dan kiblat mereka. Perkara itu semakin menjadi sulit saat mereka mendengar dari orang-orang Yahudi kebanggaan mereka dengan perkara ini, dan menjadikannya sebagai alasan untuk membenarkan yahudi. Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri membolak-balikkan wajah beliau ke langit, bermunajah kepada Tuhan, tanpa berbicara dengan lisannya, sebagai bentuk adab kepada Allah, serta menunggu arahan yang diridhai-Nya. Kemudian turunlah al-Qur`an mengabulkan apa yang ada di dalam dada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan wahyu dengan firman-Nya:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاء فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya….” (QS. Al-Baqarah (2): 144)

Ketika kaum muslimin mendengar pengalihan arah kiblat, sebagian dari mereka tengah berada di dalam shalat mereka. Maka mereka pun mengalihkan wajah mereka ke arah Masjidil Haram di tengah shalat mereka dan menyempurnakan shalat mereka ke arah kiblat yang baru.

Saat itulah hilang sudah terompet orang-orang Yahudi yang membanggakan mereka, dengan mengalihkannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang bersama beliau dari kiblat mereka, yang dengannya mereka kehilangan hujjah yang menyandarkan kebanggaan mereka kepadanya.

Sekarang, biarkanlah saya menjelaskan kepada Anda dan juga kepada kaum muslimin, terutama para penuntut ilmu, akan hikmah dialihkanya kiblat dari Ka’bah pada awal tinggal mereka di Madinah. Sungguh ini adalah sebuah kejadian besar di hati mereka, dan memiliki pengaruh besar dalam kehidupan mereka. Hikmahnya adalah agar menjadi jelas siapa yang mengikut Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan siapa yang membelot. Adalah orang Arab mengagungkan Baitul Haram dalam masa jahiliyah mereka. Mereka menjadikannya sebagai simbol keagungan mereka. Saat Islam ingin membersihkan hati untuk Allah, serta melepaskannya dari ketergantungan kepada selain-Nya, dan membebaskannya dari segala keterpikatan, dan segala kefanatikan kepada selain manhaj Islam yang terikat dengan Allah secara langsung, yang bersih dari segala endapan sejarah dan kesukuan, maka mencabut mereka dengan sekali cabutan dari arah baitul haram yang kemudian memilihkan mereka untuk sementara waktu ke arah masjidil Aqsha, demi membersihkan mereka dari endapan jahiliyah, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan masa jahiliyah agar menjadi tampak siapa yang mengikuti Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan ikhlas dan siapa yang membelot karena bangga dengan keterpikatan jahiliyah yang berkaitan dengan jenis, kaum, bumi, dan sejarah.

Dikarenakan pembimbing dan pengajarnya adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka pasrahlah kaum muslimin, dan menghadap ke arah kiblat yang telah ditentukan untuk mereka. Saat perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala turun untuk mengarah ke Masjidil Haram, maka hati kaum muslimin pun terikat dengan hakikat yang agung, yaitu bahwa rumah tersebut adalah rumah yang dibangun oleh Ibrahim dan Isma’il ‘Alaihima Salam agar menjadi murni untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. (AR)*

Diperbolehkan mengcopy artikel ini dengan syarat:
menjaga Amanah ilmiah dan mencantumkan link berikut:

Tinggalkan komentar