Merdeka, Bung! Aduuuh, Merdekaa…

Hari Senin, 17 Agustus 2009. Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-64. Disingkat HUT RI ke-64. Apa sih arti merdeka bagi Anda? Apa ya makna kemerdekaan bagi bangsa ini? Kita sudah merdeka atau belum merdeka?

Mari sejenak memaknai arti kemerdekaan…

[1] Sebuah bangsa yang sulit memberi pekerjaan kepada rakyatnya, dan bangga mengekspor para pembantu (TKW) ke luar negeri.

[2] Sebuah bangsa yang tidak memiliki kebanggaan terhadap hasil karya sendiri. Lebih bangga menjadi konsumen produk asing. Pesawat, senjata, amunisi, membeli dari luar negeri. Alat berat, teknologi, konsultan ahli, juga didatangkan dari luar negeri. Merek komputer, notebook, HP, mobil, motor, mesin, bahan kimia, dll. juga produk milik asing. Pakaian, sepatu, tas, jam tangan, perhiasan, dll. juga khas produk asing. Bahkan sabun, pasta gigi, sampo, deterjen, bedak, obat, kecap, saus, dll. juga diproduksi oleh perusahaan under license.

[3] Sebuah bangsa yang budayanya sendiri hampir mati, tradisi positifnya nyaris tenggelam, kebanggaan sosialnya tidak ada lagi. Bangsa itu lebih menyukai budaya Barat, mulai dari musik, konser, film, game, kuliner, fashion, aksesoris, dll. Sementara para penguasanya berprinsip EGP (Emangnya Gue Pikirin).

[4] Sebuah bangsa yang ribut setengah mati ketika bicara tentang pendidikan, anggaran 20 %, sekolah gratis, konsep kurikulum, dll. Tetapi sejak dulu mayoritas rakyatnya tetap bodoh.

[5] Sebuah bangsa yang minat baca rakyatnya kurang dari 0,5 %. Mana ada negara yang maju dengan minat baca serendah itu?

[6] Sebuah bangsa yang tidak berdaulat dalam mengurus ekonominya sendiri. Selalu menjadi “pasien budiman” lembaga-lembaga moneter dunia. Hobi dengan hutang luar negeri, mengadopsi sistem liberal, memanjakan kapitalisme, tidak berani bersikap mandiri, tidak ada kesungguhan membesarkan ekonomi rakyat kecil.

[7] Sebuah bangsa yang semakin merosot moralnya, semakin pragmatis, semakin materialis, semakin egois, semakin berpikir pendek, semakin miskin kearifan, semakin krisis rasa malu, dan sebagainya.

[8] Sebuah bangsa yang para elit politiknya membiasakan berbicara dusta, mengingkari janji, mengkhianati amanah. Mereka kaum munafik.

[9] Sebuah bangsa yang generasi mudanya semakin rusak, kehilangan sopan-santun, rusak bahasanya, buruk mentalnya, mengguna narkoba, menegak miras, menyukai pornografi, terlibat seks bebas, melakukan aborsi, terlibat tawuran, vandalisme, holiganisme, gangster, memuja syaitan, dll.

[10] Sebuah bangsa yang rakyatnya tidak kreatif, lebih suka menjadi “pembajak” segala jenis produk. Termasuk memalsukan kemasan produk, memalsukan ijazah, memalsukan sertifikat, memalsukan uang kertas, memalsukan materei, dan sebagainya. Inilah negeri syurganya para “bajak laut”.

[11] Sebuah bangsa yang bersikap sangat kaku saat menghormati bendera merah-putih. Tetapi mereka tidak serius menghormati jati dirinya, menghormati penderitaan rakyatnya, menghormati warisan sejarahnya, menghormati masa depan generasi mudanya, serta tidak menghormati martabatnya sendiri.

[12] Sebuah bangsa yang bangga dengan perjuangan, bangga dengan lagu-lagu perjuangan, bangsa dengan bambu runcing berlumuran “darah”, bangga dengan replika-replika pejuang, bangga dengan pertempuran di jaman penjajahan. Tetapi bangsa itu saat ini sangat kesulitan menemukan para pejuang sejati. Mereka bangga dengan perjuangan di masa lalu, tetapi tidak bisa melahirkan pejuang di masa kini. Malah, mereka sebenarnya sangat membenci lahirnya para pejuang baru itu.

[13] Sebuah bangsa yang tunduk kepada tekanan asing, tidak memiliki harga diri, selalu mencari jalan kompromi, tidak melindungi warganya di luar negeri, pura-pura “lupa” dengan kasus imigrasi, tidak mampu mengejar buronan koruptor, sangat budiman kepada kepentingan luar negeri.

[14] Sebuah bangsa yang menjadikan TV sebagai kebutuhan “primer ke-4”. TV menjadi pemandu, penghibur, teman mengisi sepi, pencerah pikiran, sampai menjadi “huda lil hayah” (petunjuk jalan hidup). Iklan menjadi konsumsi harian, hiburan menjadi nafas, remote control menjadi “alat kerja” rutin.

[15] Sebuah bangsa yang tidak memahami bahwa slogan penjajahan klasik “Gold, Gospel, Glory” masih berlaku sampai saat ini. Hanya berbeda penampilan dan caranya saja, sedangkan esensinya sama. (Gold di masa kini = eksploitasi sumber-sumber ekonomi; Gospel = menyebarkan budaya Barat seluas-luasnya, untuk mematikan budaya sendiri; Glory = negara menjadi alat untuk melayani kepentingan asig, bukan demi kebaikan rakyat sendiri).

[16] Inilah sebuah bangsa yang memahami makna kemerdekaan sebagai: Lomba makan kerupuk, lomba balap karung, lomba panjat pinang, lomba membawa kelereng di sendok, lomba menangkap belut, lomba menggigit koin di jeruk bali, lomba masak nasi kuning, lomba main bola dengan semua pemainnya memakai baju perempuan, lomba memasukkan bendera ke dalam botol, dan lain-lain.

[17] Inilah sebuah bangsa yang memaknai kemerdekaan dengan: Mengecat pagar, memasang umbul-umbul, memasang hiasan kertas, memancangkan bendera merah-putih di depan rumah, menjalankan “ritual” upacara bendera, membuat tumpeng, melakukan persembahan kepada makam keramat, gunung, laut, dan pohon beringin; menggelar panggung kesenian, menggelar panggung dangdut, melakukan karnaval, menghias gapura, berlomba menulis “Dirgahayu HUT RI”, dan lain-lain.

Bangsa Indonesia kini bukanlah bangsa yang merdeka, rakyatnya juga bukan rakyat merdeka. Merdeka hanyalah dalam simbol saja, dalam istilah, sedangkan esensinya tidak merdeka. Merdeka di mulut, tetapi tidak merdeka dalam kehidupan. Merdeka secara seremoni, bukan merdeka dalam realitas.

Pertanyaannya, mengapa semua ini terjadi?

Sebab, sejak lama kita tidak memahami makna kemerdekaan itu sendiri. Di mata kita, jika sudah memiliki negara sendiri, memiliki simbol-simbol, memiliki Pemerintahan sendiri, memiliki batas wilayah, memiliki seremoni dan lagu-lagu nasional; semua itu dianggap sebagai BUKTI kemerdekaan. Sementara makna kemerdekaan itu sendiri tidak pernah diperjuangkan secara sungguh-sungguh.

Merdeka, oh merdeka.

Merdeka, Bung!

Pekik: Merdeka !!!

Aduh, merdekaaa.

Merdeka, lho.

Iya nih, sudah merdeka.

Yuk merdeka yuk!

Lu Gue ude medeka.

Merdeka aja kok repot?

Merdeka itu nilai eksistensi absurd.

Merdeka, ya tidak merdeka.

Merdeka-merdekaan ‘kali.

Merdekaaaaaa……, tidur lagi!

Merdeka itu akhirnya secara riil dipahami dengan pengertian ANEH seperti di bawah ini:

“Menjadi pejabat negara, hidup enak dengan pendapatan besar, bisa memuaskan selera syahwat apapun yang diinginkan; sangat senang dengan kebodohan masyarakat, dan bernafsu terus mengembang-biakkan kebodohan itu, biar kesenangan mereka tidak terganggu; sadar dan sangat bangga menjadi batur-baturnya kepentingan New Colonialism; fasih bicara tentang pembangunan, keadilan, kesejahteraan, pemerataan, pengentasan kemiskinan, dll. Tetapi semua itu hanya “retorika tuntutan profesi” saja, tidak perlu ada kewajiban mewujudkannya di dunia nyata; tidak lupa terus melontarkan FITNAH kepada santri dan aktivis Islam dengan tuduhan teroris, radikal, anti NKRI, anti Pancasila, dsb.”

Nah, itulah makna “kemerdekaan hakiki” menurut versi orang-orang keblinger jaman sekarang. Mungkin inilah yang kerap disebut “jaman edan, sing ora edan ora keduman” (jaman edan, yang tidak edan tidak kebagian).

SRI REJEKI

[Seorang Rakyat Indonesia, Rendukan Jelan Kemerdekian].

Catatan: Maaf, kalau singkatan namanya agak memaksakan diri.

http://abisyakir.wordpress.com/page/14/

Tinggalkan komentar