Perbanyaklah Istighfar dan Taubat

Segala puji penuh cinta dan pengagungan hanya milik Allah semata. Shalawat serta salam semoga senantiasa Allah curahkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, keluarga, sahabat dan pengikut beliau yang setia hingga akhir zaman.

Sahabat Al Aghor bin Yasar Al Muzani Radhiallahu anhu meriwayatkan sebuah hadots dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai berikut,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ فَإِنِّى أَتُوبُ إِلَى اللَّهِ وَأَسْتَغْفِرُهُ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ

Wahai manusia seluruhnya bertaubat dan mohon ampunlah kepada Allah. karena sesungguhnya aku memohon ampunan kepada Allah sebanyak seratus kali dalam sehari” (HR Ahmad no 18319. Syaikh Al Arnauth berkata tentang hadits ini: sanadnya shahih sesuai syarat Muslim).

Penjelasan ringkas hadits:

Istighfar maknanya adalah memohon ampunan yaitu pengampunan dari dosa dan menggantinya. Pengampunan Allah terhadap dosa yang dilakukan seorang hamba ada 2 macam

1. Penghapusan Dosa. Allah ta’ala hanya menghapus dosa-dosa yang telah lalu dilakukan oleh seorang hamba, sehingga seolah-olah hamba tersebut tidak pernah melakukan perbuatan berdosa. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa salam: ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapus keburukan yang telal lalu (HR Tirmidzi no 1988, beliau berkata hadits ini Hasan Shahih)

2. Penggantian Dosa. Pada pengampunan dosa jenis ini, Allah ta’ala tidak sebatas menghapus dosa yang telah lalu dilakukan seorang hamba. Akan tetapi Allah juga mengganti dosa yang telah diperbuat dengan kebaikan. Allah ta’ala berfirman: mereka yang bertaubat dan mengerjakan amal shalih maka akan Allah ganti keburukan merea dengan kebaikan (Al Furqon . 70)

Faidah Hadits:

Hadits ini memberikan banyak faidah dan manfaat kepada kita semua, di antaranya:

1. Wajib bagi setiap orang untuk segera bertaubat dari segala jenis dosa yang telah dilakukan karena dalam hadits ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepada kaum seluruh manusia untuk bertaubat. Sebagaimana telah maklum bahwa hukum asal perintah dari Allah dan Rasul-Nya adalah wajib dikerjakan. Hadis ini tidak membatasi perintah bertaubat dan beristighfar hanya bagi kaum muslimin. Akan tetapi bagi seluruh manusia wajib untuk bertaubat dari segala dosa yang telah dikerjakan, baik muslim maupun non muslim, baik orang arab maupun non arab.

2. Ikhlas dalam taubat adalah syarat sah diterimanya taubat seseorang di sisi Allah ta’ala. Maka barangsiapa yang meninggalkan sebuah dosa karena selain Allah, semisal seseorang berhenti membuka aurat agar lelaki yang dia cintai  mau menikahinya maka taubatnya tidak sah, dan para ulama sepakat tentangnya.

3. Hadits ini juga mengajarkan kepada kita agar bersegera dalam taubat dan memperbanyak istighfar.

4. Hadits ini menunjukkan bahwa Allah Maha Pengampun dan Allah mengampuni seluruh dosa bahkan dosa syirik sekalipun selama pelakunya bertaubat dengan taubat yang sebenar-benarnya dan dilakukan sebelum ajal menjemput. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Az Zummar: 53)
Sekian apa yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat bagi penulis pribadi dan kaum muslimin seluruhnya. Segala bentuk kesalahan dalam tulisan ini berasal dari diri saya pribadi, adapun kebenaran mutlak berasal dari Allah. Alhamdulillah aladzi bi ni’matihi tatimush shalihaat.

Markas MER-C. 2.00 dini hari 9 Dzuhidjah 1431 H Rahmat Ariza Putra

Tulisan ini diringkas dan diterjemahkan dari kitab Bahjatun Nadzhirin Syarah Riyadus Shalihin karya Syaikh Salim bin Ied Al Hilaly Hafidzhahullahu

Editor: M. A. Tuasikal

Artikel www.remajaislam.com

Hakikat Tasawuf (2)

Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang Menyimpang Dari Petunjuk Al Quran dan As Sunnah*

*Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tashawwuf, pembahasan: Mauqif Ash Shufiyyah Min Al ‘Ibadah wa Ad Din (hal.17-38) dengan sedikit perubahan

Orang-orang ahli Tasawuf -khususnya yang ada di zaman sekarang- mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlusunnah wal Jamaah, dan menyimpang sangat jauh dari Al Quran dan As Sunnah. Mereka membangun keyakinan dan tata cara peribadatan mereka di atas simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri, yang dapat kita simpulkan sebagai berikut.

Pertama, mereka membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah (kecintaan) saja dan mengenyampingkan aspek-aspek yang lainnya, seperti aspek Khauf (rasa takut) dan Raja’ (harapan), sebagaimana yang terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tasawuf, “Aku beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla bukan karena aku mengharapkan masuk surga dan juga bukan karena takut masuk neraka!?”. Memang benar bahwa aspek Mahabbah adalah landasan berdirinya ibadah, akan tetapi ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek Mahabbah saja -sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli tasawuf-, karena ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek Mahabbah, seperti aspek khauf, raja’, dzull (penghinaan diri), khudhu’ (ketundukkan), doa dan aspek-aspek lain. Salah seorang ulama Salaf berkata: “Barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan kecintaan semata maka dia adalah seorang zindiq, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah dengan pengharapan semata maka dia adalah seorang Murji’ah, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan ketakutan semata maka dia adalah seorang Haruriyyah (Khawarij), dan barang siapa yang beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan maka dialah seorang mukmin sejati dan muwahhid (orang yang bertauhid dengan benar)”.Oleh karena itu Allah ‘azza wa jalla memuji sifat para Nabi dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan siksaan-Nya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Kebanyakan orang-orang yang menyimpang (dari jalan Allah), orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran bid’ah berupa sikap zuhud dan ibadah-ibadah yang tidak dilandasi ilmu dan tidak sesuai dengan petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah, mereka terjerumus ke dalam kesesatan seperti yang terjadi pada orang-orang Nasrani yang mengaku-ngaku mencintai Allah, yang bersamaan dengan itu mereka menyimpang dari syariat-Nya dan enggan untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menjalankan agama-Nya, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya” (Kitab Al ‘Ubudiyyah, tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (hal. 90), cet. Darul Ifta’, Riyadh). Dari uraian di atas jelaslah bahwa membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah saja tidaklah disebut ibadah, bahkan ajaran ini bisa menjerumuskan penganutnya ke jurang kesesatan bahkan menyebabkan dia keluar dari agama islam.

Kedua, orang-orang ahli tasawuf umumnya dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al Quran dan As Sunnah, tapi yang mereka jadikan pedoman adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka dan ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka, berupa Thariqat-thariqat bid’ah, berbagai macam zikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri, dan tidak jarang mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits yang palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka. Inilah landasan ibadah dan keyakinan ajaran Tasawuf.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang ahli Tasawuf dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nasrani, yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya, kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang (Nabi/Rasul) yang terjaga dari kesalahan, maka (demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli Tasawuf) mereka menjadikan para pemimpin dan guru mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka”.

Ketiga, termasuk doktrin ajaran Tasawuf adalah keharusan berpegang teguh dan menetapi zikir-zikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka, yang kemudian mereka menetapi dan mencukupkan diri dengan zikir-zikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla dengan selalu membacanya, bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca zikir-zikir tersebut lebih utama daripada membaca Al Quran, dan mereka menamakannya dengan “zikirnya orang-orang khusus”.

Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al Quran dan As Sunnah mereka namakan dengan “zikirnya orang-orang umum”, maka kalimat (Laa Ilaha Illallah ) menurut mereka adalah “zikirnya orang-orang umum”, adapun “zikirnya orang-orang khusus” adalah kata tunggal “Allah” dan “zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus” adalah kata (Huwa/ Dia).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang menyangka bahwa kalimat (Laa Ilaha Illallah) adalah zikirnya orang-orang umum, dan zikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal “Allah”, serta zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti (Huwa/Dia), maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Di antara mereka ada yang berdalil untuk membenarkan hal ini, dengan firman Allah ‘azza wa jalla:

قُلِ اللّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ

“Katakan: Allah (yang menurunkannya), kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya” (QS. Al An’aam: 91).

(Berdalil dengan cara seperti ini) adalah kesalahan yang paling nyata yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf, bahkan ini termasuk menyelewengkan ayat Al Quran dari maknanya yang sebenarnya, karena sesungguhnya kata “Allah” dalam ayat ini disebutkan dalam kalimat perintah untuk menjawab pertanyaan sebelumnya , yaitu yang Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya:

وَمَا قَدَرُواْ اللّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُواْ مَا أَنزَلَ اللّهُ عَلَىبَشَرٍ مِّن شَيْءٍ قُلْ مَنْ أَنزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاء بِهِ مُوسَى نُوراًوَهُدًى لِّلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيراًوَعُلِّمْتُم مَّا لَمْ تَعْلَمُواْ أَنتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ قُلِ اللّهُ

“Katakanlah: Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang terpisah-pisah, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapakmu tidak mengetahuinya?, katakanlah: Allah (yang menurunkannya)” (QS. Al An’aam:91).

Jadi maknanya yang benar adalah: “Katakanlah: Allah, Dialah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Nabi Musa shallallahu ‘alaihi wa sallam”(Kitab Al ‘Ubudiyyah hal.117)

Keempat, sikap Ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrem) orang-orang ahli Tasawuf terhadap orang-orang yang mereka anggap wali dan guru-guru thariqat mereka, yang bertentangan dengan aqidah Ahlusunnah wal Jamaah, karena di antara prinsip aqidah Ahlusunnah wal Jamaah adalah berwala (mencintai/berloyalitas) kepada orang-orang yang dicintai Allah ‘azza wa jalla dan membenci musuh-musuh Allah ‘azza wa jalla. Allah ‘azza wa jalla berfirman:

إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ الَّذِينَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ

“Sesungguhnya wali (kekasih/penolongmu) hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. Al Maaidah: 55).

Dan Allah ‘azza wa jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءتُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1).

Wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah ‘azza wa jalla). Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Dan perlu ditegaskan di sini bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan pada orang-orang tertentu, bahkan setiap orang yang beriman dan bertakwa dia adalah wali (kekasih) Allah ‘azza wa jalla, akan tetapi kedudukan sebagai wali Allah ‘azza wa jalla tidaklah menjadikan seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlusunnah wal Jamaah.

Adapun makna wali menurut orang-orang ahli Tasawuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah, karena orang-orang ahli Tasawuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan dengan petunjuk Al Quran dan As Sunnah) dalam masalah ini, sehingga mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu tanpa dilandasi dalil dari syariat yang menunjukkan kewalian orang-orang tersebut. Bahkan tidak jarang mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, bahkan kepada orang yang dikenal punya penyimpangan dalam keimanannya, seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Dan terkadang mereka menganggap bahwa kedudukan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali” melebihi kedudukan para Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka:

Kedudukan para Nabi di alam Barzakh

Sedikit di atas kedudukan Rasul, dan di bawah kedudukan wali

Orang-orang ahli Tasawuf juga berkata, “Sesungguhnya para wali mengambil (agama mereka langsung) dari sumber tempat Malaikat Jibril shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?!”. Dan mereka juga menganggap bahwa wali-wali mereka itu terjaga dari kesalahan?!.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Kamu akan dapati mayoritas orang-orang ahli Tasawuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia, seperti menunjuk kepada seseorang kemudian orang itu mati, terbang di udara menuju ke Mekkah atau tempat-tempat lainnya, terkadang berjalan di atas air, mengisi teko dari udara dengan air sampai penuh, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menunaikan kebutuhannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang gaib (tidak nampak), atau orang yang sakit dan yang semisalnya. Padahal kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidaklah menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah ‘azza wa jalla. Bahkan orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat mengatakan bahwa jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? apakah orang tersebut selalu menaati perintah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? (Oleh karena itulah kita tidak pernah mendengar ada seorang muslim pun yang menganggap bahwa Superman dan Gatotkaca adalah wali-wali Allah, padahal mereka ini (katanya) bisa terbang di udara?! -pen) …karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab dan orang munafik, dan bisa dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin, maka sama sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas adalah wali Allah”. (Majmu’ Al Fatwa, 11/215).

Kemudian ternyata kesesatan orang-orang ahli tasawuf tidak sampai di sini saja, karena sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti menentukan kejadian-kejadian di alam semesta ini, mengetahui hal-hal yang gaib, memenuhi kebutuhan orang-orang yang meminta pertolongan kepada mereka dalam perkara-perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah ‘azza wa jalla dan sifat-sifat ketuhanan lainnya. Kemudian sikap berlebih-lebihan ini menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah ‘azza wa jalla, dengan membangun kuburan “para wali” tersebut, meyakini adanya keberkahan pada tanah kuburan tersebut, melakukan berbagai macam kegiatan ibadah padanya, seperti thawaf dengan mengelilingi kuburan tersebut, bernazar dengan maksud mendekatkan diri kepada penghuni kubur dan perbuatan-perbuatan syirik lainnya.

Kelima, termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan, yang semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah ‘azza wa jalla. DR Shabir Tha’imah berkata dalam kitabnya Ash Shufiyyah, Mu’taqadan wa Masakan, “Saat ini tarian sufi modern telah dipraktekkan pada mayoritas thariqat-thariqat sufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka, di mana para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita, sedangkan para murid senior dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Ketahuilah bahwa perbuatan orang-orang ahli tasawuf ini sama sekali tidak pernah dilakukan di awal tiga generasi yang utama di semua negeri islam: Hijaz, Syam, Yaman, Mesir, Magrib, Irak, dan Khurasan. Orang-orang yang shalih, taat beragama dan rajin beribadah pada masa itu tidak pernah berkumpul untuk mendengarkan siulan (yang berisi lantunan musik), tepukan tangan, tabuhan rebana dan ketukan tongkat (seperti yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf), perbuatan ini adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah) yang muncul di penghujung abad kedua, dan ketika para Imam Ahlusunnah melihat perbuatan ini mereka langsung mengingkarinya, (sampai-sampai) Imam Asy Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku tinggalkan Baghdad, dan di sana ada suatu perbuatan yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq (munafik tulen) yang mereka namakan At Taghbir (At Taghbir adalah semacam Qasidah yang dilantunkan dan berisi ajakan untuk zuhud dalam urusan dunia, lihat kitab Igatsatul Lahfan tulisan Imam Ibnul Qayyim, maka silakan pembaca bandingkan At Taghbir ini dengan apa yang di zaman sekarang ini disebut sebagai Nasyid Islami (?), apakah ada perbedaan di antara keduanya? Jawabnya: keduanya serupa tapi tak beda! Kalau demikian berarti hukum nasyid islami adalah…., saya ingin mengajak pembaca sekalian membayangkan semisalnya ada seorang presiden yang hobi dengar nasyid islami, apa kita tidak khawatir kalau dalam upacara bendera sewaktu acara pengibaran bendera akan diiringi dengan nasyid islami!!? -pen), yang mereka jadikan senjata untuk menjauhkan kaum muslimin dari Al Quran”. Dan Imam Yazid bin Harun berkata: “orang yang mendendangkan At Taghbir tidak lain adalah orang fasik, kapan munculnya perbuatan ini?”

Imam Ahmad ketika ditanya (tentang perbuatan ini), beliau menjawab, “Aku tidak menyukainya (karena) perbuatan ini adalah bid’ah”, maka beliau ditanya lagi: apakah anda mau duduk bersama orang-orang yang melakukan perbuatan ini? Beliau menjawab, “Tidak”. Demikian pula Imam-Imam besar lainnya mereka semua tidak menyukai perbuatan ini. Dan para Syaikh (ulama) yang Shalih tidak ada yang mau menghadiri (menyaksikan) perbuatan ini, seperti: Ibrahim bin Adham, Fudhail bin ‘Iyadh, Ma’ruf Al Karkhi, Abu Sulaiman Ad Darani, Ahmad bin Abil Hawari, As Sariy As Saqti dan syaikh-syaikh lainnya” (Majmu’ Al Fatawa 11/569).

Maka orang-orang ahli Tasawuf yang mendekatkan diri (?) kepada Allah ‘azza wa jalla dengan cara-cara seperti ini, adalah tepat jika dikatakan bahwa mereka itu seperti orang-orang (penghuni Neraka) yang dicela oleh Allah ‘azza wa jalla dalam firman-Nya:

الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَهُمْ لَهْواً وَلَعِباً وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُالدُّنْيَا فَالْيَوْمَ نَنسَاهُمْ كَمَا نَسُواْ لِقَاء يَوْمِهِمْ هَـذَا وَمَاكَانُواْ بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ

“(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka.” Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami” (QS. Al A’raaf: 51).

Keenam, juga termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan yang jika seseorang telah mencapainya maka dia akan terlepas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran Tasawuf, karena asal mula ajaran Tasawuf -sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnul Jauzi- adalah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur.

Kemudian Ibnul Jauzi mengatakan: “Inilah asal mula ajaran Tasawuf yang dipraktekkan oleh pendahulu-pendahulu mereka, kemudian Iblis mulai memalingkan dan menyesatkan mereka dari generasi ke generasi berikutnya dengan berbagai macam syubhat (kerancuan) dan talbis (pencampuradukan), kemudian penyimpangan ini terus bertambah sehingga Iblis berhasil dengan baik menguasai generasi belakangan dari orang-orang ahli Tasawuf. Pada mulanya, dasar upaya penyesatan yang diterapkan oleh Iblis kepada mereka adalah memalingkan mereka dari (mempelajari) ilmu agama dan mengesankan kepada mereka bahwa tujuan utama adalah (semata-semata) beramal (tanpa perlu ilmu),dan ketika Iblis telah berhasil memadamkan cahaya ilmu dalam diri mereka, mulailah mereka berjalan tanpa petunjuk dalam kegelapan/kesesatan, maka di antara mereka ada yang dikesankan padanya bahwa tujuan utama (ibadah) adalah meninggalkan urusan dunia secara keseluruhan, sampai-sampai mereka meninggalkan apa-apa yang dibutuhkan oleh tubuh mereka, bahkan mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, dan mereka lupa bahwa Allah ‘azza wa jalla menjadikan harta bagi manusia untuk kemaslahatan mereka, kemudian mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyiksa diri-diri mereka, sampai-sampai ada di antara mereka yang tidak pernah tidur (sama sekali). Meskipun niat mereka baik (sewaktu melakukan perbuatan ini), akan tetapi (perbuatan yang mereka lakukan) menyimpang dari jalan yang benar. Di antara mereka juga ada yang beramal berdasarkan hadits-hadits yang palsu tanpa disadarinya karena dangkalnya ilmu agama.

Kemudian datanglah generasi-generasi setelah mereka yang mulai membicarakan (keutamaan) lapar, miskin dan bisikan-bisikan jiwa, bahkan mereka menulis kitab-kitab (khusus) tentang masalah ini, seperti (tokoh sufi yang bernama) Al Harits Al Muhasibi. Lalu datang generasi selanjutnya yang mulai merangkum dan menghimpun mazhab/ajaran Tasawuf dan mengkhususkannya dengan sifat-sifat khusus, seperti Ma’rifah (mengenal Allah dengan sebenarnya)(??!), Sama’ (mendengarkan nyanyian dan lantunan musik), Wajd (bisikan jiwa), Raqsh (tari-tarian) dan Tashfiq (tepukan tangan), kemudian ajaran tasawuf terus berkembang dan para guru thariqat mulai membuat aturan-aturan khusus bagi mereka dan membicarakan (membangga-banggakan) kedudukan mereka (orang-orang ahli Tasawuf), sehingga (semakin lama mereka semakin jauh dari petunjuk) para ulama Ahlusunnah, dan mereka mulai memandang tinggi ajaran dan ilmu mereka (ilmu Tasawuf), sampai-sampai mereka namakan ilmu tersebut dengan ilmu batin dan mereka menganggap ilmu syari’at sebagai ilmu lahir??! Dan di antara mereka karena rasa lapar yang sangat hingga membawa mereka kepada khayalan-khayalan yang rusak dan mengaku-ngaku jatuh cinta dan kasmaran kepada Al Haq (Allah ‘azza wa jalla), (padahal yang) mereka lihat dalam khayalan mereka adalah seseorang yang rupanya menawan yang kemudian membuat mereka jatuh cinta berat (lalu mereka mengaku-ngaku bahwa yang mereka cintai itu adalah Allah ‘azza wa jalla).

Maka mereka ini (terombang-ambing) di antara kekufuran dan bid’ah, kemudian semakin banyak jalan-jalan sesat yang mereka ikuti sehingga menyebabkan rusaknya akidah mereka, maka di antara mereka ada yang menganut keyakinan Al Hulul, juga ada yang menganut keyakinan Wihdatul Wujud, dan terus-menerus Iblis menyesatkan mereka dengan berbagai bentuk bid’ah (penyimpangan) sehingga mereka menjadikan untuk diri-diri mereka sendiri tata cara beribadah yang khusus (yang berbeda dengan tata cara beribadah yang Allah ‘azza wa jalla syari’atkan dalam agama islam)” (Kitab Talbis Iblis, tulisan Ibnul Jauzi hal. 157-158).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika beliau ditanya tentang sekelompok orang yang mengatakan bahwa diri mereka telah mencapai tingkatan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat, maka beliau menjawab: “Tidak diragukan lagi -menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman- bahwa ucapan ini adalah termasuk kekufuran yang paling besar, bahkan ucapan ini lebih buruk daripada ucapan orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mereka mengimani sebagian (isi) kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya, dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya, dan mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allah ‘azza wa jalla, meyakini janji dan ancaman-Nya…

Kesimpulannya: Bahwa Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus (dengan datangnya agama islam) dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik (keadaannya) dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allah ‘azza wa jalla secara keseluruhan, karena dengan keyakinan tersebut berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama, mereka sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allah ‘azza wa jalla, bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang pada sebagian dari ajaran agama nabi Ibrahim shallallahu ‘alaihi wa sallam… Dan di antara mereka ada yang berargumentasi (untuk membenarkan keyakinan tersebut) dengan firman Allah ‘azza wa jalla:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

“Sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian)” (QS. Al Hijr: 99).

Mereka berkata makna ayat di atas adalah, “sembahlah Rabbmu sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu…”. (Pada Hakikatnya) ayat ini justru menyanggah (keyakinan) mereka dan tidak membenarkannya. Hasan Al Bashri berkata: “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian, kemudian Hasan Al Bashri membaca ayat tersebut di atas. Dan makna “Al Yaqin” dalam ayat tersebut adalah “Al Maut” (kematian) dan peristwa-peristiwa sesudahnya, (dan makna ini) berdasarkan kesepakatan semua ulama Islam, seperti yang juga Allah ‘azza wa jalla sebutkan dalam Firman-Nya:

مَاسَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَآئِضِينَ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ

“Apa yang menyebabkan kamu (wahai orang-orang kafir) masuk ke dalam Saqar (neraka)?, mereka menjawab: Kami dahulu (di dunia) tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan kami ikut membicarakan yang bathil bersama orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, hingga datanglah pada kami sesuatu yang diyakini (kematian)” (QS. Al Muddatstsir: 42-47).

Maka (dalam ayat ini) mereka (orang-orang kafir) menyebutkan (bahwa telah sampai kepada mereka Al Yaqin/kematian) padahal mereka termasuk penghuni neraka, dan mereka ceritakan perbuatan-perbuatan mereka (yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka): meninggalkan shalat dan zakat, mendustakan hari kemudian, membicarakan yang batil bersama orang-orang yang membicarakannya, sampai datang pada mereka Al Yaqin (kematian)… yang maksudnya adalah: datang kepada mereka sesuatu yang telah dijanjikan, yaitu Al Yaqin (kematian)” (Majmu’ Al Fatawa 401-402 dan 417-418).

Maka ayat tersebut di atas jelas sekali menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal sampai ketika kematian datang menjemputnya, dan tidak ada sama sekali dalam ajaran islam apa yang dinamakan tingkatan/ keadaan yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli Tasawuf.

-bersambung insya Allah-

***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.
Artikel http://www.muslim.or.id

Takdir Allah Tidak Kejam

Pembaca yang budiman, iman kepada takdir merupakan salah satu rukun iman yang enam. Barangsiapa tidak mengimaninya sungguh dia telah terjerumus dalam kekafiran meskipun dia mengimani rukun-rukun iman yang lainnya. Walhamdulillah banyak diantara kaum muslimin yang telah mengenal takdir, akan tetapi amat disayangkan ternyata masih terdapat berbagai fenomena yang justru menodai bahkan bertentangan dengan keimanan kepada takdir.

Barangkali masih tersimpan dalam ingatan kita tatkala seorang artis mempopulerkan lagu ‘Takdir memang kejam’ yang sangat digemari oleh sebagian masyarakat negeri ini beberapa waktu lampau, yang menunjukkan betapa mudahnya masyarakat kita menerima sesuatu yang menurut mereka bagus namun pada hakikatnya justeru merusak akidah mereka. Karena itulah setiap muslim wajib membekali dirinya dengan pemahaman takdir yang benar sebagaimana yang diajarkan oleh Allah dan Rosul-Nya. Dalam mengimani takdir ada empat hal yang harus diyakini dalam dada setiap muslim yaitu al ‘ilmu, al kitabah, al masyi’ah dan al kholq.

Pertama, Al ‘Ilmu (Tentang Ilmu Allah)

Kita meyakini bahwa ilmu Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu secara global dan terperinci yang terjadi sejak zaman azali (yang tidak berpermulaan) sampai abadi (yang tidak berkesudahan). Allah Ta’ala berfirman, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Al Hajj: 70). Allah sudah tahu siapa saja yang akan menghuni Surga dan siapa yang akan menghuni Neraka. Tidak ada satupun makhluk di langit maupun di bumi bahkan di dalam perut bumi sekalipun yang luput dari pengetahuan-Nya.

Kedua, Al Kitabah (Tentang Penulisan Ilmu Allah)

Kita meyakini bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan ilmu-Nya tentang segala sesuatu yang terjadi di dalam Lauhul Mahfuzh sejak 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Rosululloh shollAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah menulis takdir seluruh makhluk ciptaan-Nya semejak lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim). Takdir yang ditulis di Lauhul Mahfuzh ini tidak pernah berubah. Berdasarkan ilmu-Nya, Allah telah menuliskan siapa saja yang termasuk penghuni surga dan siapa yang termasuk penghuni neraka. Namun tidak ada satu orangpun yang mengetahui apa yang ditulis di Lauhul Mahfuzh kecuali setelah hal itu terjadi.

Ketiga, Al Masyi’ah (Tentang Kehendak Allah)

Kita meyakini bahwa Allah Ta’ala memiliki kehendak yang meliputi segala sesuatu. Tidak ada satu perbuatan makhluk pun yang keluar dari kehendak-Nya. Segala sesuatu yang terjadi semuanya di bawah kehendak (masyi’ah) Allah, entah itu disukai atau tidak disukai oleh syari’at. Inilah yang disebut dengan Irodah Kauniyah Qodariyah atau Al Masyi’ah. Seperti adanya ketaatan dan kemaksiatan itu semua terjadi di bawah kehendak Allah yang satu ini. Meskipun kemaksiatan itu tidak diinginkan terjadi oleh aturan syari’at.

Di sisi lain Allah memiliki Irodah Syar’iyah Diniyah. Di dalam jenis kehendak/irodah yang kedua ini terkandung kecintaan Allah. Maka orang yang berbuat taat telah menuruti 2 macam kehendak Allah ini. Adapun orang yang bermaksiat dia telah menyimpang dari Irodah Syar’iyah namun tidak terlepas dari Irodah Kauniyah. Lalu apakah orang yang bermaksiat ini terpuji? Jawabnya, Tidak. Karena dia telah melakukan perkara yang tidak dicintai d bahkan dibenci oleh Allah.

Keempat, Al Kholq (Tentang Penciptaan Segala Sesuatu Oleh Allah)

Kita meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah makhluk ciptaan Allah baik itu berupa dzat maupun sifat, demikian juga seluruh gerak-gerik yang terjadi di dalamnya. Allah Ta’ala befirman, “Allah adalah pencipta segala sesuatu.” (Az Zumar: 62). Perbuatan hamba juga termasuk makhluk ciptaan Allah, karena perbuatan tersebut terjadi dengan kehendak dan kemampuan hamba; yang kedua-duanya ada karena diciptakan oleh Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Allah-lah yang Menciptakan kalian dan amal perbuatan kalian.” (QS. Ash Shoffaat: 96)

Sumber Kesesatan Dalam Memahami Takdir

Sesungguhnya kesesatan dalam memahami takdir bersumber dari kesalahpahaman dalam memahami kehendak/irodah Allah. Mereka yang menganggap terjadinya kemaksiatan terjadi di luar kehendak Allah telah menyingkirkan dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah yang menunjukkan tentang Irodah Kauniyah. Orang-orang semacam ini akhirnya terjatuh dalam kesesatan tipe Qodariyah yang menolak takdir. Sedangkan mereka yang menganggap segala sesuatu yang ada baik ketaatan maupun kemaksiatan terjadi karena dicintai Allah telah menyingkirkan dalil-dalil Al Kitab dan As Sunnah yang mengancam hamba yang menyimpang dari Irodah Syar’iyah. Orang-orang semacam ini akhirnya terjatuh dalam kesesatan tipe Jabriyah yang menganggap hamba dalam keadaan dipaksa oleh Allah. Maha Suci lagi Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan. Maka Ahlus Sunnah berada di tengah-tengah, mereka mengimani Irodah Syar’iyah dan Irodah Kauniyah, dan inilah pemahaman Nabi dan para sahabat.

Takdir Adalah Rahasia Allah

Ali bin Abi Tholib rodhiyAllahu ‘anhu menceritakan bahwa Nabi shollAllahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Setiap kalian telah ditulis tempat duduknya di surga atau di neraka.” Maka ada seseorang dari suatu kaum yang berkata, “Kalau begitu kami bersandar saja (tidak beramal-pent) wahai Rosululloh?”. Maka beliau pun menjawab, “Jangan demikian, beramallah kalian karena setiap orang akan dimudahkan”, kemudian beliau membaca firman Allah, “Adapun orang-orang yang mau berderma dan bertakwa serta membenarkan Al Husna (Surga) maka kami siapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al Lail: 5-7). (HR. Bukhori dan Muslim). Inilah nasehat Nabi kepada kita untuk tidak bertopang dagu dan supaya senantiasa bersemangat dalam beramal dan tidak menjadikan takdir sebagai dalih untuk bermaksiat.

Pilih Mana: Jalan ke Surga Atau ke Neraka?

Apabila di hadapan anda terdapat 2 buah jalan; yang satu menuju daerah yang penuh kekisruhan dan ketidakamanan, sedangkan jalan yang satunya menuju daerah yang penuh ketentraman dan keamanan. Akan kemanakah anda akan melangkahkan kaki? Akal sehat tentu tidak memilih jalan yang pertama. Maka demikian pulalah seharusnya kita bersikap dalam memilih jalan yang menuju kehidupan akhirat kita, hendaknya jalan ke surga itulah yang kita pilih bukan sebaliknya. Alangkah tidak adilnya manusia yang memilih kesenangan duniawi dengan akalnya namun justeru memilih kesengsaraan akhirat dengan dalih takdir dan membuang akal sehatnya. Suatu saat ada pencuri yang hendak dipotong tangan oleh kholifah Umar, namun pencuri ini mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya aku mencuri hanya karena takdir Allah.” Umar pun menjawab, “Dan Kami pun memotong tangan dengan takdir Allah.” Lalu siapakah yang kejam? Bukan takdir Allah yang kejam tapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. WAllahu a’lam bish showaab.

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel http://www.muslim.or.id

Islam, Iman dan Ihsan

Pembaca yang budiman, di kalangan tarekat sufi sangat terkenal adanya pembagian agama menjadi 3 tingkatan yaitu: Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat. Orang/wali yang sudah mencapai tingkatan ma’rifat sudah tidak lagi terbebani aturan syari’at; sehingga dia tidak lagi wajib untuk sholat dan bebas melakukan apapun yang dia inginkan… demikianlah sebagian keanehan yang ada di seputar pembagian ini. Apakah pembagian semacam ini dikenal di dalam Islam?

Islam Mencakup 3 Tingkatan

Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jatidirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?” Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din/agama (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.

Tingkatan Islam

Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.

Tingkatan Iman

Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman kepada Alloh, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dalam firman Alloh Ta’ala, “Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).

Tingkatan Ihsan

Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Alloh seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada Alloh dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.

Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain… (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)

Muslim, Mu’min dan Muhsin

Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’. Katakanlah ‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al Hujuroot: 14). Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64)

Kesimpulan

Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan syari’at. Wallohu a’lam.

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel http://www.muslim.or.id

Ada Apa Antara Rezeki dan Jimat?

Urusan klenik, memang sangat sulit dilepaskan dari kehidupan masyarakat kita. Animisme dan aroma perdukunan masih kental terasa, padahal ajaran Islam yang menyerukan tauhid sangat bertentangan dengan hal tersebut. Cobalah tengok salah satunya, tindakan sebagian masyarakat yang mengaku muslim, mereka menggunakan berbagai jimat demi melariskan barang dagangan atau melancarkan rezeki. Kocek pun dirogoh dalam-dalam hanya untuk mendapatkan jimat, yang dipercaya dapat mendatangkan rezeki yang berlebih.

Rezeki, Urusan yang Telah Ditentukan

Rezeki hanyalah berasal dari Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُونَ

“Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi?” (QS. Faathir [35]: 3)

Abu Muhammad al Baghawi rahimahullah mengemukakan bahwa pertanyaan yang diajukan Allah dalam ayat ini berfungsi untuk menetapkan bahwa tidak ada pencipta selain Allah yang mampu memberikan rezeki (Ma’alimut Tanzil 1/412). Sebagai satu-satunya Zat yang memberi rezeki, Allah telah menentukan kadar rezeki untuk setiap hamba-Nya, di antara mereka ada yang diberi kelapangan rezeki, sebagian lagi disempitkan rezekinya. Ada yang kaya, dan ada yang papa. Ada yang berlebih dan ada yang pas-pasan. Rezeki yang akan diperoleh seorang hamba di dunia ini, semenjak lahir hingga meninggal dunia telah ditetapkan dan ditentukan sebagaimana tercantum dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim bahwa Allah ta’ala telah memerintahkan malaikat-Nya untuk menetapkan empat perkara, dan diantaranya adalah kadar rezeki seseorang.

Ingin Rezeki Lancar? Jangan Ikuti Cara Syaitan!

Allah telah memberikan pedoman agar manusia dapat memperoleh kelapangan dan kelancaran rezeki. Berusaha kemudian bertawakal hanya kepada-Nya merupakan dua kunci sukses bagi pribadi muslim. Patut diperhatikan bahwa ‘berusaha’ yang dimaksud bukanlah dengan melakukan berbagai tindakan yang menyelisihi syariat demi mengejar keuntungan, kesuksesan tidaklah ditempuh dengan mengorbankan diri sehingga menuruti bujuk rayu syaitan.

Syaitan telah ‘menggodok’ berbagai strategi jitu lalu menawarkannya kepada manusia agar mereka tergoda dan terjerumus ke dalam penyimpangan dan dosa. Tidak terkecuali dalam urusan melancarkan rezeki, syaitan turut berperan aktif untuk menggelincirkan manusia dari jalan-Nya. Tidak sedikit manusia terkecoh dan rela diperbudak oleh syaitan, ada yang menempuh jalur penipuan agar bisa sukses, sebagian lagi ada yang merampok, mencuri dan ada yang menempuh jalur perdukunan. Metode terakhir ini sangat banyak yang melakukannya, mulai dari kalangan intelektual hingga mereka yang awam pendidikan terjangkiti ‘penyakit’ cinta perdukunan, anehnya tidak sedikit dari mereka yang berstatus muslim melakukan kesyirikan ini.

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf [12]: 106)

Jimat, Upaya Setan Menggelincirkan Bani Adam

Siapa sih yang tidak ingin sukses dan memperoleh keuntungan dalam bisnis dan profesi yang sedang digeluti? Sebagian besar dari kita tentulah ingin meraihnya. Dalam meraih kesuksesan, manusia terbagi ke dalam dua kategori, ada yang menempuh tangga kesuksesan dengan cara yang halal dan ada yang berkebalikan dengan hal itu, yaitu menempuh cara yang haram.

Seorang yang menggunakan jimat untuk meraih kekayaan termasuk dalam kategori yang diharamkan Islam. Banyak pejabat yang mendatangi ‘orang pintar’ (baca: dukun) untuk membeli jimat agar kekuasaannya langgeng. Di sisi lain, tidak sedikit para artis mendatangi paranormal (baca: para tidak normal) agar diberikan jimat sehingga ordernya tidak sepi dan dirinya tetap ‘laku’. Untuk yang satu ini, salah seorang teman pernah berkomentar, ‘Wah, udah profesinya merugikan masyarakat, pakai cara-cara yang gak benar lagi’. Jimat pun kerap digunakan oleh para pebisnis dan pedagang untuk menarik minat konsumen. Mulai dari ‘wiridan’ (baca: mantra-mantra yang diramu dengan bahasa arab atau dari sebagian ayat al-Qur’an namun prakteknya tidak dituntunkan dalam Islam), amalan-amalan yang tidak jelas asal-usulnya (seperti puasa pati geni, puasa ngebleng, dll) sampai celana dalam pun telah dijajal oleh mereka yang percaya akan keampuhan jimat dalam melariskan dagangan atau mendatangkan keuntungan. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa yang mengalungkan jimat, maka dia telah berbuat syirik” (HR. Ahmad 4/156, Thabrani dalam al Kabir 17/319 Syaikh Syu’aib al Arnauth dalam komentar beliau terhadap Musnad Ahmad 4/156, mengatakan sanad hadits ini kuat)

Ibnu Abdil Barr rahimahullah mengatakan bahwa orang yang mempercayai keampuhan jimat telah meyakini bahwa jimat itu mampu menolak ketentuan yang Allah tetapkan dan keyakinan seperti inilah yang menyebabkan seorang terjerumus ke dalam jurang kesyirikan (Faidlul Qadlir 6/180)

Jimat Mencederai Tawakal

Imam ath Thibi rahimahullah menyatakan salah satu keyakinan kaum musyrik jahiliyah adalah meyakini bahwa jimat sangat ampuh untuk menolak takdir yang telah ditetapkan bagi mereka, dan keyakinan yang demikian dapat menghilangkan tawakal dari jiwa seseorang (Faidhul Qadir 2/341)

Tawakal sendiri berarti penyandaran hati secara total kepada Allah ta’ala, baik dalam perkara dunia maupun akhirat (Hushulul Ma’mul hal. 83). Seorang yang bertawakal dengan benar kepada Allah dalam segala urusan akan meyakini bahwa segala perkara berada di bawah kekuasaan-Nya. Jika Allah menghendaki, maka pasti urusan tersebut akan terjadi. Jika Dia tidak menghendaki, maka tentu hal tersebut tidak akan terjadi. Setelah meyakini hal tersebut, maka dalam hatinya akan timbul rasa percaya terhadap Allah, lalu dia akan menempuh usaha yang sejalan dengan syariat dalam berbagai urusannya (Hushulul Ma’mul hal. 84)

Orang yang percaya dengan jimat tidak termasuk ke dalam kategori golongan yang bertawakal kepada Allah ta’ala, karena mereka lebih percaya kepada jimat tersebut ketimbang Allah ta’ala. Mereka lebih ‘pede’ ketika memakai jimat daripada melaksanakan tips yang dituntunkan Allah bagi para hamba-Nya dalam meraih kesuksesan. Oleh karena itu, para penggemar jimat akan diliputi kegelisahan dan kegundahan jika jimat mereka hilang atau telah memasuki ‘masa kadaluwarsa’. Hati mereka justru terpaut dengan jimat tersebut, hati mereka telah berpaling dari Allah ta’ala dan hidup mereka telah disandarkan pada jimat tersebut. Maka benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ

“Barangsiapa yang menggantungkan jimat, maka dirinya akan sangat bergantung (baca: bertawakal) padanya” (HR. Tirmidzi 2072 dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib 3/192)

Rezeki Tidak Diraih Dengan Jimat

Rezeki hanya diperoleh dengan kerja keras, keuletan dan tawakal kepada Allah ta’ala, bukan dengan jimat. Beberapa fakta justru membuktikan kegagalan-lah yang akan ditemui oleh mereka yang bergantung pada jimat. Ada yang ludes harta bendanya karena telah mengeluarkan duit dalam jumlah yang banyak untuk memperoleh jimat yang ampuh sementara bisnisnya tak kunjung berhasil. Ada yang mendatangi dukun untuk memperoleh jimat, namun kebangkrutan yang dia temui. Bukan dirinya yang kaya, namun dukunlah yang kaya. Kok bisa kesuksesan dan rezeki dapat diperoleh dengan jimat? Kok bisa orang yang menggantungkan harapan kepada jimat bisa meraih kesuksesan?

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa seorang yang menggantungkan hati dan harapannya kepada sesuatu selain Allah justru akan menjadi golongan yang hina dan tidak akan memperoleh kebaikan (Badai’ul Fawaaid, 2/470). Di tempat lain, beliau menyatakan bahwa seorang yang demikian keadaannya, justru akan membuka pintu kehancuran dan kebinasaan bagi dirinya dan menutup pintu kesuksesan dan kebahagiaan (Thariqul Hijratain 1/29)

Oleh karena itu mereka yang percaya dan menggunakan jimat adalah orang yang merugi di dunia dan akhirat. Rugi di dunia, karena rezeki tidak kunjung datang kepada mereka. Kerugian di akhirat pun akan dia temui, karena dirinya termasuk golongan yang hina karena membiarkan hatinya bersandar, percaya dan bergantung pada jimat, sesuatu yang tidak mampu mendatangkan manfaat, tidak pula mudharat. Allah ta’ala berfirman,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ

“Apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu? Atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka mampu menolak rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku.” Kepada-Nyalah orang-orang yang berserah diri bertawakal.” (QS. Az Zumar [39]: 38)

Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga beliau, para sahabat dan orang yang mengikuti mereka. Untaian puji hanyalah milik Allah.

Selesai ditulis pada tanggal 15 Dzulqa’dah 1428 H bertepatan dengan tanggal 24 November 2007.

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel http://www.muslim.or.id

Ngalap Berkah Kebo Kyai Slamet

Kaum muslimin yang semoga selalu mendapat taufik Allah Ta’ala. Pada hari yang dikatakan sakral oleh sebagian kaum muslimin, terdapat suatu kenyataan yang sangat memilukan yang menunjukkan kekurangan akal. Hari tersebut adalah tanggal siji suro (1 Muharram). Sebagian kaum muslimin yang selalu menginginkan kemudahan dalam hidupnya dan ingin mencari kebaikan malah mencarinya dengan cara yang tidak masuk akal. Mereka mencari berkah dari seekor kerbau (kebo bule) yang disebut dengan ‘Kyai Slamet’, yakni mereka saling berebut untuk mendapatkan kotoran kerbau tersebut, lalu menyimpannya, seraya berkeyakinan rizki akan lancar dan usaha akan berhasil dengan sebab kotoran tersebut. Seorang yang punya akal sehat tentu tidak mungkin melakukan hal yang demikian. Tetapi kok mereka bisa melakukan hal yang demikian?! Ke mana akal sehat mereka?!!

Itulah tabaruk (baca: mencari berkah atau ‘ngalap berkah’), mereka melakukan yang demikian untuk mendapatkan berkah dari kotoran tersebut. Maka perhatikanlah pembahasan kali ini, agar kaum muslimin sekalian dapat mengetahui manakah cara mencari berkah yang dibenarkan dan manakah yang dilarang oleh agama ini.

Keberkahan Hanya dari Allah

Mencari berkah atau tabaruk adalah meminta kebaikan yang banyak dan meminta tetapnya kebaikan tersebut. Dalam Al Qur’an dan hadits menunjukkan bahwasanya keberkahan hanya berasal dari Allah semata dan tidak ada seorang makhluk pun yang dapat memberikan keberkahan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Allah yang memberikan berkah, telah menurunkan Al Furqaan (yaitu Al Qur’an) kepada hamba-Nya.” (Qs. Al Furqon: 1), yaitu menunjukkan banyaknya dan tetapnya kebaikan yang Allah berikan kepada hamba-Nya berupa Al Qur’an. Allah juga berfirman yang artinya, “Kami limpahkan keberkahan atasnya dan atas Ishaq.” (Qs. Ash Shofaat: 113). “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada.” (Qs. Maryam: 31). Ayat-ayat yang mulia ini menunjukkan bahwasanya yang memberikan berkah hanyalah Allah. Maka tidak boleh seseorang mengatakan, ‘Saya memberikan berkah pada perbuatan kalian, sehingga perbuatan tersebut lancar’. Karena berkah, banyaknya kebaikan, dan kelanggengan kebaikan hanya Allah yang mampu memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Berkah yang Tidak Bisa Berpindah Secara Dzat

Kaum muslimin yang semoga dirahmati Allah. Al Qur’an dan hadits menunjukkan bahwa sesuatu yang Allah halalkan sebagai berkah ada 2 macam yaitu (1) berkah dari tempat dan waktu, dan (2) berkah dari zat manusia.

Berkah yang pertama ini seperti yang Allah berikan pada Baitul Haram (ka’bah) dan sekeliling Baitul Maqdis. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (Qs. Al Isro’: 1). Maksud dari memberkahi tempat tersebut adalah memberikan kebaikan yang banyak dan terus menerus di tempat tersebut, sehingga para hamba-Nya senantiasa ingin dan senang berdo’a di tempat tersebut, untuk memperoleh berkah di dalamnya. Ini bukan berarti -seperti anggapan sebagian kaum muslimin- bahwa seseorang boleh mengusap-ngusap bagian masjid tersebut (seperti dinding) untuk mendapatkan berkah yang banyak. Karena berkah dari masjid tersebut bukanlah berkah secara dzatnya, tetapi keberkahannya adalah secara maknawi saja, yaitu keberkahan yang Allah himpun pada bangunan ini yaitu dengan mendatanginya, thowaf di sekeliling ka’bah, dan beribadah di dalamnya yang pahalanya lebih banyak daripada beribadah di masjid lainnya. Begitu juga hajar aswad, keberkahannya adalah dengan maksud ibadah, yaitu seseorang menciumnya atau melambaikan tangan kepadanya karena mentaati dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berkah yang dia peroleh adalah berkah karena mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umar radhiyallahu ‘anhu telah mengatakan, “Sesungguhnya aku mengetahui bahwa kamu adalah batu biasa, tidak dapat memberikan manfaat, begitu juga tidak dapat mendatangkan bahaya.” (HR. Bukhari). Maksudnya, hajar aswad tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula memberikan bahaya kepada seseorang sedikit pun. Sesungguhnya hal ini dilakukan dalam rangka melakukan ketaatan kepada Allah dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, beliau radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Dan aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka aku juga menciummu.”

Adapun mendapatkan berkah dari waktu adalah seperti pada bulan Ramadhan. Bulan tersebut disebut dengan bulan yang penuh berkah (banyak kebaikan). Seperti di dalamnya terdapat malam lailatul qodar yaitu barangsiapa yang beribadah pada malam tersebut maka dia seperti beribadah seribu bulan lamanya.

Berkah dari Para Nabi Dapat Berpindah Secara Dzat

Kaum muslimin, berkah jenis kedua ini adalah berkah yang Allah berikan pada orang-orang mukmin dari para Nabi ‘alaihimus salam. Berkah yang terdapat pada mereka adalah berkah secara dzat (dapat berpindah secara dzat). Seluruh bagian tubuh para Nabi mulai dari Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, sampai Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya adalah berkah. Di antara kaum Nabi tersebut ada yang mencari berkah dari badan mereka, baik dengan mengusap-ngusap tubuh mereka atau mengambil keringat mereka atau mengambil berkah dari rambut mereka. Semua ini diperbolehkan karena Allah menjadikan tubuh mereka adalah berkah. Sebagaimana Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, badannya adalah berkah. Hal ini dapat dilihat dalam hadits bahwasanya para sahabat Nabi mengambil berkah dari ludah dan rambut beliau. Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, mereka saling berebut untuk mendapat bekas wudhu beliau.

Berkah secara dzat seperti ini hanya dikhususkan kepada para Nabi ‘alaihimus salam saja dan tidak diperbolehkan bagi selain mereka. Begitu juga para sahabat Nabi sekalipun atau sahabat yang paling mulia dan sudah dijamin masuk surga seperti Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak boleh seorang pun mengambil berkah dari mereka karena hal seperti ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat yang lain kepada mereka berdua, sebagaimana mereka mengambil berkah dari rambut dan keringat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bagaimana Mencari Berkah dari ‘Kebo’ [?]

Sebagian kaum muslimin saat ini ketika menghadapi kesulitan dalam hidupnya, mereka malah mencari berkah dari para kyai. Mereka menyamakan/meng-qiyas-kan hal ini dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh diambil rambut dan keringatnya sebagai suatu keberkahan, maka menurut mereka para kyai juga pantas untuk dimintai berkahnya baik dari ludahnya atau rambutnya. Bahkan ada pula yang mengambil kotoran kyai/gurunya untuk mendapatkan berkah, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang sufi. Tidakkah mereka tahu bahwa mencari berkah secara dzat seperti ini tidak diperbolehkan untuk selain para Nabi?!!

Qiyas (penyamaan hukum) yang mereka lakukan adalah qiyas yang keliru dan jelas-jelas berbeda. Jangankan mencari berkah dari kyai, mencari berkah dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu -sahabat yang mulia, yang keimanannya jika ditimbang akan lebih berat dari keimanan umat ini dan sudah dijamin masuk surga- saja tidak diperbolehkan karena beliau bukan Nabi dan tidak pernah di antara para sahabat yang lain mencari berkah dari beliau radhiyallahu ‘anhu. Apalagi dengan para kyai yang tingkat keimanannya di bawah Abu Bakar dan belum dijamin masuk surga, maka tidaklah pantas seorang pun mengambil berkah darinya.

Maka bagaimana pula dengan mengambil berkah dari kyai -yang tidak punya akal- seperti kerbau ‘Kyai Slamet’?!! Sungguh perbuatan ini tidaklah masuk akal dan tidak mungkin memberikan kebaikan sama sekali, tetapi malah akan menambah dosa. Dosa ini bukan sembarang dosa, namun dosa ini adalah dosa paling besar dari dosa-dosa lainnya yaitu dosa syirik dan Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik. Dan Dia mengampuni dosa yang berada di bawah syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. An Nisa’: 116)

Tingkat Kesyirikan Tabaruk (Mencari Berkah)

Syaikh Sholih Alu Syaikh hafidzohullah menjelaskan bahwa jika kita memperhatikan apa yang dilakukan oleh para penyembah kubur (yang datang ke kuburan para wali dan beribadah kepadanya, -pen) di zaman kita ini, di negeri-negeri yang di sana tersebar berbagai macam kesyirikan, kita akan mendapati di antara mereka ada yang melakukan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terdahulu terhadap laata, ‘uzza, dan dzatu anwat. Para penyembah kubur tersebut duduk-duduk di kuburan atau di sekeliling pagarnya, mereka berada di atas kuburan atau di celah-celah dinding yang mengelilingi kuburan. Mereka berkeyakinan apabila mereka menyentuhnya (dengan tujuan mencari berkah,-pen) seolah-olah mereka menyentuh orang yang berada dalam kuburan tersebut, terhubungkan roh mereka dengannya dan mereka meyakini bahwa orang yang berada di dalam kubur akan menjadi perantara antara mereka dengan Allah. Itulah pengagungan kepada kubur tersebut. Inilah syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam,-pen) karena perkara ini mengandung ketergantungan hati kepada selain Allah dalam mengambil manfaat dan menolak bahaya serta menjadikan perantara antara diri mereka dengan Allah. Perbuatan seperti ini adalah sebagaimana yang dilakukan orang-orang musyrik dahulu (yang telah dianggap kafir oleh Allah dan Rasul-Nya,-pen). Hal ini dapat dilihat pada firman Allah yang artinya, “Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya. “Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (Qs. Az Zumar: 3)

Adapun apabila mereka mengusap-ngusap kubur tersebut dan meyakini bahwa kubur tersebut adalah tempat yang penuh berkah dan hanya sebagai sebab mendapatkan berkah. Maka ini adalah syirik ashgor.

(Sebagian pembahasan di atas diambil dari kitab ‘At Tamhid lii Syarhi Kitabit Tauhid’ yang ditulis oleh Menteri Wakaf Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh Sholih Alu Syaikh -semoga Allah menjaga beliau-)

Wahai kaum muslimin, inilah tingkat kesyirikan tabaruk. Seseorang bisa keluar dari Islam disebabkan melakukan perbuatan syirik akbar ini. Maka renungkanlah, apakah perbuatan lain yang merupakan bentuk mencari berkah seperti ‘grebeg mulud’ (tumpukan tumpeng yang saling diperebutkan pada hari ‘maulud Nabi’) termasuk mencari berkah yang disyari’atkan atau tidak. Benarkah tumpeng yang diambil berkahnya tersebut bisa melariskan dagangan, melancarkan rizki seseorang, bisa membuat seseorang mendapatkan jodoh?!!

Semoga Allah menunjukkan kita kepada kebenaran dan meneguhkan kita di atasnya. Sesungguhnya Allah menunjuki pada jalan yang lurus bagi siapa yang dikehendaki.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://www.muslim.or.id

Diposkan oleh FB: ainuamri2@gmail.com di 21.21

//

Ada Apa Antara Yahudi Dengan Kita

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh akan kalian dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang yang mempersekutukan Allah (musyrik).” (QS. al-Maa’idah [5]: 82).

Yahudi dan orang-orang musyrik. Dua kelompok inilah musuh Islam yang paling keras dalam berupaya untuk menghancurkan umat Islam. Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Secara umum, kedua kelompok inilah golongan manusia yang paling besar dalam memusuhi Islam dan kaum muslimin dan paling banyak berusaha mendatangkan bahaya kepada mereka. Hal itu karena sedemikian keras kebencian orang-orang itu kepada mereka (umat Islam) yang dilatar belakangi oleh sikap melampaui batas, kedengkian, penentangan, dan pengingkaran (mereka kepada kebenaran).” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 220).

Demikian pula orang-orang Nasrani, mereka juga menginginkan agar umat Islam mengikuti jejak kesesatan mereka. Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah merasa puas/ridha kepada kalian sampai kalian mau mengikuti millah (ajaran agama) mereka.” (QS. al-Baqarah [2]: 120).

Seperti itulah tekad jahat musuh-musuh Islam yang sangat bernafsu untuk mencabut aqidah Islam yang suci nan mulia dari dada-dada kaum muslimin. Tak henti-hentinya mereka menyerang kaum muslimin dengan pemikiran dan kekuatan mereka, serta bekerja keras -siang dan malam- agar umat yang terbaik ini menjadi teman setia mereka untuk bersama-sama masuk ke jurang neraka. Allah ta’ala menggambarkan tentang permusuhan yang dikobarkan oleh orang-orang musyrik kepada umat ini dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan mereka senantiasa memerangi kalian agar kalian mau murtad dari agama kalian kalau saja mereka mampu melakukannya. Barangsiapa di antara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam keadaan kafir, maka mereka itulah orang yang terhapus amal-amal mereka di dunia dan di akhirat. Dan mereka itulah para penghuni neraka, mereka kekal berada di dalamnya.” (QS. al-Baqarah [2]: 217).

Itulah upaya mereka! Bukanlah tujuan mereka semata-mata untuk membunuh kaum muslimin atau merampas harta-harta mereka. Akan tetapi sesungguhnya maksud mereka adalah agar umat Islam ini murtad dari agamanya, sehingga mereka akan ikut-ikutan menjadi kafir sesudah -sebelumnya- mereka beriman. Dan pada akhirnya mereka akan ikut terseret ke dalam neraka. Inilah karakter orang-orang kafir secara umum. Tidak henti-hentinya mereka memerangi umat Islam. Dan yang paling menonjol dalam hal itu adalah ahli kitab yaitu Yahudi dan Nasrani. Mereka kerahkan kekuatan mereka untuk memurtadkan kaum muslimin dengan mendirikan berbagai yayasan, mengirimkan para misionaris, menyebarkan para dokter serta membangun sekolah-sekolah dalam rangka menjaring umat manusia masuk ke dalam agama mereka. Akan tetapi, ketahuilah bahwasanya Allah enggan memenuhi hasrat mereka -untuk memadamkan cahaya-Nya- maka Allah akan tetap menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang kafir itu tidak suka (disadur dari Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 81-82).

Oleh sebab itu tidak semestinya, bahkan haram hukumnya bagi umat Islam memberikan loyalitas mereka kepada musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak akan kamu temukan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir justru berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan rasul-Nya, meskipun orang-orang itu adalah ayah-ayah mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, atau kerabat mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah ditetapkan Allah keimanan di dalam hati mereka, dan Allah mengokohkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, dan Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah, ketahuilah sesungguhnya golongan Alah sajalah yang benar-benar mendapatkan kemenangan.” (QS. al-Mujadilah [58]: 22).

Berdasarkan ayat yang mulia ini, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan dalam kitabnya yang sangat masyhur Tsalatsatul Ushul, “Barangsiapa yang menaati rasul dan mentauhidkan Allah, maka tidak boleh baginya memberikan loyalitas (pembelaan dan kecintaan) kepada orang-orang yang memusuhi Allah dan rasul-Nya, meskipun orang itu adalah kerabat yang paling dekat.”

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah terdapat suri teladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaumnya; Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah tampak dengan jelas antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian mau beriman kepada Allah semata.” (QS. al-Mumtahanah [60]: 4). Syaikh Abdul Aziz bin Bazz rahimahullah menegaskan, “Maka sudah seharusnya kaum muslimin membenci dan memusuhi musuh-musuh Allah, dan di sisi lain menyayangi serta mencintai orang-orang yang beriman (umat Islam).” (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 12).

Maka sudah sewajarnya -bahkan wajib- bagi kaum muslimin untuk membantu saudaranya yang tertindas dan diperangi oleh musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya menurut kemampuan mereka masing-masing. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal kecintaan, berkasih sayang, dan hubungan perasaan di antara sesama mereka adalah laksana satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang kesakitan, maka semua anggota tubuh yang lain pun akan saling membantunya dengan merasakan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Bukhari [6011] dan Muslim [2586], dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ini lafazh Muslim).

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa seorang mukmin akan turut merasa susah dan sedih karena sesuatu yang membuat susah dan sedih saudaranya sesama mukmin yang lain.” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 163).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Mukmin yang satu dengan mukmin yang lain seperti satu bangunan, satu sama lain saling memperkuat.” (HR. Bukhari [481] dan Muslim [2585] dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu). Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan keimanan dari orang-orang yang tidak menyukai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana yang dia inginkan untuk dirinya. Beliau bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga dia menyukai kebaikan bagi saudaranya seperti apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari [13] dan Muslim [45] dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu). Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa seorang mukmin akan turut merasa senang dengan sesuatu yang membuat senang saudaranya sesama mukmin yang lain dan dia juga menginginkan kebaikan bagi saudaranya sesama mukmin sebagaimana dia menginginkan hal itu bagi dirinya sendiri. Dan ini semua muncul akibat bersihnya hati dari tipu daya, kedengkian, dan hasad.” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 163).

Sesungguhnya bumi Palestina merupakan bagian dari tanah air kaum muslimin. Bahkan seluruh muka bumi ini pada hakikatnya adalah tanah air umat Islam, bukan tempat berpijak bagi orang-orang kafir dan mempersekutukan Rabb mereka! Kaum muslimin yang berada di sana adalah saudara-saudara kita seaqidah. Maka musibah yang menimpa mereka akibat kekejian Yahudi merupakan musibah yang menimpa kita pula. Doa dan bantuan kita untuk mereka adalah wujud persaudaraan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Yakinlah, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kemenangan kepada siapa saja yang benar-benar memperjuangkan tegaknya agama yang hanif ini. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa.” (QS. al-Hajj [22]: 40). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Jika Allah menolong kalian, maka niscaya tidak akan ada yang dapat mengalahkan kalian. Namun, jika Allah membiarkan kalian (tidak memberikan pertolongan), maka siapakah lagi yang dapat menolong kalian setelah-Nya. Maka kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin itu bertawakal.” (QS. Ali Imran [3]: 160).

Oleh sebab itu wajib bagi kita untuk menanggalkan segala pengaruh buruk agama kekafiran dari tubuh umat Islam. Karena hanya dengan keimanan yang benar kepada Allah dan Rasul-Nya, kaum muslimin akan mendapatkan kemenangan. Bukan malah dengan meniru-niru penyimpangan mereka dengan merayakan tahun baru dan berhura-hura, meninggalkan majelis ilmu, meninggalkan para ulama, beramal tanpa ilmu, tidak tunduk kepada kebenaran, dan hanyut dalam urusan dunia sehingga melupakan akhirat. Ya Allah, hancurkanlah musuh-musuhMu dan tolonglah hamba-hambaMu, sesungguhnya Engkau Maha mendengar lagi Maha mengabulkan doa. Hanya kepada Mu-lah kami memohon taufik, pertolongan, dan kekuatan.

Ditulis di Yogyakarta, 3 Muharram 1430 H
Oleh hamba yang fakir kepada Rabbnya
Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel http://www.muslim.or.id
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Safar ke Kuburan (1)

Muqaddimah

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد:

Artikel berikut merupakan lanjutan dari artikel kami sebelumnya, “Ada Apa dengan Ziarah Kubur?”. Artikel ini merupakan “pelunas janji” yang telah kami utarakan pada artikel sebelumnya, sekaligus upaya untuk memahamkan kaum muslimin terhadap ajaran agamanya yang bersih dari noda-noda kesyirikan. Tidak lupa, kami ucapkan kepada ustadzuna tercinta, Abu Umamah Aris Munandar Hafizhhahullah ta’ala atas segala upaya dan jasa beliau terhadap diri kami, terutama dalam penulisan artikel ini.

Safar ke Kuburan

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه وأتباعه بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد:

Tidak dapat disangsikan lagi berbagai fenomena kesyirikan telah menyebar di bumi pertiwi yang kita cintai ini. Apa yang dilakukan para pengultus kubur di sisi kuburan para wali hanyalah secuil dari fenomena ini. Anggapan sebagian orang bahwa berdoa di samping kuburan wali lebih mustajab ketimbang berdoa di masjid Allah pun merebak, atau bahkan yang lebih parah dari itu mereka justru berdoa (meminta) kepada penghuni kubur tersebut agar hajatnya terpenuhi atau menyembelih untuk para wali atau ngalap berkah dengan kuburan tersebut dan berbagai perbuatan menggelikan lainnya.

Fenomena kesyirikan yang mereka lakukan tidak lepas dari pengultusan yang berlebihan terhadap para wali. Lumrah jika para wali patut dihormati, namun yang ganjil dan keliru adalah mengultuskan wali tersebut secara berlebihan dan mensejajarkannya dengan kedudukan Rabbul ‘Alamin. Padahal penghulu para wali, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang umatnya untuk berlebih-lebihan terhadap beliau dalam sabdanya,

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan seperti kaum Nasrani memuji ‘Isa bin Maryam (puncak pengultusan kaum Nasrani kepada nabi ‘Isa adalah menuhankan ‘Isa bin Maryam ‘alaihis salam, pen-). Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka panggillah aku dengan hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari nomor 3261)

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah mengatakan,

قوله لا تطروني لا تمدحوني كمدح النصارى حتى غلا بعضهم في عيسى فجعله إلها مع الله وبعضهم ادعى أنه هو الله وبعضهم بن الله

“Maksud sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘لا تطروني’ adalah janganlah kalian memujiku seperti perbuatan kaum Nasrani yang mengultuskan ‘Isa bin Maryam kemudian menjadikannya sesembahan di samping Allah atau bahkan lebih dari itu sebagian dari mereka mengklaim ‘Isa adalah Allah atau anak Allah.” (Fathul Baari, 12/149)

Pengultusan inilah yang mendorong sebagian besar kaum muslimin untuk berkunjung ke kuburan para wali. Wisata religi, penamaan sebagian orang atas kegiatan ini. Meski kegiatan tersebut membuat masyarakat merogoh kocek dalam-dalam, menempuh perjalanan yang jauh serta berpeluh, toh mereka tidak peduli karena mereka berkeyakinan mengunjungi kuburan para wali adalah perbuatan yang memiliki keutamaan, apalagi fenomena ini telah berlangsung sekian lama dan rutin dilakukan oleh sebagian besar penduduk negeri.

Pada kesempatan ini, kami akan mengetengahkan berbagai penjelasan ulama terhadap hadits syaddur rihal yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu.

Penjelasan hadits ini kami pandang penting karena memiliki kaitan yang erat dengan fenomena ziarah kubur wali atau yang dibungkus dengan label wisata religi sehingga menjadi komoditi yang dapat mempertebal kantong sebagian orang, tidak terkecuali mereka yang dipanggil dengan sebutan ‘Pak Kyai’.

Dalam menyusun risalah dan menerangkan pendapat yang benar dalam permasalahan ini, penyusun banyak mengambil faedah dari tulisan Muhadditsul ‘Ashr al Allamah Muhammad Nashiruddin al Albani rahimahullah, yaitu Ahkaamul Janaaiz wa Bida’uha. Kami memohon kepada Allah agar risalah ini bermanfaat bagi kami dan kaum muslimin seluruhnya. Aamin.

Hadits Syaddur Rihal

Dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجد الحرام ومسجد الأقصى ومسجدي

“Janganlah suatu perjalanan (rihal) diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: Masjidil Haram, masjid Al Aqsha, dan masjidku (Masjid Nabawi).” (HR. Bukhari nomor 1197)

Terdapat hadits yang semakna dengan hadits di atas, diantaranya adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد المسجد الحرام ومسجد الرسول صلى الله عليه وسلم ومسجد الأقصى

“Janganlah suatu perjalanan diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, Masjidil Haram, masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Masjidil Aqsha.” (HR. Bukhari nomor 1139)

Hadits di atas datang dalam bentuk penafian (negasi), namun mengandung larangan. Gaya bahasa yang demikian lebih tegas pelarangannya, sebagaimana dikemukakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tatkala membawakan perkataan ath Thibi rahimahullah (Al Fath 3/64). Namun, terdapat hadits lain yang menunjukkan bahwa penafian tersebut mengandung larangan. Hadits yang juga berasal dari Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تشدوا الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد مسجدي هذا والمسجد الحرام والمسجد الأقصى

“Janganlah kalian mempersiapkan perjalanan (bersafar), kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha.” (HR. Muslim nomor 827)

Hadits Nabi yang mulia di atas menyatakan keutamaan dan nilai lebih ketiga masjid tersebut daripada masjid yang lain. Hal tersebut dikarenakan ketiganya merupakan masjid para nabi ‘alaihius salam. Masjidil Haram merupakan kiblat kaum muslimin dan tujuan berhaji, Masjidil Aqsha adalah kiblat kaum terdahulu dan masjid Nabawi merupakan masjid yang terbangun d atas fondasi ketakwaan (Al Fath 3/64).

Silang Pendapat Mengenai Kandungan Hadits

Para ulama berbeda pendapat dalam menilai kandungan larangan yang tertera dalam hadits di atas. Al Hafizh menyebutkan terdapat dua pendapat dalam permasalahan ini (Al Fath, 3/65). Beliau menyatakan para ulama Syafi’iyyah sendiri terbagi menjadi dua kutub yang saling bertentangan.

Pendapat pertama adalah apa yang dikemukakan oleh Imam Abu Muhammad Al Juwaini dan didukung oleh Al Qadli Husain, Al Qadhi ‘Iyadh dan sekelompok ulama lainnya. Beliau berpendapat bahwa bersafar ke tempat-tempat yang diyakini memiliki keutamaan atau berziarah ke kuburan orang shalih selain ketiga masjid di atas termasuk dalam larangan tanpa terkecualikan. Mereka berdalil dengan pengingkaran Abu Basrah Al Ghifari terhadap tindakan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang mendatangi bukit Thursina dan melaksanakan shalat disana (HR. Ahmad nomor 23901, Syaikh Syu’aib al Arnauth menshahihkan hadits ini). Abu Basrah radhiyallahu ‘anhu mengatakan kepada beliau, “Jika aku berjumpa denganmu sebelum dirimu berangkat, tentulah engkau tidak akan pergi kesana”. Kemudian beliau berdalil dengan hadits syaddur rihal di atas dan Abu Hurairah menyetujuinya. Pengingkaran Abu Basrah terhadap apa yang diperbuat oleh Abu Hurairah merupakan indikasi bahwa larangan yang terkandung dalam hadits bersifat umum, mencakup seluruh tempat yang diyakini memiliki keutamaan dan dapat mendatangkan berkah.

Pendapat kedua menyatakan bersafar ke tempat-tempat tersebut tidak tercakup dalam larangan, sehingga hal tersebut diperbolehkan. Hal ini merupakan pendapat Imam Al Haramain dan ulama Syafi’iyyah lainnya termasuk Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dan pendapat ini juga didukung oleh imam An Nawawi dalam kitab beliau Al Minhaj Syarh Shahih Muslim. Mereka mengemukakan berbagai alasan untuk mendukung pendapat ini, diantaranya adalah:

1. Maksud dari hadits tersebut adalah keutamaan yang sempurna hanya diperoleh dalam bersafar menuju ketiga masjid tersebut, tidak ke tempat lainnya karena bersafar ke tempat-tempat selain ketiganya hukumnya boleh. Hal ini ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan Ahmad nomor 11627 dengan lafaz,

لا ينبغي للمطي أن تشد رحاله إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي

“Tidak selayaknya seorang bersafar ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut…….”

2. Mereka mengemukakan bahwa lafazh “لا ينبغي ” dalam hadits di atas tidaklah menunjukkan larangan, karena lafazh “لا ينبغي ” tidak dipergunakan untuk menyatakan keharaman sesuatu.

3. Larangan yang terkandung dalam hadits tersebut hanya berlaku bagi orang yang bernazar untuk shalat di suatu masjid selain ketiga masjid di atas. Mereka mengatakan nazar tersebut tidak perlu ditunaikan sebagaimana pendapat Ibnu Baththal.

4. Larangan dalam hadits tersebut hanya mencakup masjid semata sehingga makna hadits tersebut adalah, “Tidak boleh bersafar ke suatu masjid selain ketiga masjid di atas untuk melaksanakan shalat”. Hal ini berarti sengaja bersafar ke suatu tempat yang diyakini memiliki berkah dan keutamaan tidak tercakup dalam larangan tersebut. Alasan ini dikuatkan oleh riwayat dari imam Ahmad dari jalur Syahr bin Hausyab yang telah lalu. Syahr mengatakan, “Aku mendengar Abu Sa’id tatkala ditanya mengenai hukum sengaja bepergian ke bukit Thursina dan melaksanakan shalat disana. Maka beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

لا ينبغي للمطي ان تشد رحاله إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي

“Tidak selayaknya seorang bersafar ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut……….” (HR. Ahmad nomor 11627)

Pendapat yang Rajih

Pendapat kedua yang disebutkan di atas merupakan pendapat yang dipilih oleh Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani rahimahullah ta’ala. Beliau menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa larangan yang tertera dalam hadits tersebut hanya berlaku pada masjid semata, sedangkan bersafar ke tempat-tempat yang memiliki keutamaan seperti bersafar dalam rangka menziarahi kuburan orang shalih tidak termasuk dalam larangan tersebut (Lihat Fathul Baari 3/64-65), kemudian beliau membawakan beberapa alasan untuk menguatkan pendapat yang kedua sebagaimana telah tersebut di atas.

Pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hajar rahimahullah ta’ala merupakan pendapat yang jauh dari kebenaran. Beliau tidak menghiraukan riwayat yang shahih dari sahabat Abu Basrah al Ghifari yang berhujjah dengan hadits Abu Khudri untuk mengingkari perbuatan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Hal ini menunjukkan bahwa larangan yang tercantum dalam hadits Abu Sa’id di atas mencakup seluruh tempat yang dipandang memiliki keutamaan walaupun tempat tersebut bukan masjid.

Di antara riwayat yang menguatkan keumuman larangan tersebut adalah riwayat yang shahih dari Qaz’ah. Dia berkata, “Aku berkeinginan untuk pergi menuju bukit Thursina maka aku pun bertanya kepada Ibnu ‘Umar mengenai keinginanku tersebut.” Ibnu ‘Umar pun mengatakan, “Tidakkah engkau mengetahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد المسجد الحرام ومسجد النبي صلى الله عليه وسلم ومسجد الأقصى

“Janganlah suatu perjalanan diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, Masjidil Haram, masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Masjidil Aqsha”?! Urungkan niatmu tersebut dan janganlah engkau mendatangi bukit Thursina! (HR. Al Azraqi dalam Akhbaru Makkah hal. 304 dengan sanad yang shahih)

Bantahan Bagi Pendapat Kedua

Berbagai alasan yang telah dikemukakan oleh para ulama dalam mendukung pendapat kedua pun dapat dijawab dengan jawaban sebagai berikut:

1. Anggapan bahwa larangan tersebut hanya mencakup masjid-masjid selain ketiga masjid tersebut adalah anggapan yang lemah (yaitu alasan nomor tiga yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah).
2. Hadits yang dijadikan hujjah adalah hadits Syahr bin Hausyab di atas. Hadits tersebut merupakan hadits yang lemah ditinjau dari segi sanad dan matan hadits sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikh Al Albani.

Ditinjau dari segi sanad, maka hadits Syahr bin Hausyab merupakan hadits yang lemah sebagaimana yang akan kami terangkan.

Perlu diketahui hadits Syahr yang dimaksud merupakan jalur periwayatan yang lain dari hadits sahabat Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu yang menjadi pokok pembicaraan kita. Terdapat dua rawi yang meriwayatkan hadits Abu Sa’id ini dari Syahr, yaitu,

a. Laits bin Abi Sulaim dari Syahr bin Hausyab, dia berkata,

لقينا أبا سعيد ونحن نريد الطور فقال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : لا تشد المطي إلا إلى ثلاثة مساجد المسجد الحرام ومسجد المدينة وبيت المقدس

“Kami berpapasan dengan Abu Sa’id sedang kami hendak bepergian menuju bukit Thursina. (Tatkala beliau mengetahuinya), maka beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seseorang melaksanakan perjalanan ke suatu tempat kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, “Masjidil Haram, Masjid Madinah (Nabawi) dan Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha)” (HR. Ahmad nomor 11901)

Jalur periwayatan ini lemah disebabkan kelemahan Laits bin Abi Sulaim atau Ibnu Zanim Al Laits. Abu Hatim dalam Al Majruuhiin (2/231) mengatakan bahwa hadits yang Laits bin Abi Sulaim hafal telah tercampur di masa tuanya. Terkadang beliau tidak mengetahui riwayat yang sedang beliau utarakan, sehingga beliau mencampuradukkan berbagai sanad, memarfu’kan hadits-hadits mursal dan menyandarkan beberapa hadits kepada perawi-perawi tsiqat, padahal mereka tidak meriwayatkan hadits tersebut. Kemudian Abu Hatim menyebutkan bahwa riwayat beliau (Laits bin Abi Sulaim) ditinggalkan oleh para imam ahli hadits semisal Yahya al Qahthan, Ibnu Mahdi dan Ahmad bin Hambal. Hal yang senada dikemukakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Taqribut Tahdzib (1/464). Syaikh Syu’aib al Arnauth rahimahullah melemahkan jalur periwayatan ini dalam ta’liq beliau terhadap Musnad Ahmad bin Hambal.

b. Rawi kedua yang meriwayatkan dari Syahr adalah Abdul Hamid bin Bahram dengan lafazh لا ينبغي للمطي ان تشد رحاله إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي . Jalur periwayatan inilah yang dijadikan hujjah oleh ulama yang berpendapat larangan dalam hadits Abu Sa’id al Khudri hanya berlaku pada masjid semata. Keabsahan riwayat ini juga didukung oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 3/65. Beliau menilai Syahr bin Hausyab hasanul hadits

Syaikh al Albani rahimahullah mengatakan bahwa penilaian Ibnu Hajar rahimahullah terlalu terburu-buru. Beliau mengemukakan berbagai alasan sebagai berikut:

* Dalam riwayat ini terdapat tambahan “إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة “. Syahr bin Hausyab bersendirian dalam meriwayatkan tambahan ini. Karena dalam jalur periwayatan lain dari Abu Sa’id al Khudri yang shahih, tidak terdapat tambahan tersebut, bahkan tidak ditemukan dalam riwayat Laits dari Syahr yang telah dijelaskan kelemahannya! Hal ini menunjukkan tambahan tersebut adalah mungkar karena tidak tercantum dalam berbagai jalur periwayatan lain dari Abu Sa’id al Khudri, padahal jalur periwayatan dari Abu Sa’id al Khudri sangat banyak, namun tidak satu pun yang mencantumkan lafazh tambahan tersebut.
* Penilaian Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah yang menyatakan Syahr bin Hausyab hasanul hadits merupakan penilaian yang bertentangan dengan perkataan beliau di Taqribut Tahdzib 1/269. Dalam kitab tersebut beliau menyatakan bahwa Syahr bin Hausyab termasuk rawi shaduqun katsirul irsal wal auham, yaitu seorang yang tepercaya namun sering keliru dan meriwayatkan hadits-hadits mursal?! Padahal hadits yang dibawakan oleh rawi dengan kondisi demikian adalah hadits yang dhaif dan tidak patut dijadikan hujjah! (Lihat Ma’rifatu Ushulil Hadits 1/70 karya al Hakim, Syuruthul Aimmah 1/32 karya Ibnu Manduh dan al Masaa-il 3/307 karya al Ustadz Abdul Hakim bin ‘Amir Abdat).
* Anggaplah beliau, yakni Syahr bin Hausyab merupakan rawi yang hasanul hadits. Maka hadits yang dibawakan oleh seorang rawi dengan tingkatan hasanul hadits dapat dijadikan hujjah jika tidak menyelisihi riwayat lain yang lebih shahih. Namun tambahan hadits yang beliau (Syahr bin Hausyab) bawakan di atas telah menyelisihi riwayat yang lebih shahih dari para rawi yang juga meriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudri. Oleh karena itu, bagaimana mungkin beliau dikatakan sebagai seorang rawi yang hasanul hadits dengan adanya penyelisihan ini?! Bahkan beliau termasuk tingkatan rawi matrukul hadits sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Albani, dan Syaikh Albani tidak sendiri dalam mengkritik beliau (Syahr bin Hausyab). Terdapat beberapa kritikan terhadap Syahr bin Hausyab, diantaranya adalah sebagai berikut:
o Ahmad bin Syu’aib An Nasaa-i dalam Adl Dlu’afa wal Matrukiin menyatakan Syahr bin Hausyab ليس بالقوي (tidak kuat hafalannya).
o Ibnul Jauzi dalam Adl Dlu’afaa wal Matrukiin 2/43 membawakan perkataan Ibnu Hibban bahwa Syahr meriwayatkan berbagai hadits mu’dhol dari para perawi tsiqat.
o Ibnu Abi Hatim dalam Al Jarh wat Ta’dil (1/144) menyatakan bahwa Syu’bah meninggalkan hadits yang diriwayatkan oleh beliau (Syahr bin Hausyab). Dalam Tarikh Dimasyq 23/235 Syu’bah menyatakan و لقد لقيت شهرا فلم أعتد به (aku telah bertemu dengan Syahr, namun aku tidak mempedulikan riwayatnya).
o Terdapat kisah yang menyatakan kecacatan pada diri beliau (Syahr bin Hausyab). Disebutkan bahwa beliau telah mencuri sekantong uang dari Baitul Maal, sehingga tersebarlah perkataan لقد باع شهر دينه بخريطة فمن يأمن القراء بعدك يا شهر atas diri beliau (Lihat Al ‘Ilal wa Ma’rifatir Rijal 3/26 karya Ahmad bin Hambal, Tahdzibul Kamal 12/582 karya Al Maziy, Tahdzibut Tahdzib 4/324 karya Ibnu Hajar Al Asqalani dan Al Majruuhiin 1/361 karya Abu Hatim).

Dari segi matan, terdapat bukti lain yang menunjukkan kebatilan tambahan lafazh “إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة “. Dalam riwayat yang dibawakan oleh Syahr bin Hausyab, disebutkan bahwa sahabat Abu Sa’id melarangnya untuk pergi ke bukit Thursina dan Abu Sa’id berhujjah dengan riwayat tersebut.

Syaikh Al Albani mengatakan, “Jika tambahan tersebut merupakan dalil yang mengkhususkan bahwa larangan bersafar dalam hadits Abu Sa’id hanya mencakup masjid dan bukan tempat-tempat yang memiliki keutamaan, maka pendalilan sahabat Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu tidaklah tepat. Karena bukit Thursina bukan masjid tetapi sebuah bukit! Tempat di mana Allah ta’ala berbicara dengan Musa ‘alaihis salam. Jika tambahan lafazh tersebut shahih, maka bukit Thursina tidak tercakup dalam larangan sehingga pendalilan Abu Sa’id al Khudri keliru dan Syahr tidak akan mungkin menerima pendalilan Abu Sa’id tersebut.” (Ahkaamul Janaaiz wa Bidaa’uha hal. 290 dengan sedikit peringkasan).

Inilah kontradiksi para ulama yang berdalil dengan hadits Syahr bin Hausyab. Mereka berdalil dengan hadits ini untuk mendukung pendapat yang menyatakan larangan bepergian hanya berlaku pada masjid semata. Namun, mereka tidak merenungkan bahwa hadits tersebut justru bumerang bagi mereka. Karena dalam riwayat tersebut, Abu Sa’id melarang Syahr untuk pergi menuju bukit Thursina. Padahal sebagaimana yang dimaklumi bahwa bukit Thursina bukanlah masjid!

Hal ini menjadi dalil tambahan bahwa tambahan lafazh “إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة ” merupakan tambahan yang mungkar. Kalaulah tambahan itu shahih, maka mereka yang berpendapat bahwa larangan bersafar hanya mencakup masjid semata telah tenggelam dalam kontradiksi yang sangat jelas sebagaimana yang diterangkan oleh Syaikh Al Albani.

Alasan lain yang dikemukakan oleh ulama yang menyatakan bolehnya bersafar ke tempat-tempat yang memiliki keutamaan adalah apa yang mereka sebutkan pada poin pertama di atas, yaitu maksud hadits adalah keutamaan yang sempurna hanya diperoleh dalam bersafar ketiga masjid tersebut, tidak ke tempat lainnya karena bersafar ke tempat-tempat selain ketiganya hukumnya boleh. Kemudian untuk menguatkan alasan ini mereka berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan Ahmad nomor 11627 dengan lafazh,

لا ينبغي للمطي ان تشد رحاله إلى مسجد ينبغي فيه الصلاة غير المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي

“Tidak selayaknya seorang bersafar ke suatu masjid untuk melaksanakan shalat kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut, ….”

Mereka mengemukakan bahwa lafazh “لا ينبغي ” dalam hadits di atas tidaklah menunjukkan larangan, karena lafazh “لا ينبغي ” tidak dipergunakan untuk menyatakan keharaman sesuatu.

Jawaban atas pendapat ini sebagai berikut,

1. Riwayat yang mereka pergunakan sebagai hujjah tidaklah shahih sebagaimana telah lalu penjelasannya.

2. Anggaplah riwayat tersebut shahih, maka anggapan mereka bahwa lafazh “لا ينبغي ” tidak dipergunakan untuk menyatakan keharaman sesuatu merupakan anggapan yang keliru. Bahkan sebaliknya lafazh “لا ينبغي ” dalam Al Qur-an dan sunnah digunakan untuk sesuatu yang terlarang atau sesuatu yang mustahil (I’laamul Muwaqqi’in 1/43) diantaranya adalah firman Allah ta’ala dalam surat Maryam ayat 92,

وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (٩٢)

“Dan tidak layak bagi Rabb yang Maha Pemurah apabila memiliki anak.”

Begitu pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لا ينبغي لعبد أن يقول إنه خير من يونس بن متى

“Tidak boleh bagi seseorang menyatakan bahwa dirinya lebih baik daripada Yunus bin Matta.” (HR. Bukhari 3067)

Contoh yang lain dapat dilihat pada Ahkaamul Janaaiz hal. 291 dan I’laamul Muwaqqi’in 1/43.

Anggaplah sangkaan mereka bahwa lafazh “لا ينبغي ” tidak menyatakan keharaman, maka kita mengatakan minimal kandungan lafazh tersebut menyatakan kemakruhan. Akan tetapi anehnya mereka juga tidak menyatakannya, bahkan imam An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 9/106 menyatakan secara tegas dengan perkataannya,

والصحيح عند أصحابنا وهو الذي اختاره امام الحرمين والمحققون أنه لا يحرم ولا يكره

“Pendapat yang benar dalam permasalahan ini adalah sesuai dengan pendapat yang dipilih imam Al Haramain dan para peneliti bahwa hal tersebut (bersafar ke kuburan orang shalih atau tempat yang diyakini memiliki keutamaan- peny) tidaklah diharamkan dan dimakruhkan.”!!!

Rentetan jawaban yang diberikan di atas menjelaskan bahwa hadits yang digunakan justru menjadi hujjah bagi mereka dan sedikitpun tidak dapat dipakai untuk mendukung alasan yang mereka kemukakan.

Alasan yang tersisa sebagaimana yang dikemukakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah adalah sangkaan mereka bahwa larangan yang terkandung dalam hadits tersebut ditujukan bagi orang yang bernazar untuk shalat di suatu masjid selain ketiga masjid di atas. Di tempat yang sama, Al Hafizh juga menyebutkan bahwa maksud larangan dalam hadits ditujukan bagi mereka yang sengaja hendak beri’tikaf di suatu masjid selain ketiga masjid. Alasan ini sangat lemah, karena hal tersebut merupakan pengkhususan tanpa dilandasi dengan dalil sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Al Hafizh Ibnu Hajar (Al Fath 3/65) dengan perkataan beliau, وَلَمْ أَرَ عَلَيْهِ دَلِيلًا (aku tidak melihat satu dalil pun untuk mendukung pengkhususan ini -peny). Oleh karena itu, alasan ini sangat lemah dan tidak berdasar.

Dari uraian di atas, wajib memberlakukan keumuman larangan yang terkandung dalam hadits Abu Sa’id tersebut. Larangan bersafar yang dimaksudkan adalah larangan untuk sengaja bersafar ke seluruh tempat-tempat yang diyakini memiliki keutamaan baik itu masjid, kuburan orang shalih dan semisalnya. Terkecualikan dari larangan tersebut, tiga masjid yang telah dinyatakan dalam hadits, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.

-bersambung insya Allah-

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel http://www.muslim.or.id

Safar ke Kuburan (2)

Kesimpulan

Uraian panjang di atas, mengenai perbedaan pendapat dalam permasalahan ini membawa kita pada kesimpulan berikut:

1. Wajib memberlakukan keumuman larangan yang terkandung dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu. Larangan yang tercantum dalam hadits tersebut ditujukan bagi mereka yang sengaja bersafar ke suatu tempat yang diyakini memiliki keutamaan. Hal ini ditunjukkan oleh tindakan Abu Basrah yang mengingkari Abu Hurairah yang mengunjungi bukit Thursina dan melaksanakan shalat disana untuk mendapat berkah. Tindakan serupa dilakukan oleh sahabat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu yang melarang Qaz’ah tatkala hendak pergi menuju bukit Thursina.

2. Hadits Abu Basrah dan riwayat dari Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan di atas merupakan dalil yang mengkuhususkan hadits Abu Sa’id Al Khudri dan yang semisalnya. Larangan tersebut hanya berlaku bagi orang yang sengaja bersafar ke suatu tempat selain masjid yang tiga dalam rangka beribadah. Sehingga larangan bersafar hanya berlaku pada tempat-tempat yang akan digunakan untuk peribadatan, seperti masjid selain masjid yang tiga atau tempat-tempat semisal yang diyakini memiliki keutamaan apabila seorang beribadah di sana seperti bukit Thursina yang dikunjungi oleh Abu Hurairah lalu diingkari oleh sahabat Abu Basrah.

Adapun safar ke suatu tempat dengan tujuan untuk menuntut ilmu, berjual-beli atau safar ke suatu tempat tanpa kepentingan melakukan ibadah disana, maka hal ini tidak tercakup dalam larangan tersebut. Bersafar dengan tujuan menuntut ilmu, berdagang atau mengunjungi saudara jauh karena Allah ta’ala dilakukan untuk menunaikan berbagai hajat tersebut bukan dikarenakan keistimewaan tempat yang akan dikunjungi. Hal ini tentu berbeda dengan orang-orang yang rela bersafar jauh untuk mengunjungi kuburan para wali atau yang semisalnya. Motif yang melatarbelakangi perbuatan tersebut adalah keyakinan yang terpatri di dada mereka bahwa tempat yang akan dikunjungi memiliki keistimewaan dan keutamaan (Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal. 292). Bagi mereka yang merenungkan hal ini dengan teliti akan mampu membedakannya!

3. Uraian di atas menunjukkan kekeliruan pendapat yang menyatakan maksud larangan dalam hadits Abu Sa’id adalah larangan untuk bersafar ke suatu masjid selain masjid yang tiga, dan kekeliruan pendapat yang membolehkan untuk bersafar ke kuburan para wali dan tempat-tempat semisal. Berbagai penjelasan akan kekeliruan tersebut telah diuraikan di atas.

Terdapat kontradiksi lain yang muncul jika larangan bersafar hanya ditujukan untuk masjid. Telah kita ketahui bahwa beribadah di masjid lebih utama ketimbang beribadah di tempat lain, misalnya seorang yang shalat di masjid tentulah lebih utama dibandingkan orang yang shalat di rumah sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

أحب البقاع إلى الله المساجد

“Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjid.” (Musnad Asy Syihab nomor 1301 dan Shahihut Targhib nomor 322)

Jika larangan dalam hadits Abu Sa’id hanya mencakup larangan bersafar ke suatu masjid selain masjid yang tiga, walaupun masjid tersebut dibangun di atas fondasi ketakwaan seperti Masjid Quba, maka pertanyaan yang patut disodorkan bagi mereka yang berpendapat demikian adalah,

* Mengapa anda justru membolehkan manusia untuk bersafar menziarahi kuburan orang shalih atau tempat-tempat semisal padahal keutamaan tempat-tempat tersebut tentulah tidak lebih utama daripada Masjid Quba dan masjid-masjid lain secara umum?
* Ketika anda berpendapat bahwa maksud larangan tersebut adalah larangan bersafar ke suatu masjid selain masjid yang tiga, bukankah larangan tersebut lebih berhak diberlakukan kepada mereka yang bersafar ke kuburan para wali atau tempat-tempat semisal?
* Anggaplah tempat-tempat tersebut memiliki keutamaan yang ditunjukkan oleh nash syari’at, tentulah tidak melebihi keutamaan yang dimiliki masjid-masjid Allah, terlebih masjid Quba yang telah Allah puji dalam firman-Nya dan sabda rasul-Nya. Apakah dapat dinalar, jika syari’at yang bijaksana ini memberikan toleransi bagi pemeluknya untuk bersafar ke kuburan para wali atau tempat semisalnya kemudian melarang bersafar ke masjid Quba?! (Lihat Ahkaamul Janaaiz wa Bida’uha hal. 292, terdapat penjelasan serupa dalam Majmu’ul Fatawa 27/8)

Inilah kontradiksi lain sekaligus sebagai dalil tambahan untuk menggambarkan kekeliruan pendapat para ulama yang berpendapat bahwa maksud larangan dalam hadits Abu Sa’id adalah larangan bersafar ke suatu masjid selain masjid yang tiga kemudian mereka membolehkan untuk bersafar ke kuburan orang shalih dan tempat-tempat semisal.

4. Hikmah keumuman larangan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu adalah untuk menutup berbagai jalan yang dapat menghantarkan umat ini ke dalam kubangan kesyirikan. Diantaranya adalah pengultusan individu sehingga menempatkannya sejajar dengan kedudukan Allah ta’ala. Bukankah termasuk tindakan pengultusan dan berlebihan, ketika seorang sengaja bepergian ke suatu tempat yang jauh karena meyakini kuburan fulan bin fulan mampu mendatangkan berkah, atau dengan anggapan beribadah di sana lebih khusyuk ketimbang di masjid Allah, atau meyakini berdoa di tempat tersebut lebih mustajab padahal tidak terdapat dalil yang membenarkan keyakinan mereka tersebut?! Atau justru lebih parah dari itu, seorang bepergian ke sana dalam rangka mengadukan dan meminta berbagai hajatnya kepada penghuni kubur tersebut?! Hal inilah yang terjadi pada umat ini sebagaimana yang dikemukakan Syaikh Waliyullah Adh Dhahawi, beliau menyatakan,

كَانَ أَهْل الْجَاهِلِيَّة يَقْصِدُونَ مَوَاضِع مُعَظَّمَة بِزَعْمِهِمْ يَزُورُونَهَا وَيَتَبَرَّكُونَ بِهَا ، وَفِيهِ مِنْ التَّحْرِيف وَالْفَسَاد مَا لَا يَخْفَى ، فَسَدَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَسَاد لِئَلَّا يَلْتَحِق غَيْر الشَّعَائِر بِالشَّعَائِرِ وَلِئَلَّا يَصِير ذَرِيعَة لِعِبَادَةِ غَيْر اللَّه وَالْحَقّ عِنْدِي أَنَّ الْقَبْر وَمَحَلّ عِبَادَة وَلِيّ مِنْ أَوْلِيَاء اللَّه وَالطُّور كُلّ ذَلِكَ سَوَاء فِي النَّهْي

“Dahulu kaum musyrikin jahiliyah sering bepergian ke tempat-tempat yang dianggap keramat menurut anggapan mereka. Mereka berziarah ke sana dan bertabarruk dengan tempat-tempat tersebut. Di tempat-tempat itu terjadi berbagai bentuk pelanggaran dan kerusakan secara jelas, tidak tersembunyi. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah kerusakan yang terjadi sehingga syi’ar-syi’ar Islam tidak ternodai dan tercampuri dengan sesuatu yang asing. Tindakan beliau juga bertujuan agar kerusakan yang timbul di berbagai tempat tersebut tidak menjadi sarana yang dapat menghantarkan manusia untuk beribadah kepada selain Allah. Pendapat yang benar menurutku adalah kuburan dan berbagai tempat peribadatan para wali Allah termasuk bukit Thursina, seluruhnya tercakup dalam larangan tersebut.” (Aunul Ma’bud 6/13)

Imam Asy Syafi’i sendiri pernah menyatakan bahwa beliau tidak suka seseorang dikultuskan sehingga kuburnya pun ikut diagungkan. Beliau berkata,

وأكره ان يعظم مخلوق حتي يجعل قبره مسجدا مخافة الفتنة عليه وعلي من بعده من الناس

“Dan aku membenci seorang makhluk dikultuskan sehingga kuburnya dijadikan sebagai tempat peribadatan (masjid) karena aku khawatir fitnah menimpa dirinya dan orang-orang yang hidup setelahnya.” (Al Majmu’ 5/314)

Untuk melihat berbagai kekeliruan dan kemungkaran yang sering dilakukan peziarah kubur, silakan melihat artikel kami “Berbagai kekeliruan dalam Berziarah Kubur”, semoga Allah ta’ala memudahkan kami untuk menyelesaikannya.

Tarjih haramnya sengaja bersafar ke selain masjid yang tiga merupakan pendapat imam Malik rahimahullah dan juga ulama selain beliau seperti imam Abu Muhammad Al Juwaini, Al Qadhi Husain, Al Qadhi ‘Iyadh dan lainnya rahimahumullah . Bahkan imam Malik rahimahullah menganggap makruh penggunaan kata ziarah, seperti seorang yang bersafar ke makam nabi lalu mengatakan, “Aku menziarahi makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al Mudawwanatul Kubra 2/132, dinukil dari Ensiklopedi Larangan Menurut Al Qur-an dan As Sunnah jilid 1 hal. 426, dengan sedikit perubahan; Lihat pula Majmu’ul Fatawa 27/245)

Ucapan imam Malik tersebut, secara implisit menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara safar ke kuburan dengan ziarah kubur secara syar’i. Sebagian orang terkadang menyamakan kedua hal tersebut tanpa meneliti secara detail.

Patut dicamkan bahwa hal ini bukan berarti melarang kaum muslimin untuk menziarahi kubur beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ziarah kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu yang disyari’atkan dan pelaksanaannya pun harus sesuai dengan syari’at. Diantaranya adalah tidak mengadakan safar untuk menziarahi makam beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan keumuman larangan yang terkandung dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri yang menjadi pokok pembicaraan kita.

Sebagian orang kurang teliti dalam membahas permasalahan ini dan menuding bahwa mereka yang berpegang dengan keumuman larangan dalam hadits tersebut dengan tuduhan yang tidak berdasar, yaitu menuduh bahwa mereka telah melarang umat Islam untuk berziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tuduhan tersebut tidak berdasar karena yang terlarang adalah jika seseorang sengaja bersafar ke kuburan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini berdasarkan keumuman larangan dalam hadits Abu Sa’id. Namun jika seorang bersafar dengan niat beribadah di masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia mengunjungi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengucapkan salam kepada beliau maka hal ini disyari’atkan dan tidak terlarang sebagaimana perkataan para ulama.

Pangkal permasalahannya adalah mereka tidak mampu membedakan antara dorongan dan anjuran untuk berziarah kubur tanpa bersafar dengan bersafar ke kuburan tertentu. Perkara yang pertama dianjurkan oleh syariat dan telah ditunjukkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Lakukanlah ziarah kubur! Karena hal itu mengingatkan kalian kepada kematian.” (HR. Muslim kitab Al Janaaiz 7/46, dengan Syarh An Nawawi). Adapun perkara yang kedua merupakan perkara yang terlarang sebagaimana yang telah ditegaskan dalam hadits yang memuat larangan untuk melakukan safar yang jauh dan melelahkan ke suatu tempat tertentu selain tiga masjid dengan tujuan bertaqarrub (mendekatkan diri -ed), seperti wisata-wisata sejarah atau yang dikenal dengan sebutan wisata rohani pada saat ini.

Imam Al Hafizh Ibnu ‘Abdil Hadi mengatakan, “Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara bersafar untuk melakukan ziarah kubur dengan berziarah kubur tanpa bersafar. Barang siapa yang keliru, menyamakan status dan hukum kedua permasalahan tersebut, mencela golongan yang membedakan keduanya serta menakut-nakuti manusia agar membenci golongan tersebut, maka (pada hakikatnya dirinyalah) yang diharamkan untuk mendapatkan taufik dan telah menyimpang dari jalan yang lurus.”(Ash Sharimul Manky hal. 27, dinukil dari Khashaishul Musthafa bainal Ghuluw wal Jafa’ hal. 161)

Khusus terkait dengan poin ini, semoga Allah memberi kemampuan bagi penulis untuk menyusun sebuah uraian dalam rangka membantah tuduhan sebagian kalangan terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang turut memegang keumuman larangan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu. Tuduhan yang mereka lancarkan hanyalah didasari kedengkian dan diwarnai kedustaan sekaligus menunjukkan ketidakmampuan untuk membedakan antara berziarah kubur tanpa melakukan safar dengan bersafar untuk berziarah kubur.

Demikianlah uraian yang kami ketengahkan berikut pendapat yang benar dalam permasalahan ini. Semoga Allah memberikan manfaat bagi penulis dan mereka yang menelaah tulisan ini. Semoga Allah menjadikan amalan ini ikhlas untuk mengharap Wajah-Nya dan memberikan pahala kepada berbagai pihak yang telah membantu.

والله أعلم, وصلى الله على نبينا محمد وآله وسلم. و الحمد لله رب العالمين.

Segala puji bagi Allah. Selesai disusun pada bulan Dzulhijjah 1428 H

***

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel http://www.muslim.or.id

Nasihat Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan: Pahami Aqidah Terlebih Dulu

Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan pernah ditanya:

“Pada masa-masa belakangan ini kita perhatikan para pemuda cenderung lalai dan malas mempelajari aqidah, enggan mendalaminya, dan sangat kurang mencurahkan perhatian mereka kepadanya. Mereka justru sibuk dengan urusan-urusan lain. Apakah nasihat Anda bagi para pemuda seperti mereka ini?”

Beliau menjawab: Saya menasihatkan kepada para pemuda dan kaum muslimin yang lainnya agar memberikan perhatian terhadap aqidah terlebih dulu sebelum segala sesuatu. Dikarenakan aqidah adalah landasan yang menjadi penopang tegaknya seluruh amal, untuk diterima atau ditolak. Apabila aqidah tersebut benar dan sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh para rasul ‘alaihimush shalatu was salam dan secara khusus bersesuaian dengan ajaran sang penutup para rasul yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua amalan itu akan diterima jika amal-amal tersebut ikhlas untuk mengharap wajah Allah ta’ala dan sesuai dengan syariat Allah dan rasul-Nya. Sedangkan apabila aqidah itu rusak atau sesat dikarenakan dibangun di atas sikap membebek dan taklid kepada nenek moyang dan leluhur semata, atau karena aqidah itu ternodai kesyirikan, apabila demikian maka amal-amal tersebut akan tertolak dan tidak akan diterima barang sedikitpun, meskipun pelakunya ikhlas dan benar-benar menginginkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Hal itu dikarenakan Allah tidak akan menerima amalan kecuali apabila ikhlas untuk mengharap wajah-Nya yang mulia serta benar yaitu sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh sebab itu barang siapa yang menginginkan keselamatan bagi dirinya serta menghendaki amal-amalnya diterima dan sangat ingin menjadi seorang muslim yang sejati maka wajib baginya untuk menaruh perhatian besar terhadap masalah aqidah, yaitu dengan cara memahami aqidah yang benar serta hal-hal yang bertentangan dengannya, yang dapat membatalkannya dan bisa menggerogotinya, sampai dia bisa membangun amal-amalnya di atas aqidah tersebut. Dan hal itu tidak akan bisa dicapai tanpa mempelajarinya dari para ulama serta para pemilik pengetahuan yang mendalam yang mengambil ilmu tersebut dari kalangan pendahulu umat ini.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketahuilah, sesunguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah, dan minta ampunlah atas dosamu dan dosa kaum beriman yang lelaki maupun yang perempuan.” (QS. Muhammad: 19)

Bahkan Imam Al-Bukhari telah membuat sebuah judul bab khusus di dalam kitabnya di mana beliau berkata, ‘Bab Ilmu didahulukan sebelum ucapan dan perbuatan’. Dan beliau menyitir ayat yang mulia ini. “Ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah,” di dalam ayat tersebut Allah subhanahu wa ta’ala memulai dengan ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya seluruh manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, saling mewasiatkan dalam hal kebenaran dan saling mewasiatkan dalam kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 1-3)

Di dalamnya Allah menjanjikan keselamatan dari kerugian bagi orang yang memenuhi empat kriteria:

Kriteria pertama: iman, yang itu berarti memiliki keyakinan yang benar. Kriteria kedua: amal shalih serta ucapan yang shalih. Disebutkannya ucapan dan amal shalih sesudah iman merupakan gaya bahasa penyebutan kata yang khusus setelah kata yang bersifat umum; sebab amal adalah bagian dari iman, penyertaan ini bertujuan untuk menunjukkan agungnya kedudukan amal.

Kriteria ketiga: dan saling menasihati dalam kebenaran, yaitu mereka berdakwah ilallah, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar. Setelah mereka memperhatikan kepentingan diri mereka sendiri terlebih dahulu, dan setelah mereka mengerti jalan yang benar maka mereka pun kemudian mengajak orang lain untuk menjalani hal itu, sebab seorang muslim itu juga dibebani tugas untuk mendakwahi manusia kepada ajaran Allah subhanahu wa ta’ala, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar.

Dan mereka saling menasihatkan untuk menetapi kesabaran, inilah kriteria yang keempat, yaitu bersabar dalam menghadapi resiko lelah dan kesulitan dalam menjalani perkara tersebut. Tidak ada kebahagiaan bagi seorang muslim kecuali apabila dia telah merealisasikan keempat kriteria ini.

Adapun menaruh perhatian besar terhadap wawasan/tsaqafah umum dan berita-berita surat kabar dan juga ucapan-ucapan orang dan berbagai peristiwa di dunia, maka sesungguhnya hal itu boleh saja ditelaah apabila seorang insan telah benar-benar mewujudkan tauhid dan membenahi aqidah, barulah dia bisa melihat-lihat hal-hal tersebut dalam rangka mengenali kebaikan dan keburukan, atau dalam rangka memperingatkan umat dari kejelekan-kejelekan dan seruan-seruan kesesatan yang bertebaran di masyarakat. Akan tetapi hal itu dapat dilakukannya apabila dia telah mempersenjatai diri dengan ilmu, serta keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Adapun orang yang memaksakan diri menelaah persoalan dan berita koran semacam itu atau menyelami dunia politik namun dalam keadaan tanpa berbekal ilmu yang benar tentang aqidahnya dan tanpa bekal ilmu tentang ajaran agamanya, maka sebenarnya perbuatannya itu tidak akan bermanfaat baginya barang sedikitpun. Bahkan dia telah menyibukkan diri dalam suatu urusan yang tidak ada faedahnya baginya, dan dia tidak akan mampu membedakan mana yang benar dan mana yang batil.

Kebanyakan orang yang tidak mengerti aqidah dan terlalu mencurahkan perhatian mereka untuk mengurusi persoalan-persoalan semacam ini telah terjerumus dalam kesesatan dan bahkan menyesatkan orang. Mereka telah membuat pengaburan kepada manusia, hal itu terjadi karena sebenarnya mereka tidaklah memiliki ilmu dan keterangan yang bisa dipakai untuk memilah antara yang berbahaya dengan yang bermanfaat, mana yang harus diambil dan mana yang harus ditinggalkan serta bagaimanakah cara untuk mengatasi persoalan. Oleh sebab itu muncullah berbagai kejanggalan serta kekaburan pada kebanyakan orang. Itu semua terjadi disebabkan mereka menerjuni persoalan tsaqafah dan dunia perpolitikan sementara mereka tidak mempunyai bekal ilmu tentang aqidah mereka dan pemahaman yang bersumber dari ajaran agama mereka, sehingga akhirnya mereka menyangka suatu kebenaran sebagai kebatilan, dan sebaliknya; menyangka suatu kebatilan sebagai kebenaran.

Sumber: Al Muntaqa min Fatawa Al Fauzan, jilid 1, islamspirit.com

***

Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel http://www.muslim.or.id

Melestarikan Tauhid Dengan Dzikir dan Syukur

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya adalah seperti perumpamaan orang yang hidup dengan orang yang sudah mati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikhul Islam mengatakan, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Lantas apakah yang akan terjadi pada seekor ikan apabila dia dipisahkan dari air?” (Lihat Al Wabil Ash Shayyib oleh Ibnul Qayyim)

Kaitan Syukur dengan Tauhid

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan dalam mukadimah Al Qawa’id Al Arba’, “Aku memohon kepada Allah yang Maha mulia Rabb pemilik arsy yang agung, semoga Dia senantiasa menolongmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. Semoga Dia menjadikanmu senantiasa diberkahi di manapun engkau berada dan menjadikanmu bersyukur apabila diberi karunia, bersabar apabila mendapat coba, dan memohon ampun apabila terjatuh dalam dosa, karena sesungguhnya ketiga hal itulah lambang kebahagiaan.”

Syaikh Shalih Alusy Syaikh mengatakan,”Syukur memiliki kaitan erat dengan tauhid. Tatkala sang imam (Syaikh Muhammad bin abdul Wahhab) rahimahullah menyebutkan do’a untuk kita supaya bersyukur atas karunia, bersabar atas musibah dan istighfar ketika berbuat dosa, seolah-olah beliau sedang mengarahkan pandangan matanya kepada kondisi yang dialami kaum yang bertauhid. Beliau berbicara dengan mereka tentang suatu kewajiban yang harus senantiasa mereka tunaikan. Sebab seorang yang telah bertauhid mendapatkan karunia yang sangat besar, tidak ada lagi nikmat lain yang menandinginya. Nikmat itu adalah keberadaannya di atas ajaran Islam yang lurus. Nikmat itulah yang membuatnya bisa tegak di atas prinsip tauhid yang murni. Tauhid itulah yang menjadi sebab Allah menjanjikan kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi orang-orang yang merealisasikannya.” (Syarh Qawa’id Arba’)

Syaikh Shalih melengkapi keterangannya, “Apabila berdosa maka diapun beristighfar”. Dalam diri seorang muwahhid juga terdapat unsur ketidaktaatan. Dia tidaklah terlepas dari perbuatan dosa, yang kecil maupun yang besar. Sedangkan salah satu Asma’ Allah adalah Al Ghafuur (Maha Pengampun) maka pengaruh hukum dari Asma itu pasti terwujud pada alam serta kerajaan-Nya. Karena itulah Allah mencintai hamba-Nya yang bertauhid lagi ikhlash untuk senantiasa meminta ampunan. Seorang muwahhid pasti mengalami hal itu.”

“Apabila seorang hamba meninggalkan keagungan istighfar ini, niscaya dia akan tertimpa kesombongan. Padahal kesombongan akan menghapuskan banyak pahala amal perbuatan. Karena latar belakang itulah beliau (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah) mengatakan di sini,”Apabila berdosa maka diapun beristighfar. Karena sesungguhnya ketiga hal itu adalah simbol kebahagiaan sejati”. Maka ini artinya hal itu pasti terjadi terhadap setiap muwahhid. Hal itu mencakup bersyukur ketika mendapat karunia, bersabar ketika tertimpa coba dan beristighfar ketika berbuat dosa dan maksiat. Semakin besar pengenalan seorang hamba terhadap Tuhannya niscaya ketiga hal inipun akan semakin kuat tertancap di dalam jiwanya. Dan semakin besar ruang tauhid dalam hati seorang hamba niscaya ketiga hal ini pun turut membesar. Dengan sikap demikian niscaya akan melahirkan seorang hamba yang tidak lagi memandang selain keridhaan Allah jalla wa ‘ala dalam melaksanakan amal maupun aktifitas hidupnya, dia tidak mau mempersembahkan sedikitpun amalnya untuk selain-Nya. Apabila dia telah lalai dari hal itu maka istighfar yang diucapkannya bukanlah istighfar yang sebenarnya.” (Syarh Qawa’id Arba’)

Berdzikir dan Bersyukur

Allah ta’ala berfirman,

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ

“Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (Qs. Al Baqarah [2]: 152)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Dzikir kepada Allah ta’ala yang paling utama adalah dengan menyesuaikan isi hati dengan dzikir yang diucapkan oleh lisan. Itulah dzikir yang dapat membuahkan pengenalan kepada Allah, rasa cinta kepada-Nya, dan pahala yang melimpah dari-Nya. Dzikir adalah bagian terpenting dari syukur.

Oleh sebab itu Allah memerintahkannya secara khusus, kemudian sesudahnya Allah memerintahkan untuk bersyukur secara umum. Allah berfirman yang artinya, “Maka bersyukurlah kepada-Ku.”

Yaitu bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmat ini yang telah Aku karuniakan kepada kalian dan atas berbagai macam bencana yang telah Aku singkirkan sehingga tidak menimpa kalian….”

“Disebutkannya perintah untuk bersyukur setelah penyebutan berbagai macam nikmat diniyah yang berupa ilmu, penyucian akhlak, dan taufik untuk beramal, maka itu menjelaskan bahwa sesungguhnya nikmat diniyah adalah nikmat yang paling agung. Bahkan, itulah nikmat yang sesungguhnya. Apabila nikmat yang lain lenyap, nikmat tersebut masih tetap ada.

Sudah selayaknya setiap orang yang telah mendapatkan taufik (dari Allah) untuk berilmu atau beramal untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat itu. Hal itu supaya Allah menambahkan karunia-Nya kepada mereka. Dan juga, supaya lenyap perasaan ujub (kagum diri) dari diri mereka. Dengan demikian, mereka akan terus disibukkan dengan bersyukur.”

“Karena lawan dari syukur adalah ingkar/kufur, Allah pun melarang melakukannya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian kufur”. Yang dimaksud dengan kata ‘kufur’ di sini adalah yang menjadi lawan dari kata syukur. Maka, itu berarti kufur di sini bermakna tindakan mengingkari nikmat dan menentangnya, tidak menggunakannya dengan baik. Dan bisa jadi maknanya lebih luas daripada itu, sehingga ia mencakup banyak bentuk pengingkaran. Pengingkaran yang paling besar adalah kekafiran kepada Allah, kemudian diikuti oleh berbagai macam perbuatan kemaksiatan yang beraneka ragam jenisnya dari yang berupa kemusyrikan sampai yang ada di bawah-bawahnya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 74)

Adh Dhahak bin Qais mengatakan, “Ingatlah kepada Allah di saat senang, niscaya Dia akan mengingat kalian di saat sulit.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 248) Ada lelaki berkata kepada Abud Darda’, “Berilah saya wasiat.” Beliau menjawab, “Ingatlah Allah di waktu senang, niscaya Allah ‘azza wa jalla akan mengingatmu di waktu susah.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 248)

Penopang Tegaknya Agama

Al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan di dalam sebuah kitabnya yang penuh faedah yaitu Al Fawa’id, “Bangunan agama ini ditopang oleh dua kaidah: Dzikir dan syukur. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian kufur.” (QS. Al Baqarah [2] : 152).”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz, “Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah kamu lupa untuk membaca doa di setiap akhir shalat: ‘Allahumma a’innii ‘ala dzikrika wa syukrika, wa husni ‘ibaadatik.’ (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu dan bersyukur kepada-Mu, serta agar bisa beribadah dengan baik kepada-Mu).” (HR. An Nasa’i [1303] dalam pembahasan Sujud Sahwi, Abu Dawud [1522] dalam pembahasan Shalat, dan Ahmad [21614] dari jalan Abdurrahman Al Hubla dari Ash Shonabihi dari Mu’adz bin Jabal, disahihkan Al Albani dalam Sahih Sunan Abu Dawud. (Tahqiq Al Fawa’id))

“Bukanlah yang dimaksud dengan dzikir di sini sekedar berdzikir dengan lisan. Namun, dzikir dengan hati sekaligus dengan lisan. Berdzikir/mengingat Allah mencakup mengingat nama-nama dan sifat-sifat-Nya, mengingat perintah dan larangan-Nya, mengingat-Nya dengan membaca firman-firman-Nya.

Itu semua tentunya akan melahirkan ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah), keimanan kepada-Nya, serta keimanan kepada kesempurnaan dan keagungan sifat-sifat-Nya.

Selain itu, ia akan membuahkan berbagai macam sanjungan yang tertuju kepada-Nya. Sementara itu semua tidak akan sempurna apabila tidak dilandasi dengan ketauhidan kepada-Nya. Maka dzikir yang hakiki pasti akan melahirkan itu semuanya. Dan ia juga akan melahirkan kesadaran mengingat berbagai macam kenikmatan, anugerah, serta perbuatan baik-Nya kepada makhluk-Nya.”

“Adapun syukur adalah mengabdi kepada Allah dengan menaati-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya dengan hal-hal yang dicintai-Nya, baik yang bersifat lahir ataupun batin. Dua perkara inilah simpul ajaran agama. Mengingat-Nya akan melahirkan pengenalan (hamba) kepada-Nya.

Dan dalam bersyukur kepada-Nya terkandung ketaatan kepada-Nya. Kedua perkara inilah tujuan diciptakannya jin dan manusia, langit dan bumi serta segala sesuatu yang berada di antara keduanya. Lawan dari tujuan ini adalah berupa kebatilan (kesia-siaan) dan main-main belaka. Allah Maha tinggi dan Maha suci dari perbuatan semacam itu. Seperti itulah anggapan buruk yang ada pada diri musuh-musuh-Nya.”

“Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi serta apa-apa yang ada di antara keduanya sia-sia, itulah yang disangka oleh orang-orang kafir itu.” (Qs. Shad [38]: 27)

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi serta apa yang berada di antara keduanya sekedar bermain-main saja. Tidaklah Kami menciptakan keduanya kecuali dengan tujuan yang benar.” (Qs. Ad Dukhan [44]: 38-39)

Allah juga berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Kami menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya kecuali dengan tujuan yang benar, dan sesungguhnya hari kiamat itu pasti datang.” (Qs. Al Hijr [15]: 85)

Allah berfirman setelah menyebutkan tanda-tanda kebesaran-Nya di awal surat Yunus yang artinya, “Tidaklah Allah menciptakan hal itu semua kecuali dengan maksud yang benar.” (Qs. Yunus [10]: 5)

Allah berfirman yang artinya, “Apakah manusia mengira dia ditinggalkan begitu saja.” (Qs. Al Qiyamah [75]: 36). Allah berfirman pula yang artinya, “Apakah kalian mengira kalau Kami menciptakan kalian hanya sia-sia dan kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Qs. Al Mu’minun [23]: 115)

Allah berfirman yang artinya, “Dan tidaklah Kami menciptkan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Qs. Adz Dzariyat [51]: 56)

Dalam ayat lainnya, “Allah lah yang menciptakan tujuh lapis langit dan bumi seperti itu pula. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu dan Allah ilmunya meliputi segala sesuatu.” (Qs. Ath Thalaq [65]: 12)

Allah berfirman yang artinya, “Allah menjadikan ka’bah yaitu baitul haram sebagai kiblat sholat bagi umat manusia, demikian pula bulan haram, hadyu dan qalaa’id. Itu semua agar kalian mengetahui allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan segala yang ada di bumi, dan bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Qs. Al Maa-idah [5]: 97).”

“Maka dengan disebutkannya ayat-ayat tersebut telah terbukti bahwasanya tujuan penciptaan dan perintah ialah agar Allah diingat dan disyukuri. Sehingga Dia akan selalu diingat dan tidak dilupakan. Akan selalu disyukuri dan tidak diingkari. Allah Yang Maha suci akan mengingat siapa saja yang mengingat diri-Nya. Dan Allah juga akan berterima kasih (membalas kebaikan) kepada siapa saja yang bersyukur kepada-Nya.

Mengingat Allah adalah sebab Allah mengingat hamba. Dan bersyukur kepada-Nya adalah sebab Allah menambahkan nikmat-Nya. Maka dzikir lebih terfokus untuk kebaikan hati dan lisan. Syukur dari hati dalam bentuk rasa cinta dan taubat yang disertai ketaatan. Adapun di lisan, syukur itu akan tampak dalam bentuk pujian dan sanjungan. Dan syukur juga akan muncul dalam bentuk ketaatan dan pengabdian oleh segenap anggota badan.” (Al Fawa’id, hal. 124-125)

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin.

Yogyakarta, 9/1/1429

Abu Mushlih Al Jukjakarti

Semoga Allah mengampuninya, Kedua orang tuanya dan segenap kaum muslimin

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi Al Jukjakarti
Atikel http://www.muslim.or.id