Saatnya Meninggalkan Musik (karena musik itu haram)

Saatnya Meninggalkan Musik

http://www.muslim.or.id

Siapa saja yang hidup di akhir zaman, tidak lepas dari lantunan suara musik atau nyanyian. Bahkan mungkin di antara kita –dulunya- adalah orang-orang yang sangat gandrung terhadap lantunan suara seperti itu. Bahkan mendengar lantunan tersebut juga sudah menjadi sarapan tiap harinya. Itulah yang juga terjadi pada sosok si fulan. Hidupnya dulu tidaklah bisa lepas dari gitar dan musik. Namun, sekarang hidupnya jauh berbeda. Setelah Allah mengenalkannya dengan Al haq (penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah), dia pun perlahan-lahan menjauhi berbagai nyanyian. Alhamdulillah, dia pun mendapatkan ganti yang lebih baik yaitu dengan kalamullah (Al Qur’an) yang semakin membuat dirinya  mencintai dan merindukan perjumpaan dengan Rabbnya.

Lalu, apa yang menyebabkan hatinya bisa berpaling kepada kalamullah dan meninggalkan nyanyian? Tentu saja, karena taufik Allah kemudian siraman ilmu. Dengan ilmu syar’i yang dia dapati, hatinya mulai tergerak dan mulai sadarkan diri. Dengan mengetahui dalil Al Qur’an dan Hadits yang membicarakan bahaya lantunan yang melalaikan, dia pun mulai meninggalkannya perlahan-lahan. Juga dengan bimbingan perkataan para ulama, dia semakin jelas dengan hukum keharamannya.

Alangkah baiknya jika kita melihat dalil-dalil yang dimaksudkan, beserta perkataan para ulama masa silam mengenai hukum nyanyian karena mungkin di antara kita ada yang masih gandrung dengannya. Maka, dengan ditulisnya risalah ini, semoga Allah membuka hati kita dan memberi hidayah kepada kita seperti yang didapatkan si fulan tadi. Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolonglah dan mudahkanlah).

Beberapa Ayat Al Qur’an yang Membicarakan “Nyanyian”

Pertama: Nyanyian dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan yang tidak berguna)

Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah padanya dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 6-7)

Ibnu Jarir Ath Thabariy -rahimahullah- dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para pakar tafsir berselisih pendapat apa yang dimaksud dengan لَهْوَ الْحَدِيثِlahwal hadits” dalam ayat tersebut. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah nyanyian dan mendengarkannya. Lalu setelah itu Ibnu Jarir menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf mengenai tafsir ayat tersebut. Di antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa’ Al Bakrirahimahullah-. Beliau mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud ditanya mengenai tafsir ayat tersebut, lantas beliau –radhiyallahu ‘anhu– berkata,

الغِنَاءُ، وَالَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ، يُرَدِّدُهَا ثَلاَث َمَرَّاتٍ.

Yang dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi selain Dia.” Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga kali.[1]

Penafsiran senada disampaikan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah. Dari Ibnu Abi Najih, Mujahid berkata bahwa yang dimaksud lahwu hadits adalah bedug (genderang).[2]

Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahwal hadits adalah segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong dan setiap kemungkaran.” Lalu, Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang mengatakan bahwa tafsiran yang paling bagus untuk makna lahwal hadits adalah nyanyian. Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in.[3]

Jika ada yang mengatakan, “Penjelasan tadi kan hanya penafsiran sahabat, bagaimana mungkin bisa jadi hujjah (dalil)?”

Maka, cukup kami katakan bahwa tafsiran sahabat terhadap suatu ayat bisa menjadi hujjah, bahkan bisa dianggap sama dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (derajat marfu’). Simaklah perkataan Ibnul Qayyim setelah menjelaskan penafsiran mengenai “lahwal hadits” di atas sebagai berikut,

Al Hakim Abu ‘Abdillah dalam kitab tafsirnya di Al Mustadrok mengatakan bahwa seharusnya setiap orang yang haus terhadap ilmu mengetahui bahwa tafsiran sahabat –yang mereka ini menyaksikan turunnya wahyu- menurut Bukhari dan Muslim dianggap sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di tempat lainnya, beliau mengatakan bahwa menurutnya, penafsiran sahabat tentang suatu ayat sama statusnya dengan hadits marfu’ (yang sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Lalu, Ibnul Qayyim mengatakan, “Walaupun itu adalah penafsiran sahabat, tetap penafsiran mereka lebih didahulukan daripada penafsiran orang-orang sesudahnya. Alasannya, mereka adalah umat yang paling mengerti tentang maksud dari ayat yang diturunkan oleh Allah karena Al Qur’an turun di masa mereka hidup”.[4]

Jadi, jelaslah bahwa pemaknaan لَهْوَ الْحَدِيثِ /lahwal hadits/ dengan nyanyian patut kita terima karena ini adalah perkataan sahabat yang statusnya bisa sama dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua: Orang-orang yang bernyanyi disebut “saamiduun

Allah Ta’ala berfirman,

أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ  , وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ , وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ , فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا

Maka, apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka, bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia). (QS. An Najm: 59-62)

Apa yang dimaksud سَامِدُونَ /saamiduun/?

Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini berasal dari bahasa orang Yaman. Mereka biasa menyebut “ismud lanaa” dan maksudnya adalah: “Bernyanyilah untuk kami”. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas.[5]

‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa mendengarkan Al Qur’an, namun mereka malah bernyanyi. Kemudian turunlah ayat ini (surat An Najm di atas).”[6]

Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan “nyanyian” adalah suatu yang dicela dalam Al Qur’an.

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengenai Nyanyian

Hadits Pertama

Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu dia menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”[7] Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti musik itu haram.

Hadits di atas dinilai shahih oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Penilaian senada disampaikan An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukanirahimahumullah-.

Memang, ada sebagian ulama semacam Ibnu Hazm dan orang-orang yang mengikuti pendapat beliau sesudahnya seperti Al Ghozali yang menyatakan bahwa hadits di atas memiliki cacat sehingga mereka pun menghalalkan musik. Alasannya, mereka mengatakan bahwa sanad hadits ini munqothi’ (terputus) karena Al Bukhari tidak memaushulkan sanadnya (menyambungkan sanadnya). Untuk menyanggah hal ini, kami akan kemukakan 5 sanggahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah:

Pertama, Al Bukhari betul bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar dan beliau betul mendengar langsung darinya. Jadi, jika Al Bukhari mengatakan bahwa Hisyam berkata, itu sama saja dengan perkataan Al Bukhari langsung dari Hisyam.

Kedua, jika Al Bukhari belum pernah mendengar hadits itu dari Hisyam, tentu Al Bukhari tidak akan mengatakan dengan lafazh jazm (tegas). Jika beliau mengatakan dengan lafazh jazm, sudah pasti beliau mendengarnya langsung dari Hisyam. Inilah yang paling mungkin, karena sangat banyak orang  yang meriwayatkan (hadits) dari Hisyam. Hisyam adalah guru yang sudah sangat masyhur. Adapun Al Bukhari adalah hamba yang sangat tidak mungkin melakukan tadlis (kecurangan dalam periwayatan).

Ketiga, Al Bukhari memasukkan hadits ini dalam kitabnya yang disebut dengan kitab shahih, yang tentu saja hal ini bisa dijadikan hujjah (dalil). Seandainya hadits tersebut tidaklah shahih menurut Al Bukhari, lalu mengapa beliau memasukkan hadits tersebut dalam kitab shahih?

Keempat, Al Bukhari membawakan hadits ini secara mu’allaq (di bagian awal sanad ada yang terputus). Namun, di sini beliau menggunakan lafazh jazm (pasti, seperti dengan kata qoola yang artinya dia berkata) dan bukan tamridh (seperti dengan kata yurwa atau yudzkaru, yang artinya telah diriwayatkan atau telah disebutkan). Jadi, jika Al Bukhari mengatakan, “Qoola: qoola Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, …]”, maka itu sama saja beliau mengatakan hadits tersebut disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kelima, seandainya berbagai alasan di atas kita buang, hadits ini tetaplah shahih dan bersambung karena dilihat dari jalur lainnya, sebagaimana akan dilihat pada hadits berikutnya.[8]

Hadits Kedua

Dari Abu Malik Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِى الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى رُءُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَالْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمُ الأَرْضَ وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ

Sungguh, akan ada orang-orang dari umatku yang meminum khamr, mereka menamakannya dengan selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita. Allah akan membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk mereka menjadi kera dan babi.[9]

Hadits Ketiga

Dari Nafi’ –bekas budak Ibnu ‘Umar-, beliau berkata,

عُمَرَ سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ فِى أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ وَهُوَ يَقُولُ يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ نَعَمْ. قَالَ فَيَمْضِى حَتَّى قُلْتُ لاَ. قَالَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ إِلَى الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا

Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu ‘Umar berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata, “Iya, aku masih mendengarnya.”

Kemudian, Ibnu ‘Umar terus berjalan. Lalu, aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.”

Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi.”[10]

Keterangan Hadits

Dari dua hadits pertama, dijelaskan mengenai keadaan umat Islam nanti yang akan menghalalkan musik,berarti sebenarnya musik itu haram kemudian ada yang menganggap halal. Begitu pula pada hadits ketiga yang menceritakan kisah Ibnu ‘Umar bersama Nafi’. Ibnu ‘Umar mencontohkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal yang sama dengannya yaitu menjauhkan manusia dari mendengar musik. Hal ini menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas terlarang.

Jika ada yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar tadi hanya menunjukkan bahwa itu adalah cara terbaik dalam mengalihkan manusia dari mendengar suara nyanyian atau alat musik, namun tidak sampai menunjukkan keharamannya, jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) rahimahullah berikut ini,

اللَّهُمَّ إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي سَمَاعِهِ ضَرَرٌ دِينِيٌّ لَا يَنْدَفِعُ إلَّا بِالسَّدِّ

“Demi Allah, bahkan mendengarkan nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya yang mengerikan pada agama seseorang, tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar tidak mendengarnya.”[11]

Kalam Para Ulama Salaf Mengenai Nyanyian (Musik)

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.

Al Qasim bin Muhammad pernah ditanya tentang nyanyian, lalu beliau menjawab, “Aku melarang nyanyian padamu dan aku membenci jika engkau mendengarnya.” Lalu orang yang bertanya tadi mengatakan, “Apakah nyanyian itu haram?”  Al Qasim pun mengatakan,”Wahai anak saudaraku, jika Allah telah memisahkan yang benar dan yang keliru, lantas pada posisi mana Allah meletakkan ‘nyanyian’?

‘Umar bin ‘Abdul Aziz pernah menulis surat kepada guru yang mengajarkan anaknya, isinya adalah, ”Hendaklah yang pertama kali diyakini oleh anak-anakku dari budi pekertimu adalah kebencianmu pada nyanyian. Karena nyanyian itu berasal dari setan dan ujung akhirnya adalah murka Allah. Aku mengetahui dari para ulama yang terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian dan alat musik serta gandrung padanya hanya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. Demi Allah, menjaga diri dengan meninggalkan nyanyian sebenarnya lebih mudah bagi orang yang memiliki kecerdasan daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”

Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.

Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.

Yazid bin Al Walid mengatakan, “Wahai anakku, hati-hatilah kalian dari mendengar nyanyian karena nyanyian itu hanya akan mengobarkan hawa nafsu, menurunkan harga diri, bahkan nyanyian itu bisa menggantikan minuman keras yang bisa membuatmu mabuk kepayang. … Ketahuilah, nyanyian itu adalah pendorong seseorang untuk berbuat zina.”[12]

Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian

  1. Imam Abu Hanifah. Beliau membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu perbuatan dosa.[13]
  2. Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.”[14]
  3. Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.[15]
  4. Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.[16]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.”[17]

Bila Engkau Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian dan Nasyid

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Beliau mengatakan,

“Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Hal ini jauh berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk melakukan hal yang disyari’atkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan semakin mendapatkan manfaat dengan melakukan amalan tersebut, agama dan islamnya pun akan semakin sempurna.”

Lalu, Syaikhul  Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ”Oleh karena itu, banyak sekali orang yang terbuai dengan nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk menata hati. Maka, pasti karena maksudnya, dia akan semakin berkurang semangatnya dalam menyimak Al Qur’an. Bahkan sampai-sampai dia pun membenci untuk mendengarnya.”[18]

Jadi, perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (yang dijuluki Syaikhul Islam) memang betul-betul terjadi pada orang-orang yang sudah begitu gandrung dengan nyanyian, gitar dan bahkan dengan nyanyian “Islami” (yang disebut nasyid). Tujuan mereka mungkin adalah untuk menata hati. Namun, sayang seribu sayang, jalan yang ditempuh adalah jalan yang keliru karena hati mestilah ditata dengan hal-hal yang masyru’ (disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal yang tidak masyru’, yang membuat kita sibuk dan lalai dari kalam Robbul ‘alamin yaitu Al Qur’an.

Tentang nasyid yang dikenal di kalangan sufiyah dan bait-bait sya’ir, Syaikhul Islam mengatakan,

“Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala  mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al Qur’an, hatinya pun menjadi lalai, begitu pula dengan lisannya akan sering keliru.”[19]

Adapun melatunkan bait-bait syair (alias nasyid) asalnya dibolehkan, namun tidak berlaku secara mutlak. Melatunkan bait syair (nasyid) yang dibolehkan apabila memenuhi beberapa syarat berikut:

  1. Bukan lantunan yang mendayu-dayu sebagaimana yang diperagakan oleh para wanita.
  2. Nasyid tersebut tidak sampai melalaikan dari mendengar Al Qur’an.
  3. Nasyid tersebut terlepas dari nada-nada yang dapat membuat orang yang mendengarnya menari dan berdansa.
  4. Tidak diiringi alat musik.
  5. Maksud mendengarkannya bukan mendengarkan nyanyian dan nadanya, namun tujuannya adalah untuk mendengar nasyid (bait syair).
  6. Diperbolehkan bagi wanita untuk memukul rebana pada acara-acara yang penuh kegembiraan dan masyru’ (disyariatkan) saja.[20]
  7. Maksud nasyid ini adalah untuk memberi dorongan semangat ketika keletihan atau ketika berjihad.
  8. Tidak sampai melalaikan dari yang wajib atau melarang dari kewajiban.[21]

Penutup

Kami hanya ingin mengingatkan bahwa pengganti nyanyian dan musik adalah Al Qur’an. Dengan membaca, merenungi, dan mendengarkan lantunan Al-Qur’anlah hati kita akan hidup dan tertata karena inilah yang disyari’atkan.

Ingatlah bahwa Al Qur’an dan musik sama sekali tidak bisa bersatu dalam satu hati. Kita bisa memperhatikan perkataan murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Sungguh nyanyian dapat memalingkan hati seseorang dari memahami, merenungkan dan mengamalkan isi Al Qur’an. Ingatlah, Al Qur’an dan nyanyian selamanya tidaklah mungkin bersatu dalam satu hati karena keduanya itu saling bertolak belakang. Al Quran melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu, Al Qur’an memerintahkan kita untuk menjaga kehormatan diri dan menjauhi berbagai bentuk syahwat yang menggoda jiwa. Al Qur’an memerintahkan untuk menjauhi sebab-sebab seseorang melenceng dari kebenaran dan melarang mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan nyanyian memerintahkan pada hal-hal yang kontra (berlawanan) dengan hal-hal tadi.”[22]

Dari sini, pantaskah Al Qur’an ditinggalkan hanya karena terbuai dengan nyanyian? Ingatlah, jika seseorang meninggalkan musik dan nyanyian, pasti Allah akan memberi ganti dengan yang lebih baik.

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.”[23]

Tatkala Allah memerintahkan pada sesuatu dan melarang dari sesuatu pasti ada maslahat dan manfaat di balik itu semua. Sibukkanlah diri dengan mengkaji ilmu dan mentadaburri Al Quran, niscaya perlahan-lahan perkara yang tidak manfaat semacam nyanyian akan ditinggalkan. Semoga Allah membuka hati dan memberi hidayah bagi setiap orang yang membaca risalah ini.

Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi robbil ‘alamin.

***

Disempurnakan di Pangukan-Sleman, 16 Rabi’ul Awwal 1431 H (02/03/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


[1] Lihat Jami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, 20/127, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.

[2] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 5/105, Mawqi’ At Tafasir.

[3] Lihat Fathul Qadir, Asy Syaukani, 5/483, Mawqi’ At Tafasir.

[4] Lihat Ighatsatul Lahfan min Masho-idisy Syaithon, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/240, Darul Ma’rifah, Beirut, cetakan kedua, 1395 H

[5] Lihat Zaadul Masiir, 5/448.

[6] Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/258.

[7] Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas.

[8] Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/259-260.

[9] HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[10] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[11] Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroini, 11/567, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.

[12] Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, hal. 289, Darul Kutub Al ‘Arobi, cetakan pertama, 1405 H

[13] Lihat Talbis Iblis, 282.

[14] Lihat Talbis Iblis, 284.

[15] Lihat Talbis Iblis, 283.

[16] Lihat Talbis Iblis, 280.

[17] Majmu’ Al Fatawa, 11/576-577.

[18] Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim li Mukholafati Ash-haabil Jahiim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq & Ta’liq: Dr. Nashir ‘Abdul Karim Al ‘Aql, 1/543, Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1419 H

[19] Majmu’ Al Fatawa, 11/567.

[20] Seperti terdapat riwayat dari ‘Umar bahwa beliau membolehkan memukul rebana (ad-duf) pada acara nikah dan khitan. Dan ini adalah pengkhususan dari dalil umum yang melarang alat musik. Sehingga tidak tepat jika rebana ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan alat musik yang lain. (Lihat An Nur Al Kaasyif fii Bayaani Hukmil Ghina wal Ma’azif, hal. 61, Asy Syamilah)

[21] Lihat An Nur Al Kaasyif fii Bayaani Hukmil Ghina wal Ma’azif, hal. 44-45, Asy Syamilah.

[22] Ighatsatul Lahfan, 1/248-249.

[23] HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.

http://www.muslim.or.id

KOREKSI JADWAL WAKTU SHOLAT SUBUH (jadwal pemerintah terlalu cepat 24 menit sehingga solat subuh tidak sah karena belum masuk waktunya)

SALAH KAPRAH WAKTU SUBUH (Bag. 1)

sumber: http://id.qiblati.com/forum/id/3

Mamduh Farhan al-Buhairi

FAJAR KADZIB DAN FAJAR SHADIQ

إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (١٠٣)

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa`: 103)

Mukaddimah

Dalam perjalan pemred bersama Syaikh Mamduh dari Malang ke Jember, Sabtu 21 Februari 2009, diantar oleh bapak Terang dan bapak Shalahuddin. Kami berangkat sebelum subuh, di Lawang terdengar suara adzan subuh. Waktu itu jam di mobil menunjukkan pukul 04.20-an. Saat kami ajak menepi untuk shalat, Syaikh Mamduh berkata, “Kita ini kan musafir, kalau masalahnya kita boleh memilih, maka aku suka shalat di depan sana saja, lagi pula waktu subuh belum masuk.” Setelah masuk Pasuruan (pukul 04.45) kami baru singgah di sebuah masjid untuk shalat subuh (sementara para jama’ah sudah selesai wiridan dan mulai tadarus al-Qur`an). Setelah itu sepenjang perjalanan kita gunakan untuk mendiskusikan masalah waktu subuh. Akhirnya kami berkesimpulan bahwa hal ini penting untuk diangkat dan dimuat di majalah Qiblati secara berseri hingga tuntas.

Pembaca yang mulia, karena masalah ini penting sekaligus memiliki dampak dan konsekuensi serius maka kami sarankan: pertama, ikhlas dan bersabar dalam membacanya. Kedua, tidak mengambil kesimpulan sebelum tuntas membaca semua serialnya. Ketiga, kontak kami atau tulis makalah tanggapan jika ada yang harus kita diskusikan. Kami menyadari kalau ilmu bagaikan rizki yang disebar oleh Allah; ada yang mendapat sedikit dan ada pula yang mendapat banyak. Ada yang memiliki apa yang tidak dimiliki oleh yang lain, begitu seterusnya. Maka inilah ilmu yang diberikan kepada kami sebagai amanah. Kami sampaikan kepada pembaca. Jika benar, itu dari Allah datangnya, dan jika salah, maka dari hamba yang fakir. Kami menunggu orang yang diberi ilmu lebih untuk ikut memperkaya tulisan dalam masalah ini, demi tegaknya sunnah di bumi pertiwi ini. Wallahu al-Hadi ila sawa`is sabil.

Alhamdulillah Syaikh Mamduh telah mengirimkan serial makalahnya. Berikut ini adalah bagian pertama. Selamat membaca. (Red)

Keprihatinan

Hati ini menjadi sedih, ketika melihat negara-negara Islam semuanya tanpa kecuali, ternyata tidak melaksanakan shalat Subuh tepat pada waktunya. Mereka shalat sebelum masuk waktunya. Tentu saja sangat disayangkan. Dalam hal ini antara negara yang satu dengan yang lain berbeda dalam tingkat kesalahan seputar waktu Subuh. Berdasarkan pengamatan dan penelitian saya, saya menemukan bahwa azan Subuh dikumandangkan sebelum waktunya berkisar antara 9 hingga 28 menit. Dan sangat disayangkan lagi, Indonesia (secara umum) termasuk negara yang paling jauh dari waktu sebenarnya, yakni mengumandangkan adzan paling tidak 24 menit sebelum munculnya fajar shadiq.

Sesungguhnya jadual waktu shalat yang dipakai sekarang ini hampir di semua Negara Islam, diambil dari penanggalan Mesir yang dibuat oleh seorang insinyur Inggris pada saat penjajahan Inggris atas Mesir. Insinyur ini ingin membuat penanggalan untuk penentuan waktu di Mesir. Ia bersama beberapa guru besar dari Al-Azhar berkumpul di Padang Sahara Jizah, kemudian dari tempat itu, juga berdasarkan letak garis bujur dan garis lintang, berdasarkan perhitungan waktu Greenwich, dibuatlah penentuan waktu harian, diantaranya adalah waktu shalat.

Orang-orang Mesir sendiri waktu itu mengakui bahwa penentuan waktu tersebut menyelisihi waktu-waktu shalat yang dipakai pada masa Muhammad Ali Basya dan Negara Turki Utsmaniyah, yang mengandalkan bayangan (matahari) dan analoginya serta berdasarkan terbitnya fajar shadiq.

Penanggalan Mesir yang dibuat tersebut tidak dihitung berdasarkan penentuan waktu shalat yang benar, melainkan berdasarkan perhitungan garis lintang dan garis bujur yang sekarang ini diberlakukan secara luas (umum) pada setiap Negara. Sepengetahuan saya, tidak ada satu negara pun melainkan memakai perhitungan dengan cara ini. Termasuk yang paling mengherankan adalah negara-negara ini mengakhirkan (menunda) shalat dari setelah adzan lima menit untuk shalat maghrib hingga dua puluh lima menit untuk shalat-shalat yang lain. Itu dilakukan agar kesalahan penentuan waktu bisa sedikit dihindari. Tentu ini tertolak, karena masuknya waktu berdasarkan perintah syariat adalah adzan, bukan iqamah.

Masuknya waktu adalah syarat sahnya shalat

Sebelum kami sebutkan dalil-dalil yang mendukung kebenaran apa yang saya sampaikan -bahwa penanggalan sekarang salah- saya akan mulai dengan menyebutkan pentingnya waktu shalat, karena termasuk syarat terpenting bagi sahnya shalat adalah masuknya waktu. Ibn Abdilbarr mengatakan, “Shalat tidak sah sebelum waktunya, ini tidak diperselisihkan di antara ulama.” Dari kitab al-Ijma’ karya Ibn Abdilbarr -Rahimahullah-, hal. 45.

Para ulama fikh menyatakan bahwa siapa yang ragu tentang masuknya waktu shalat, maka ia tidak boleh melakukan shalat hingga ia benar-benar yakin bahwa waktunya telah masuk, atau besar dugaannya bahwa waktu telah masuk, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Qudamah -Rahimahullah- dalam kitab al-Mughni (2/30).

Yang kita lihat di sebagian besar negeri muslim adalah mereka shalat Subuh di waktu fajar kadzib (Zodiacal light), yakni pada waktu masih gelap di akhir malam.

Supaya tidak memperpanjang kalam, maka saya akan mulai masuk dalam pembahasan, dengan menjelaskan makna fajar menurut ahli bahasa dan ulama fikih.

Menurut Ibn Mandzur, al-Fajr adalah, “Cahaya Subuh, yaitu semburat merah di gelapnya malam karena sinar matahari. Ada dua fajar, yang pertama adalah meninggi (mustathil) seperti ekor serigala hitam (sirhan), dan yang kedua adalah yang melebar (memanjang, mustathir) disebut fajar shadiq, yaitu menyebar di ufuk, yang mengharamkan makan dan minum bagi orang yang berpuasa. Subuh tidak masuk kecuali pada fajar shadiq ini.” Lisanul Arab (5/45), cet. Beirut.

Dalam kitab Mukhtarus Sihah (hal. 324, cet. Darul Basya`ir) disebutkan, “al-Fajr, di akhir malam seperti syafaq (semburat mega merah) di awal malam.”

Dalam al-Qamus al-Muhith (hal. 584, Mu`assasah ar-Risalah), disebutkan, “Fajar adalah cahaya Subuh, yaitu semburan sinar matahari yang merah…”

Dengan demikian, kita mengetahui kata al-Fajr dalam bahasa Arab dimaksudkan awal terangnya siang hari, dan bahwa fajar itu ada dua, yang pertama fajar kadzib, dan fajar shadiq, dan bahwa yang berkaitan dengan hukum syariat seperti menahan diri dari makan dan minum bagi orang yang puasa, serta awal waktu shalat, serta shalat sunnah Subuh, yaitu fajar shadiq.

Fajar dalam al-Qur`an dan Sunnah.

:Allah -Subhanahu wata’ala-

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Dari Salim bin abdillah dari ayahnya, bahwa Rasulullah -Shalallahu alaihi wasalam- bersabda: “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di waktu malam, makan dan minumlah hingga Ibn Ummi Maktum adzan.” Kemudian berkata, “Ia adalah laki-laki buta, ia tidak adzan hingga dikatakan kepadanya: Sudah subuh, sudah subuh.” (HR. al-Bukhari: 610)

Al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan hadits dari Ibn Abbas -Radiallahuanhuma-, bahwa Nabi -Shalallahu alaihi wasalam- bersabda,

« الفَجْرُ فَجْرَانِ: فَجْرٌ يَحْرُمُ فِـيهِ الطَّعَامُ وَتَـحِلُّ فـيه الصَّلاَةُ، وفَجْرٌ يَحِلُّ فـيه الطَّعَامُ وتَـحْرُمُ فـيه الصَّلاةُ »

“Fajar itu ada dua; fajar yang di dalamnya haram makanan serta dihalalkan shalat, kedua fajar yang di dalamnya halal makanan dan haram shalat -Subuh-.” Dishahihkan al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 4279.

Al-Hakim dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Jabir , Rasulullah -Shalallahu alaihi wasalam- bersabda, “Fajar ada dua, fajar yang seperti ekor serigala tidak boleh shalat dan tidak mengharamkan makanan. Adapun fajar yang menyebar di ufuk maka boleh shalat dan tidak boleh makan.” Shahihul Jami’ no. 4278.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Fajar ada dua, fajar yang disebut seperti ekor serigala adalah fajar kadzib yang memanjang vertical dan tidak menyebar secara horizontal, yang kedua fajar yang melebar (horizontal) dan bukan vertical.” Dishahihkan oleh Al-Albani dalam ash-Shahihah, no. 2002; Shahih al-Jami’: 4278.

Fajar menurut ulama

Ibn Abbas -Radiallahuanhuma- mengatakan, “Fajar ada dua, fajar yang mencuat ke langit tidak menghalalkan dan tidak pula mengharamkan apapun, akan tetapi fajar yang jelas terlihat di puncak-puncak gunung, itulah yang mengharamkan minum.” Dikeluarkan oleh Ibn Jarir at-Thabari dalam Jami’ul Bayan (2/173).

Ibn Qudamah -Rahimahullah- mengatakan, “Ringkasnya, bahwa waktu Subuh masuk dengan terbitnya fajar kedua, berdasarkan ijma’ ulama. Hadits-hadits tentang penentuan waktu shalat menunjukkan hal ini, yaitu sinar putih yang melebar di ufuk. Disebut fajar shadiq, karena ia benar memberitakan tentang Subuh dan menjelaskannya kepada anda. Subuh itu adalah waktu yang menggabungkan sinar putih (terang) dengan semburat merah. Dari sini orang yang berkulit putih bercampur merah disebut Ashbah. Sedangkan fajar pertama yaitu sinar terang yang memanjang ke atas dan tidak melebar (vertical) maka tidak ada sangkut pautnya dengan hukum syar’i, disebut fajar kadzib.” Dari kitab al-Mughni (2/30).

Ibn Hazm -Rahimahullah- mengatakan, “Fajar pertama adalah meninggi ke atas seperti ekor serigala, setelah itu gelap lagi menyelimuti ufuk, tidak mengharamkan makan dan minum bagi orang yang puasa, belum masuk waktu shalat Subuh. Ini tidak diperselisihkan oleh seorangpun dari umat ini.”

Yang kedua, adalah sinar terang yang melebar di langit di ufuk timur di tempat terbitnya matahari pada setiap masa. Ia berpindah dengan perpindahannya (matahari), ia merupakan permulaan cahaya Subuh, dan semakin terang, barangkali dicampuri dengan semburat merah yang indah. Inilah yang menjelaskan masuknya waktu puasa, dan adzan shalat Subuh. Adapun masuknya waktu shalat terjadi dengan semakin terangnya, maka ini tidak diperselisihkan oleh seorangpun.” Al-Muhalla (3/192)

Dari dalil-dalil ini, menjadi jelas bagi kita kapan waktu fajar shadiq. Kita bisa mengenalinya dengan sinar terang yang menyebar di langit. Agar sinar terang ini menjadi jelas, dan kita mengetahui kapan ulama terdahulu shalat, mari kita baca penjelasan Ibn Jarir At-Thabari -Rahimahullah- tentang sifat atau karakter sinar terang tersebut. Ia mengatakan,

صِفَةُ ذَلِكَ اْلبَيَاضِ أَنْ يَكُوْنَ مُنْتَشِرًا مُسْتَفِيْضًا فِي السَّمَاءِ يَمْلَأُ بَيَاضُهُ وَضَوْؤُهُ الطُّرُقَ

“Sifat sinar Subuh yang terang itu, ia menyebar dan meluas di langit, sinarnya (terangnya) dan cahayanya memenuhi dunia hingga memperlihatkan jalan-jalan menjadi jelas.” Tafsir At-Thabari (2/167).

Lantas bandingkanlah keadaan kita sekarang ini, dengan apa yang disebutkan oleh Ibn Jarir ini?

Syaikh Ibn Utsaimin -Rahimahullah- mengatakan, “Para ulama menyebutkan bahwa antara fajar kadzib dan fajar shadiq ada tiga perbedaan:

1. Fajar kadzib mumtad (memanjang) tidak mu’taridh (menghadang); Mumtad maksudnya memanjang dari timur ke barat. Sedangkan fajar shadiq melebar dari utara ke selatan.

2. Fajar kadzib masih gelap, artinya cahaya fajar ini sebentar kemudian gelap lagi. Sedangkan fajar shadiq tidak dalam keadaan gelap, bahkan semakin lama semakin terang cahayanya (karena merupakan awal siang).

3. Fajar shadiq bersambung dengan ufuk, tidak ada kegelapan antara fajar ini dengan ufuk. Sedangkan fajar pertama, terputus dari ufuk, ada kegelapan antara fajar kadzib dan ufuk.

Fajar pertama ini (kadzib) tidak berkaitan dengan hukum syariat apapun, tidak menjadi awal menahan diri dari makan minum ketika puasa, tidak pula awal masuknya waktu Subuh. Hukum-hukum yang disebutkan ini berkaitan dengan fajar kedua, yakni fajar shadiq.” Syarhu Al-Mumti’ (2/107-108).

Pada edisi mendatang insya Allah akan kita lanjutkan penyebutan dalil-dalil dalam masalah ini, shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga beliau juga para sahabat semuanya. [*]

* Majalah Qiblati Edisi 8 Volume 4

============================

SALAH KAPRAH WAKTU SUBUH (Bag. 2)

Mamduh Farhan al-Buhairi

MEMAJUKAN WAKTU SUBUH ADALAH BID’AH KUNO

Pembaca yang dirahmati Allah, melanjutkan apa yang telah kami sampaikan pada edisi sebelumnya, seputar kesalahan penanggalan yang menjadi pegangan di Negara-negara Islam, dalam hal penentuan waktu masuknya shalat Subuh. Berikut ini kami akan membuktikan bahwa mendahulukan waktu shalat Subuh dari waktu yang seharusnya adalah bid’ah mungkar sejak zaman terdahulu. Setiap kali terjadi, setiap itu pula para ulama mengingkarinya.

Pendapat para ulama

Ibn Hajar Rahimahullah mengatakan, “Termasuk bid’ah mungkar adalah apa yang diada-adakan di zaman ini, berupa mengumandangkan adzan kedua sekitar 1/3 jam (20 menit) sebelum waktu fajar di bulan Ramadhan, mematikan lampu-lampu yang menjadi tanda haramnya makan dan minum bagi siapa yang hendak puasa, mereka mengaku bahwa hal ini dilakukan untuk kehati-hatian dalam ibadah, dan tidak mengetahui hal ini kecuali sedikit saja dari manusia.” Silahkan dirujuk, Fathulbari, 4/199.

Serupa dengan masalah ini adalah apa yang terjadi di zaman kita sekarang ini, karena sebagian besar penanggalan memasukkan waktu shalat Subuh sebelum waktunya yang syar’i, dengan perbedaan yang beraneka ragam.

Taqiyuddin Al-Hilali dalam risalahnya yang berjudul “Bayanu Al-Fajri Ash-Shadiq wa Imtiyazuhu ani Al-Fajri Al-Kadzib (penjelasan tentang fajar shadiq dan perbedaannya dengan fajar kadzib), hal. 2, ia mengatakan, “Saya telah menemukan sesuatu yang tidak membutuhkan penelitian lagi, serta persaksian yang berulang-ulang, bahwa penentuan waktu adzan subuh tidak sesuai dengan penentuan waktu yang syar’i, karena muadzin mengumandangkan adzan sebelum munculnya fajar shadiq.”

Ibn Hazm mengatakan, “Al-Hasan Al-Bashri pernah ditanya tentang orang yang adzan sebelum masuk waktu Subuh dengan tujuan untuk membangunkan orang? Maka beliau marah dan mengatakan,

عُلُوْجٌ فَرَاغٌ، لَوْ أَدْرَكَهُمْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لَأَوْجَعَ جُنُوْبَهُمْ، مَنْ أَذَّنَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَإِنَّمَا صَلىَّ أَهْلُ ذَلِكَ الْمَسْجِدِ بِإِقَامَةٍ لاَ أَذَانَ فِيْهِ.

‘Uluj Faragh, (yang berarti orang-orang keterlaluan yang pengangguran), seandainya Umar bin Khathab mendapati mereka tentu ia akan memukul sisi-sisi tubuh mereka. Siapa yang adzan sebelum waktu subuh, maka jama’ah masjid itu shalat berdasarkan iqamah saja, tidak ada adzan padanya (adzan tidak sah. Itu jika iqamahnya sudah masuk waktu, jika belum maka shalat tanpa adzan dan iqamah; shalat di luar waktu).”

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa ia (Al-Hasan Al-Bashri) mendengar seseorang adzan di malam hari, ia berkata,

عُلُوْجٌ تُبَارِي الدُّيُوْكَ: وَهَلْ كَانَ اْلأَذَانُ عَلىَ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ إِلاَّ بَعْدَ مَا يَطْلُعُ الْفَجْرُ.

‘Uluj (orang-orang kasar) berlomba dengan ayam! Bukankah adzan di masa Rasulullah –Shalallahu alaihi wa salam- tidak dilakukan kecuali setelah terbit fajar?”

Dari Ibrahim an-Nakha’i, disebutkan bahwa ia membenci dikumandangkannya adzan sebelum terbit fajar.

Darinya pula, ia mengatakan, “Alqamah bin Qais mendengar seseorang adzan di malam hari (sebelum terbit fajar), maka ia berkata, “Orang ini telah menyelisihi salah satu sunnah para sahabat Rasulullah -Shalallahu alaihi wasalam-, seandainya ia tidur di tikarnya, tentu itu lebih baik baginya.” (Silakan merujuk kitab al-Muhalla, 3/118)

Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah, Hasan Bashri berkata: “Orang-orang kasar pengangguran, mereka tidak menyambung dengan iqamah. Seandainya Umar mendapati mereka, tentu sudah memukuli atau memukul kepada mereka.” (Mushannaf: 2306)

Dari sini menjadi jelas bagi kita, bahwa mendahulukan waktu adzan subuh bukanlah perkara baru dalam umat ini, sebaliknya telah terjadi di masa-masa yang lalu, akan tetapi itu kasus personal, individual (perseorangan) dan itupun sudah diingkari. Sedangkan yang terjadi di masa kita sekarang ini, maka ia merupakan bencana umum yang menimpa umat karena keterikatan dengan penanggalan yang di luar kemampuan mereka. Sekiranya umat ini memiliki kekuasaan (untuk membuatnya), tentu kejadian ini merupakan sesuatu yang didasarkan pada kesalahan dalam penentuan masuknya waktu fajar shadiq.
Kerusakan akibat adzan sebelum fajar shadiq

Sesungguhnya adzan sebelum masuknya waktu subuh (terbitnya fajar shadiq) menyebabkan banyak kerusakan (efek negatif), diantaranya:

1. Kebanyakan jama’ah, menyegerakan dalam melaksanakan shalat sunnah fajar, langsung setelah masuk masjid, dengan begitu ia telah shalat sunnah fajar sebelum waktunya.

2. Bersegera dalam makan sahur, tentu ini menyelisihi sunnah nabi –Shalallahu alaihi wasalam-.

3. Sucinya haidh seorang wanita, atau yang sedang nifas setelah waktu berdasarkan penanggalan yang ada sangat pendek, tidak mungkin ia bisa berpuasa di hari itu.

4. Shalatnya orang sakit dan orang tua di rumah-rumah, atau orang yang begadang semalaman hingga waktu fajar, yang langsung setelah adzan.

5. Shalatnya kaum wanita di rumah-rumah, yang kebanyakan mereka langsung mengerjakan shalat selesai adzan.

6. Manusia yang sedang di stasiun, terminal dan bandara, langsung melaksanakan shalat setelah adzan. (yang berarti shalat mereka tidak sah karena dilakukan sebelum waktunya).

Dan berbagai kerusakan lainnya. Seandainya anda menemukan satu kesalahan saja tentu sudah cukup menjadi alasan untuk merubah penanggalan itu. Bagaimana pula jika berkumpul semua kerusakan ini?

Sekarang tinggal satu pertanyaan penting, mengapa dan bagaimana kesalahan ini terjadi?

Saya akan menjawab, bahwa hal ini bukan sekedar kesalahan hari ini, bukan pula akibat penjajahan semata. Kesalahan penjajah adalah memasukkan penanggalan yang salah, akan tetapi kesalahan ini telah terjadi sebelum itu di tempat-tempat lain yang terpisah di negeri-negeri Islam. Berdasarkan penelitian, saya meyakini bahwa awal mula terjadinya kesalahan dalam penentuan waktu fajar shadiq adalah terjadi pada bulan Ramadhan, mengingat sudah dikenal sejak masa Nabi -Shalallahu alaihi wasalam- bahwa Bilal –Radiallahu anhu- adzan di malam hari, yakni adzan pertama, waktunya adalah pada saat munculnya fajar kadzib, tujuannya agar manusia bersiap sedia untuk menyambut terbitnya fajar shadiq.

Seiring dengan perputaran waktu, masalah ini menjadi bias pada sebagian orang, dan berlangsung seperti itu hingga masa kita sekarang ini. Ketika seorang adzan untuk waktu Subuh dengan hanya satu adzan, mereka mengandalkan adzan pertama (saat fajar kadzib) dan meninggalkan adzan kedua (fajar shadiq) waktu yang benar. Mereka mengira bahwa adzan yang pertama ini adalah permulaan terbitnya fajar shadiq. Wallahu a’lam.

Yang sungguh mengherankan lagi, bersama pergantian masa ini, adzan yang kedua pada banyak Negara (yang melakukan adzan subuh 2 kali) juga dilakukan sebelum masuknya waktu fajar shadiq.

Ibn Hajar –Rahimahullah- mengatakan, “Termasuk bid’ah mungkar adalah apa yang diada-adakan di zaman ini, berupa lantunan adzan kedua sekitar 1/3 jam sebelum waktu fajar di bulan Ramadhan, mematikan lampu-lampu yang menjadi tanda haramnya makan dan minum bagi siapa yang hendak puasa, mereka mengaku bahwa hal ini dilakukan untuk kehati-hatian dalam ibadah, dan tidak mengetahui hal ini kecuali sedikit saja dari manusia.” (Silakan merujuk, Fathul Bari, 4/199)

Syaikh Ibn Taimiyah –Rahimahullah- mengatakan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, orang yang makan setelah adzan subuh di bulan Ramaadhan,

(اَلْحَمْدُ لِلَّهِ. أَمَّا إِذَا كَانَ الْمُؤَذِّنُ يُؤَذِّنُ قَبْلَ طُلُوْعِ الْفَجْرِ، كَمَا كَانَ بِلاَلٌ يُؤَذِّنُ قَبْلَ طُلُوْعِ الْفَجْرِ عَلىَ عَهْدِ النَّبِيِّ ، وَكَمَا يُؤَذِّنُ الْمُؤَذِّنُوْنَ فِيْ دِمِشْقٍ وَغَيْرِهَا قَبْلَ طُلُوْعِ الْفَجْرِ، فَلاَ بَأْسَ بِاْلأَكْلِ وَالشَّرَبِ بَعْدَ ذَلِكَ بِزَمَنٍ يَسِيْرٍ)

“Alhamdulillah, jika muadzin adzan sebelum masuknya waktu Subuh, sebagaimana Bilal adzan sebelum masuk fajar di masa Nabi -Shalallahu alaihi wasalam-, Seperti adzan di Damaskus dan lainnya yang dilakukan sebelum masuk waktu fajar, maka jika demikian tidak mengapa makan dan minum dalam waktu sebentar setelah adzan.” (Majmu’ Fatawa, 25/216)

Ini semua merupakan bukti bahwa kesalahan ini telah terjadi lama, sudah dikenal oleh para ulama.

Syihabuddin Al-Qarafi –Rahimahullah- menyebutkan, bahwa kesalahan ini sudah ada di zamannya, saya akan menukilkan kandungan ucapannya, mengingat banyaknya penggunaan istilah-istilah astronomi, ia mengatakan yang artinya, “Telah terjadi kebiasaan orang-orang adzan fajar sebelum terbitnya fajar. Sehingga seseorang tidak menemukan bekas (cahaya) fajar shadiq sama sekali. Ini tidak boleh, karena Allah menjadikan sebab wajibnya shalat adalah munculnya fajar di ufuk, jika belum tampak maka tidak boleh shalat, karena jika dilakukan berarti melaksanakan shalat sebelum waktunya dan sebelum sebabnya.” (Dari kitab al-Furuq, 2/301) [*]

Sayang sekali, kami harus berhenti sampai di sini, insya Allah di edisi mendatang akan kami lanjutkan dengan pembahasan yang tidak kalah menarik. Ikuti terus!

* Majalah Qiblati Edisi 9 Volume 4

================================

SALAH KAPRAH WAKTU SUBUH (Bag. 3)

Mamduh Farhan al-Buhairi

Kesaksian dan Fatwa para Ulama

Sesungguhnya permasalahan ilmiah ini bukanlah saya orang yang pertama membahasnya. Telah banyak ulama yang memiliki kecemburuan terhadap agama sebelum saya, di mana saya juga mengambil manfaat dari sebagian argumantasi mereka. Sebagaimana masalah ini telah saya jelaskan secara ringkas enam tahun yang lalu di kota Bondowoso bersama ketua DKM Masjid Al-Ikhlas, saudara dr. Yahya Amar. SpPD. dan beberapa jama’ah yang lain.

Saya juga tidak bermaksud menulis masalah ini seandainya saudara saya pimred Majalah Qiblati, Ust. Agus Hasan Bashori tidak meminta dan sedikit memaksa saya untuk membahasnya. Begitu juga beliau juga berperan dalam pembahasan ini dengan banyak masukan yang sangat tepat, dan dengan menampilkan gambar-gambar yang dapat membedakan antara fajar shadiq dan kadzib. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.

Tulisan ini merupakan akhir dari pembahasan ini. Kami akan menjelaskan bahwa masalah ini diakui oleh banyak ulama kontemporer dengan menekankan benarnya pendapat kami.

Kesaksian dan Fatwa para Ulama

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (Mesir, w. 1354 H/ 1935)

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berkata: “Termasuk sikap ghuluw (berlebihan) kaum khalaf (generasi belakangan) dalam menetapkan batasan-batasan lahiriyyah tetapi mengabaikan perbaikan batin dengan iman dan takwa adalah mereka menetapkan awal fajar dan mengikatnya dengan hitungan detik, serta menambah 20 menit sebelumnya untuk imsak (bagi yang puasa) demi kehati-hatian, padahal kenyataannya terangnya putih siang (fajar) tidak nampak pada manusia kecuali kira-kira setelah 20 menit.” (Tafsir al-Manar: 2/184)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah berkata:

بالنسبة لصلاة الفجر المعروف أن التوقيت الذي يعرفه الناس ليس بصحيح، فالتوقيت مقدم على الوقت بخمس دقائق على أقل تقدير، وبعض الإخوان خرجوا إلى البر فوجدوا ان الفرق بين التوقيت الذي بأيدي الناس وبين طلوع الفجر نحو ثلث ساعة، فالمسألة خطيرة جدا، ولهذا لا ينبغي الإنسان في صلاة الفجر أن يبادر في إقامة الصلاة، وليتأخر نحو ثلث ساعة أو (25) دقيقة حتى يتيقن ان الفجر قد حضر وقته

“Sehubungan dengan shalat Fajar, (Sebagaimana) yang diketahui bahwa penentuan waktu yang dikenal manusia sekarang tidaklah benar. Penentuan waktu tersebut mendahului waktu Fajar yang benar dengan perkiraan minimal 5 menit sebelum masuk fajar shadiq. Sebagian saudara kami pergi keluar menuju ke tanah lapang (pedalaman) dan mereka mendapatkan bahwa selang waktu antara waktu berdasarkan penanggalan yang dikenal manusia dan terbitnya fajar sekitar sepertiga jam (20 menit). Masalah ini sangat serius, karena itu tidak seharusnya seseorang bersegera melaksanakan shalat, dan hendaknya mengakhirkan hingga sepertiga jam (20 menit) atau 25 menit, hingga benar-benar yakin bahwa fajar telah masuk.” (Syarh Riyadhussalihin, 3/216)

Syaikh juga mengatakan:

“Alamat atau tanda-tanda ini (fajar shadiq) di zaman kita sekarang menjadi samar, dan manusia lebih mengandalkan penanggalan serta jam, akan tetapi semua sistem penanggalan ini berbeda. Jika ada dua penanggalan berbeda, yang keduanya sama-sama dari pakar hisab atau perhitungan waktu, maka kita memilih yang lebih lambat pada setiap waktu shalat, karena hukum asalnya adalah belum masuk waktu. Para ulama telah menyatakan hal ini, sekiranya seseorang berkata kepada dua orang, “Tolong kalian perhatikan munculnya fajar!” Kemudian salah satunya berkata, “Telah terbit”, sedangkan yang kedua mengatakan, “Belum terbit,” maka ia boleh makan dan minum hingga keduanya bersepakat, di mana orang yang kedua mengatakan, “Benar, Fajar telah terbit.” Maka saya pribadi akan memilih penanggalan yang lebih lambat.” (Syarhu Al-Mumti’, 2/48)

Beliau juga berkata:

“Sesungguhnya, jika seseorang merasa yakin bahwa fajar belum muncul, maka haram baginya mengumandangkan adzan, karena masalah waktu ini sangat serius, sebab seandainya ia adzan sebelum waktunya sekalipun satu menit, kemudian ada orang yang bertakbir takbiratul ihram sebelum masuk waktu subuh, maka tidak diragukan lagi orang yang mengumandangkan adzan telah menipu manusia dan mengharuskan mereka shalat sebelum masuk waktunya.”

Beliau menambahkan, “Yang harus dilakukan adalah meneliti hal ini, karena sangat bermasalah, dan yang tampak bagi saya bahwa adzan Subuh pada setiap waktu sepanjang tahun dilakukan sebelum waktu yang sebenarnya. Ada pendahuluan sekitar 5 menit sepanjang waktu setahun.” (Liqa` al-bab al-maftuh, 7/41)

Ini adalah pendapat Syaikh Ibn Utsaimin dalam beberapa acara yang berbeda, yang semuanya menunjukan adanya kesalahan.

Berikutnya mari kita perhatikan apa yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam masalah ini:

“Saya melihat dengan mata kepala sendiri berkali-kali dari rumah saya di gunung Himlan -sebelah tenggara Amman (Yordania)- hal itu memungkinkan saya untuk meyakinkan kebenaran yang disebutkan sebagian orang yang memiliki kecemburuan terhadap agama, untuk meluruskan ibadah kaum muslimin, bahwa adzan Fajar di sebagian Negara Arab dikumandangkan sebelum fajar shadiq dengan lama waktu berkisar antara 20-30 menit, bahkan sebelum muncul fajar kadzib sekalipun. Sering saya dengar iqamah untuk shalat fajar dari sebagian masjid bersamaan dengan terbitnya fajar shadiq, artinya mereka talah adzan sebelum itu sekitar setengah jam. Dengan demikian, berarti mereka telah shalat sunnah fajar sebelum waktunya, dan bisa jadi mereka menyegerakan melaksanakan kewajiban (puasa) sebelum waktunya di bulan Ramadhan. Dalam hal ini tentu mengandung penyempitan bagi manusia dalam hal menyegerakan menahan diri dari makanan (sahur), serta menyebabkan shalat fajar terancam batal. Semua itu disebabkan karena mengandalkan penentuan waktu berdasarkan perhitungan falak (penanggalan) dan berpaling dari penentuan waktu berdasarkan syariat sbagaimana disebutkan dalam firman Allah (al-Baqarah: 187). Juga hadits Nabi r:

وكُلُوا واشْرَبُوا حتى يَعْتَرِضَ لكُم الأحْمَرُ

“Makan dan minumlah hingga nampak (menghadang) pada kalian garis merah (sinar merah awal pagi, Astronomical Twilight).”

Ini adalah peringatan, sedangkan peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin.” (Silsilah al-Shahihah, nomor 2031, 5/52)

Di sini Syaikh Al-Albani juga menegaskan adanya kesalahan, dan bahwa di bulan Ramadhan hal itu lebih banyak terjadi, sebab orang yang memperhatikan perbedaan waktu antara adzan fajar di bulan Ramadhan dan lainnya, ia bisa mengetahui bahwa di bulan Ramadhan bertambah dari 5 hingga 10 menit.

Syaikh Dr. Taqiyyuddin al-Hilali al-Husaini (Maghribi Afrika Utara, w. 1407 H/ 1987 M).

Syaikh Dr. Taqiyyuddin al-Hilali dalam Risalnya yang berjudul al-Fajr al-Shadiq halaman 5 mengatakan: “Saya dapatkan berdasarkan penelitian, pembuktian dan pengamatan yang maksimal dan berkali-kali dari orang-orang yang sehat pandangan matanya, dan saya termasuk didalamnya, karena saya pada waktu itu melihat sendiri fajar dengan jelas tanpa kesamaran bahwa waktu Maghribi (Maroko, Afrika Utara) untuk adzan subuh tidak sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan oleh syariat. Muadzin menyuarakan adzan sebelum jelasnya kemunculan fajar menurut ukuran syar’i. Maka adzannya pada waktu itu tidak menghalalkan shalat subuh dan tidak mengharamkan makan sahur. Maka saya menfatwakan yang demikian dan mengamalkannya hingga hari ini, tahun 1394 H)

Syaikh Musthafa Al-Adawi Al-Mishri dalam risalahnya yang berjudul Mawaqitu Al-Falati fi Mawaqiti As-Shalati (hal. 127), mengatakan, “Di sebagian Negara Arab, bahkan pada sebagian besarnya, adzan fajar dikumandangkan sebelum fajar kedua terbit, yaitu fajar shadiq. Saya sendiri telah meneliti munculnya fajar di kampung saya, ternyata benang putih (Al-Khaitu Al-Abyadh) yakni fajar shadiq muncul setelah dikumandangkannya adzan berdasarkan waktu yang mengandalkan penanggalan, dengan jeda waktu sekitar sepertiga jam (20 menit).”

Perlu diketahui, bahwa kesalahan yang terjadi di negara-negara Arab, itu masih lebih sedikit jika dibandingkan di Indonesia. Dan Saudi Arabia terbilang paling baik dan paling minim kesalahannya di antara semua Negara Arab. Karena orang yang shalat di Masjidil Haram atau Masjid Nabi, ia bisa melihat setelah selesai shalat semburat sinar terang yang merupakan tanda awal siang, sementara di Indonesia tidak kami temui (semburat terang itu) kecuali kira-kira setelah lebih 20 menit berikutnya.

Sekalipun Saudi Arabia merupakan Negara yang paling baik dalam hal ini, akan tetapi para ulama tetap memberikan perhatian, dan mereka sangat menganjurkan untuk mengakhirkan waktu adzan. Jika demikian, bagaimana lagi dengan Indonesia, padahal faktanya seperti yang telah kita ketahui sebelumnya?

Kalender-kalender Islam.

Sesungguhnya sistem penanggalan di Negara-negara Islam tidaklah muncul dari orang-orang yang spesialis dalam bidang syariat, tidak pula di bawah pengawasan instansi agama. Pada sebagian negara kita dapati bahwa yang bertanggung jawab atas sistem penanggalan adalah departemen keuangan. Di sebagian negara yang lain penanggungjawabnya departemen wakaf, dan disebagian lagi di bawah departemen kehakiman. Sebatas yang saya ketahui tidak ada departemen agama di Negara Islam yang bertanggung jawab dalam penentuan penanggalan. Sekali lagi ini sebatas yang saya ketahui!

Sungguh sangat disayangkan, panitia atau kelompok yang menyiapkan penanggalan di Negara-negara Islam, tidak dilibatkan di dalamnya ulama syari’ah –sepengetahuan saya– karena ulama syari’ah mampu menentukan terbitnya fajar shadiq sebagaimana dalam sunnah Nabi r, dan setelah itu para pakar hisab bisa membangun perhitungan penanggalan berdasarkan arahan dari ulama syari’ah.

Ini tidak berarti bahwa melihat fajar shadiq merupakan masalah sulit, akan tetapi hanya dibutuhkan orang yang paham dan mengenalnya. Penentuan munculnya fajar shadiq adalah masalah mudah, karena bisa dilihat dengan mata telanjang di tempat manapun. Fajar shadiq tidak seperti hilal yang tidak bisa dilihat kecuali oleh orang yang bermata tajam atau dengan alat penginderaan jauh. Bahkan fajar shadiq termasuk hal yang bisa dilihat oleh semua orang, besar maupun kecil, orang alim maupun jahil. Ia tidak mengandalkan apapun selain penglihatan mata.

Jalan keluar dan solusi:

1. Kajian terhadap masalah ini dari pihak yang bertanggungjawab, kemudian melihatnya dengan penuh pertimbangan dan perhatian, sehingga shalat kaum muslimin tidak masuk dalam katagori batal (tidak sah).

2. Membentuk sebuah kelompok kerja yang terdiri dari ulama dan pakar astronomi (hisab) untuk meneliti ulang penentuan waktu shalat yang ada dalam sistem penanggalan.

3. Kami nasehatkan kepada para muadzin untuk mengakhirkan adzan Subuh, begitu pula mengakhirkan iqamah sebisa mungkin.

4. Kami nasehatkan kepada para imam dan muadzin untuk harus mengenal dan mengetahui fajar shadiq sebagaimana disebutkan dalam sunnah Nabi, dan jangan sampai mereka menanggung batalnya shalat kaum muslimin.

5. Kami nasehatkan kepada kaum wanita dan orang-orang yang sakit yang shalat di rumah, agar tidak menjadikan adzan di masjid-masjid (sekarang) sebagai ukuran masuknya waktu, tetapi hendaknya mengakhirkan hingga selesainya jamaah di masjid-masjid, kira-kira 25 menit sesudah adzan.

6. Kami nasehatkan saudara-saudara yang tidak mau ikut shalat berjamaah di masjid-masjid (sekarang) untuk tetap menetapi jama’ah dan nasehat dengan penuh adab dan ketenangan, karena dosa akan dipikul pihak-pihak yang bertanggungjawab, begitu pula pada pundak-pundak muadzin dan imam di setiap masjid.

Penutup

Sesungguhnya Majalah Qiblati ketika menurunkan makalah yang sangat serius ini semata mengharapkan wajah Allah, kemudian untuk memberikan pencerahan kepada kaum muslimin tentang agama dan shalat mereka, mengingat penting dan seriusnya masalah sementara orang yang menyadarinya tidak sebanding dengan besarnya persoalan. Harapannya adalah ketika setiap muslim memahami masalah ini, kemudian serius mengkaji dan menelaah serta mencoba memberikan dan mencarikan solusi, sehingga pada akhirnya kita bisa menjalankan kewajiban shalat Subuh dengan hati tenang, dan lebih dari itu, sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh syariat. Dengan kata lain menjadi amalan yang sah dan diterima di sisi Allah.

Selanjutnya Majalah Qiblati akan menjalankan perannya, dengan menyampaikan masalah ini -insyaallah- kepada Departemen Agama Republik Indonesia, MUI, serta pihak-pihak terkait sebagai pelepasan tanggung jawab di hadapan Allah nanti.

Perlu diketahui, bahwa jumlah serial makalah dalam hal ini sedianya lebih dari 3 seri, akan tetapi kami ringkas, agar kita bersegera dapat ikut andil membantu instansi yang berwenang memberikan solusi. Hal-hal yang belum kami sebutkan, insya Allah akan kami turunkan dalam pembahasan khusus ketika menjawab pertanyaan atau tanggapan dari para pembaca yang mulia, jika ada.

Kami mohon kepada Allah agar memberikan kepada pihak yang berwenang petunjuk kepada kebaikan kaum muslimin. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk itu. [*]

***

* Majalah Qiblati Edisi 10 Volume 4

=================================


artikel-artikel terkait:

Artikel

TIPS-TIPS EFEKTIF UNTUK MENGHILANGKAN RASA CINTA DAN RINDU KEPADA ORANG YANG BUKAN MILIK KITA (Obat Bagi Yang Dimabuk Cinta)

sumber: http://muslim.or.id/muslimah/memadu-kasih-di-hari-valentine.html

Obat Bagi Yang Dimabuk Cinta

Berikut adalah beberapa obat bagi orang yang dimabuk cinta namun belum sanggup untuk menikah.

Pertama: Berusaha ikhlas dalam beribadah.

Jika seseorang benar-benar ikhlas menghadapkan diri pada Allah, maka Allah akan menolongnya dari penyakit rindu dengan cara yang tak pernah terbetik di hati sebelumnya. Cinta pada Allah dan nikmat dalam beribadah akan mengalahkan cinta-cinta lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sungguh, jika hati telah merasakan manisnya ibadah kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, niscaya ia tidak akan menjumpai hal-hal lain yang lebih manis, lebih indah, lebih nikmat dan lebih baik daripada Allah. Manusia tidak akan meninggalkan sesuatu yang dicintainya, melainkan setelah memperoleh kekasih lain yang lebih dicintainya. Atau karena adanya sesuatu yang ditakutinya. Cinta yang buruk akan bisa dihilangkan dengan cinta yang baik. Atau takut terhadap sesuatu yang membahayakannya.”[10]

Kedua: Banyak memohon pada Allah

Ketika seseorang berada dalam kesempitan dan dia bersungguh-sungguh dalam berdo’a, merasakan kebutuhannya pada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan do’anya. Termasuk di antaranya apabila seseorang memohon pada Allah agar dilepaskan dari penyakit rindu dan kasmaran yang terasa mengoyak-ngoyak hatinya. Penyakit yang menyebabkan dirinya gundah gulana, sedih dan sengsara. Ingatlah, Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al Mu’min: 60)

Ketiga: Rajin memenej pandangan

Pandangan yang berulang-ulang adalah pemantik terbesar yang menyalakan api hingga terbakarlah api dengan kerinduan. Orang yang memandang dengan sepintas saja jarang yang mendapatkan rasa kasmaran. Namun pandangan yang berulang-ulanglah yang merupakan biang kehancuran. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk menundukkan pandangan agar hati ini tetap terjaga. Lihatlah surat An Nur ayat 30 yang telah kami sebutkan sebelumnya. Mujahid mengatakan, “Menundukkan pandangan dari berbagai hal yang diharamkan oleh Allah akan menumbuhkan rasa cinta pada Allah.”[11]

Keempat: Lebih giat menyibukkan diri

Dalam situasi kosong kegiatan biasanya seseorang lebih mudah untuk berangan memikirkan orang yang ia cintai. Dalam keadaan sibuk luar biasa berbagai pikiran tersebut mudah untuk lenyap begitu saja. Ibnul Qayyim pernah menyebutkan nasehat seorang sufi yang ditujukan pada Imam Asy Syafi’i. Ia berkata, “Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil).”[12]

Kelima: Menjauhi musik dan film percintaan

Nyanyian dan film-film percintaan memiliki andil besar untuk mengobarkan kerinduan pada orang yang dicintai. Apalagi jika nyanyian tersebut dikemas dengan mengharu biru, mendayu-dayu tentu akan menggetarkan hati orang yang sedang ditimpa kerinduan. Akibatnya rasa rindu kepadanya semakin memuncak, berbagai angan-angan yang menyimpang pun terbetik dalam hati dan pikiran. Bila demikian, sudah layak jika nyanyian dan tontonan seperti ini dan secara umum ditinggalkan. Demi keselamatan dan kejernihan hati. Sehingga sempat diungkapkan oleh beberapa ulama nyanyian adalah mantera-mantera zina.

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air dapat menumbuhkan sayuran.”  Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.” Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.[13]

========================================

Memadu Kasih di Hari Valentine?

Hari Valentine (bahasa Inggris: Valentine’s Day), pada tanggal 14 Februari adalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya di Dunia Barat. Pada masa kini, hari raya ini berkembang bukan hanya para orang yang memadu kasih, tapi pada sahabat dan teman dekat. Namun mayoritas yang merayakannya adalah orang yang sedang jatuh cinta. Ini pun dianut saat ini dan semakin meluas di kalangan muda-mudi di negeri ini. Ketika hari tersebut ada yang memberikan coklat kepada kekasihnya atau kado spesial lainnya.

Selaku umat Islam, tentu saja kita mesti menilik ulang perayaan tersebut. Ada beberapa tinjauan dalam perayaan tersebut yang bisa dikritisi. Di antaranya adalah tentang memadu kasih lewat pacaran dan hukum merayakan valentine serta memberikan hadiah ketika itu. Semoga Allah memberikan kemudahan bagi kami untuk membahasnya.

Meninjau Fenomena Memadu Kasih Lewat Pacaran

Sebagian orang menyangka bahwa jika seseorang ingin mengenal pasangannya mestilah lewat pacaran. Kami pun merasa aneh kenapa sampai dikatakan bahwa cara seperti ini adalah satu-satunya cara untuk mengenal pasangan. Saudaraku, jika kita telaah, bentuk pacaran pasti tidak lepas dari perkara-perkara berikut ini.

Pertama: Pacaran adalah jalan menuju zina

Yang namanya pacaran adalah jalan menuju zina dan itu nyata. Awalnya mungkin hanya melakukan pembicaraan lewat telepon, sms, atau chating. Namun lambat laut akan janjian kencan. Lalu lama kelamaan pun bisa terjerumus dalam hubungan yang melampaui batas layaknya suami istri. Begitu banyak anak-anak yang duduk di bangku sekolah yang mengalami semacam ini sebagaimana berbagai info yang mungkin pernah kita dengar di berbagai media. Maka benarlah, Allah Ta’ala mewanti-wanti kita agar jangan mendekati zina. Mendekati dengan berbagai jalan saja tidak dibolehkan, apalagi jika sampai berzina. Semoga kita bisa merenungkan ayat yang mulia,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’: 32). Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Allah melarang mendekati zina. Oleh karenanya, sekedar mencium lawan jenis saja otomatis terlarang. Karena segala jalan menuju sesuatu yang haram, maka jalan tersebut juga menjadi haram. Itulah yang dimaksud dengan ayat ini.”[1] Selanjutnya, kami akan tunjukkan beberapa jalan menuju zina yang tidak mungkin lepas dari aktivitas pacaran.

Kedua:  Pacaran melanggar perintah Allah untuk menundukkan pandangan

Padahall Allah Ta’ala perintahkan dalam firman-Nya,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An Nur: 30). Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada para pria yang beriman untuk menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan yaitu wanita yang bukan mahrom. Namun jika ia tidak sengaja memandang wanita yang bukan mahrom, maka hendaklah ia segera memalingkan pandangannya. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.

Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.”[2]

Ketiga: Pacaran seringnya berdua-duaan (berkholwat)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ

Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.”[3] Berdua-duaan (kholwat) yang terlarang di sini tidak mesti dengan berdua-duan di kesepian di satu tempat, namun bisa pula bentuknya lewat pesan singkat (sms), lewat kata-kata mesra via chating dan lainnya. Seperti ini termasuk semi kholwat yang juga terlarang karena bisa pula sebagai jalan menuju sesuatu yang terlarang (yaitu zina).

Keempat: Dalam pacaran, tangan pun ikut berzina

Zina tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom sehingga ini menunjukkan haramnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.[4]

Inilah beberapa pelanggaran ketika dua pasangan memadu kasih lewat pacaran. Adakah bentuk pacaran yang selamat dari hal-hal di atas? Lantas dari sini, bagaimanakah mungkin pacaran dikatakan halal? Dan bagaimana mungkin dikatakan ada pacaran islami padahal pelanggaran-pelanggaran di atas pun ditemukan? Jika kita berani mengatakan ada pacaran Islami, maka seharusnya kita berani pula mengatakan ada zina islami, judi islami, arak islami, dan seterusnya.

Menikah, Solusi Terbaik untuk Memadu Kasih

Solusi terbaik bagi yang ingin memadu kasih adalah dengan menikah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

« لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ »

Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.[5]

Inilah jalan yang terbaik bagi orang yang mampu menikah. Namun ingat, syaratnya adalah mampu yaitu telah mampu menafkahi keluarga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para pemuda[6], barangsiapa yang memiliki baa-ah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.”[7] Yang dimaksud baa-ah dalam hadits ini boleh jadi jima’ yaitu mampu berhubungan badan. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud baa-ah adalah telah mampu memberi nafkah. Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullahh mengatakan bahwa kedua makna tadi kembali pada makna kemampuan memberi nafkah.[8] Itulah yang lebih tepat.

Inilah solusi terbaik untuk orang yang akan memadu kasih. Bukan malah lewat jalan yang haram dan salah. Ingatlah, bahwa kerinduan pada si dia yang diidam-idamkan adalah penyakit. Obatnya tentu saja bukanlah ditambah dengan penyakit lagi. Obatnya adalah dengan menikah jika mampu. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya obat bagi orang yang saling mencintai adalah dengan menyatunya dua insan tersebut dalam jenjang pernikahan.”[9]

Obat Bagi Yang Dimabuk Cinta

Berikut adalah beberapa obat bagi orang yang dimabuk cinta namun belum sanggup untuk menikah.

Pertama: Berusaha ikhlas dalam beribadah.

Jika seseorang benar-benar ikhlas menghadapkan diri pada Allah, maka Allah akan menolongnya dari penyakit rindu dengan cara yang tak pernah terbetik di hati sebelumnya. Cinta pada Allah dan nikmat dalam beribadah akan mengalahkan cinta-cinta lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sungguh, jika hati telah merasakan manisnya ibadah kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, niscaya ia tidak akan menjumpai hal-hal lain yang lebih manis, lebih indah, lebih nikmat dan lebih baik daripada Allah. Manusia tidak akan meninggalkan sesuatu yang dicintainya, melainkan setelah memperoleh kekasih lain yang lebih dicintainya. Atau karena adanya sesuatu yang ditakutinya. Cinta yang buruk akan bisa dihilangkan dengan cinta yang baik. Atau takut terhadap sesuatu yang membahayakannya.”[10]

Kedua: Banyak memohon pada Allah

Ketika seseorang berada dalam kesempitan dan dia bersungguh-sungguh dalam berdo’a, merasakan kebutuhannya pada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan do’anya. Termasuk di antaranya apabila seseorang memohon pada Allah agar dilepaskan dari penyakit rindu dan kasmaran yang terasa mengoyak-ngoyak hatinya. Penyakit yang menyebabkan dirinya gundah gulana, sedih dan sengsara. Ingatlah, Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al Mu’min: 60)

Ketiga: Rajin memenej pandangan

Pandangan yang berulang-ulang adalah pemantik terbesar yang menyalakan api hingga terbakarlah api dengan kerinduan. Orang yang memandang dengan sepintas saja jarang yang mendapatkan rasa kasmaran. Namun pandangan yang berulang-ulanglah yang merupakan biang kehancuran. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk menundukkan pandangan agar hati ini tetap terjaga. Lihatlah surat An Nur ayat 30 yang telah kami sebutkan sebelumnya. Mujahid mengatakan, “Menundukkan pandangan dari berbagai hal yang diharamkan oleh Allah akan menumbuhkan rasa cinta pada Allah.”[11]

Keempat: Lebih giat menyibukkan diri

Dalam situasi kosong kegiatan biasanya seseorang lebih mudah untuk berangan memikirkan orang yang ia cintai. Dalam keadaan sibuk luar biasa berbagai pikiran tersebut mudah untuk lenyap begitu saja. Ibnul Qayyim pernah menyebutkan nasehat seorang sufi yang ditujukan pada Imam Asy Syafi’i. Ia berkata, “Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil).”[12]

Kelima: Menjauhi musik dan film percintaan

Nyanyian dan film-film percintaan memiliki andil besar untuk mengobarkan kerinduan pada orang yang dicintai. Apalagi jika nyanyian tersebut dikemas dengan mengharu biru, mendayu-dayu tentu akan menggetarkan hati orang yang sedang ditimpa kerinduan. Akibatnya rasa rindu kepadanya semakin memuncak, berbagai angan-angan yang menyimpang pun terbetik dalam hati dan pikiran. Bila demikian, sudah layak jika nyanyian dan tontonan seperti ini dan secara umum ditinggalkan. Demi keselamatan dan kejernihan hati. Sehingga sempat diungkapkan oleh beberapa ulama nyanyian adalah mantera-mantera zina.

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air dapat menumbuhkan sayuran.”  Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.” Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.[13]

Kasih Sayang di Hari Valentine

Saling memberi kado, saling memberi coklat dan hadiah, fenomena semacam inilah yang akan kita saksikan pada hari Valentine (14 Februari) dan hari ini pun disebut dengan hari kasih sayang. Jika ini didasari pada memadu kasih dengan pacaran, sudah kami jabarkan kekeliruannya di atas. Jika ini adalah kasih sayang secara umum, maka di antara kerusakan yang dilakukan adalah tasyabuh atau mengikuti budaya orang barat (orang kafir).

Mungkin sebagian kaum muslimin tidak mengetahui bahwa sebenarnya perayaan ini berasal dari budaya barat untuk mengenang pendeta (santo) Valentinus. Paus Gelasius I menetapkan tanggal 14 Februari sebagai hari peringatan santo Valentinus. Kenapa tanggal 14 Februari bisa dihubungkan dengan santo Valentinus? Ada yang menceritakan bahwa sore hari sebelum santo Valentinus akan gugur sebagai martir (mati karena memperjuangkan cinta), ia menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis “Dari Valentinusmu“. Pada kebanyakan versi menyatakan bahwa 14 Februari dihubungkan dengan kegugurannya sebagai martir.[14]

Dari sini menunjukkan bahwa perayaan Valentine bukan perayaan kaum muslimin, namun termasuk perayaan barat. Perayaan ini pun dimaksudkan untuk mengenang tokoh orang kafir yaitu santo Valentinus. Sehingga kerusakannya yang terlihat jelas adalah tasyabuh (meniru-niru) orang kafir.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh). Beliau bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka[15] Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal  perayaan, penampilan dan kebiasaan yang menjadi ciri khas mereka. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[16]

Perayaan ini adalah acara ritual agama lain. Hadiah yang diberikan sebagai ungkapan cinta, asalnya adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan seseorang terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka. Sehingga dari sisi inilah pemberian hadiah valentine menjadi terlarang.

Peringatan dari Komisi Fatwa di Saudi Arabia

Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Tetap Riset Ilmiyyah dan Fatwa, Saudi Arabia) telah menanggapi pertanyaan seputar ‘Idul Hubb (perayaan Hari Valentine). Para ulama yang duduk di sana menjawab, “Perayaan hari Valentine termasuk perayaan yang dikategorikan tasyabuh (meniru-niru) orang kafir dan termasuk salah satu hari besar dari kaum paganis Kristen. Karenanya, diharamkan bagi siapapun dari kaum muslimin, yang dia mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir, untuk mengambil bagian di dalamnya, termasuk memberi ucapan selamat (kepada seseorang pada saat itu). Sebaliknya, wajib baginya untuk menjauhi perayaan tersebut sebagai bentuk ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya, dan menjaga jarak dirinya dari kemarahan Allah dan hukuman-Nya.

Begitu pula seorang muslim diharamkan untuk membantu dalam perayaan ini, atau perayaan lainya yang terlarang, baik membantu dengan makanan, minuman, jual, beli, produksi, ucapan terima kasih, surat-menyurat, pengumuman, dan lain lain. Semua ini termasuk bentuk tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran, serta termasuk maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maidah: 2).”[17] Demikian cuplikan dari fatwa Al Lajnah Ad Daimah.

Oleh karenanya, tidaklah pantas jika kaum muslimin ikut serta dalam perayaan ini baik dengan mengucapkan selamat Valentine lewat surat maupun lainnya, memberi hadiah dan coklat, serta mendukung dengan menjual berbagai hadiah untuk perayaan tersebut.

Semoga Allah memberi taufik dan memperbaiki keadaan kaum muslimin.

Diselesaikan berkat nikmat Allah di Panggang-Gunung Kidul, 24 Shofar 1431 H

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id


[1] Fathul Qodir, Asy Syaukani, 4/300, Mawqi’ At Tafaasir.[2] HR. Muslim no. 5770[3] HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi (shahih dilihat dari jalur lainnya).

[4] HR. Muslim no. 6925.

[5] HR. Ibnu Majah no. 1847. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Ash Shahihah no. 624.

[6] Yang dimaksud dengan syabab (pemuda) di sini adalah siapa saja yang belum mencapai usia 30 tahun. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah. (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 9/173, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392 H)

[7] HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400.

[8] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9/173.

[9] Rodhotul Muhibbin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 212, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah Beirut, tahun 1412 H.

[10] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 10/187, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.

[11] Majmu’ Al Fatawa, 15/394.

[12] Al Jawabul Kafi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

[13] Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, hal. 289, Darul Kutub Al ‘Arobi, cetakan pertama, tahun 1405 H.

[14] Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Valentine

[15] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.

[16] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.

[17] Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wa Ifta’, no. 21203, 2/263-264, Mawqi’ Al Ifta’. Yang menandatangani fatwa tersebut: Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah Alusy Syaikh selaku ketua; Syaikh ‘Abdullah bin Ghodyan, Syaikh Sholih Al Fauzan dan Syaikh Bark Abu Zaid selaku anggota. Silakan lihat pada link berikut: http://alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?View=Page&PageID=186&PageNo=1&BookID=12

sumber: http://muslim.or.id/muslimah/memadu-kasih-di-hari-valentine.html

“Sex Before Marriage” Bukan Cinta Sejati

“Sex Before Marriage” Bukan Cinta Sejati

PENULIS: USTADZ MUHAMMAD ABDUH TUASIKAL

http://rumaysho.com/belajar-islam/muslimah/2956-sex-before-marriage-bukan-cinta-sejati.html

cinta pacaranDua sejoli itu duduk berdampingan di sebuah taman yang rindang yang penuh pepohonan. Mereka berdua sebenarnya tidak sendirian. Karena tak jauh dari tempat mereka bercengkerama, belasan pasangan laki perempuan yang lain juga duduk menyepi.

Apakah yang duduk-duduk ini pasangan suami istri? Bukan. Mereka adalah pasangan muda-mudi yang menumpahkan perasaan kasmarannya. Sayangnya, cara yang mereka tempuh adalah cara yang keliru. Pemandangan seperti itu bukan lagi hal yang asing ditemukan. Bahkan tak jarang aktivitas pacaran tersebut dilakukan di rumah Allah, yaitu di masjid. Kebanyakan muda-mudi yang belum punya status nikah tetap nekad bermaksiat di tempat mulia semacam itu.

Pacaran Sudah Jelas Jalan Menuju Zina

Wahai muda-mudi … Jalan manakah lagi yang lebih dekat pada zina selain pacaran? Bukankah banyak kasus zina berawal dari tindak tanduk perkenalan diri lewat pacaran? Hal ini tidak bisa disangkal lagi, apalagi untuk sekarang ini. Sudah banyak berita yang kita saksikan. Hanya karena kenalan lewat media FB, hingga suka sama suka, dua sejoli dan yang satunya masih duduk di bangku kelas 2 SMP (14 tahun) akhirnya jalan berdua dengan kenalannya hingga si gadis kecil dibawa lari jauh dari ortunya. Terjadilah apa yang terjadi. Si gadis kecil pun dirayu-rayu oleh si laki-laki hingga akhirnya mau melepaskan keperawanannya hanya karena rayuan gombal.

Lihatlah adik-adikku … Bukankah pacaran ini benar-benar jalan menuju zina? Awalnya dari kenalan. Lalu beranjak janjian kencan. Lalu dibawa ke tempat sepi. Setelah itu beranjak ke yang lebih parah. Maka terjadilah zina yang tidak disangka-sangka dari awal, hanya karena alasan true love, membuktikan cinta yang sebenarnya.

Semoga kita bisa merenungkan ayat yang mulia,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’: 32). Ulama terkemuka yaitu Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Allah melarang mendekati zina. Oleh karenanya, sekedar mencium lawan jenis saja otomatis terlarang. Karena segala jalan menuju sesuatu yang haram, maka jalan tersebut juga menjadi haram. Itulah yang dimaksud dengan ayat ini.”[1]

Coba perhatikan penjelasan di atas wahai adikku … Kita dapat suatu pelajaran bahwa setiap hal yang dapat mengantarkan pada yang haram atau dosa besar, maka itu semua menjadi terlarang. Ingatlah bahwa ayat di atas bukan hanya memperingatkan perbuatan zina yang merupakan dosa besar. Namun ayat yang mulia di atas juga memperingatkan segala jalan yang dapat mengantarkan pada zina. Segala jalan menuju zina saja dilarang karena kita dilarang mendekati zina, maka melakukan zina lebih-lebih terlarang lagi.

Namun banyak muda-mudi yang kami sayangkan belum memahami ayat tersebut. Allah Ta’ala sebenarnya cukup menyampaikan ayat yang ringkas saja, namun cakupannya luas untuk melarang hal-hal lainnya. Dari sini, maka aktivitas berdua-duaan antara lawan jenis itu terlarang dan aktivitas menyentuh lawan jenis juga terlarang. Apalagi dua aktivitas yang kami sebutkan ini ada larangan khususnya.

Untuk aktivitas berdua-duaan antara lawan jenis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ

Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.”[2] Ini menunjukkan terlarangnya kholwat (berdua-duaan antara lawan jenis).

Untuk aktivitas menyentuh lawan jenis, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tunjukkan larangannya dalam sabdanya,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.[3] Artinya, menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom termasuk keharaman karena dinamakan dengan zina yang juga haram.

Penjelasan di atas sebenarnya sudah cukup menyatakan bahwa pacaran itu terlarang. Jika ada yang masih mengatakan bahwa ada pacaran yang halal yaitu pacaran Islami, maka cukup kami jawab, “Bagaimana mau dikatakan halal sedangkan pelanggaran di atas masih ditemui? Jika kita nekad mengatakan ada pacaran Islami, maka kita juga seharusnya berani mengatakan ada zina Islami, khomr Islami, judi Islami dan sebagainya.” Hanya Allah yang beri taufik.

Lebih Parah Dari Itu

Kalau duduk merapat, berangkulan, berciuman dan sejenisnya yang dilakukan oleh laki perempuan non mahrom yang tak diikat tali pernikahan saja sudah tidak boleh dan dilarang oleh ajaran Islam, bagaimana jika lebih dari itu? Namun inilah yang disayangkan tersebar luas di kalangan muda-mudi. Mereka begitu mudahnya membuktikan cinta, namun dengan jalan yang keliru yaitu dengan “sex before marriage (SBM)”, atau istilah kerennya adalah dengan “making love”. Sekeren apapun namanya namun hakekatnya tetap sama yaitu menerjang larangan Allah dengan melakukan dosa besar zina. Inilah yang dikatakan oleh mereka-mereka sebagai pembuktian cinta. Inilah yang katanya true love, cinta sebenarnya. Bagaimana mungkin zina dinamakan true love sedangkan di sana menerjang larangan Allah yang termasuk dosa besar?

Bukankah Allah Ta’ala telah menyebutkan dalam kitabnya yang mulia,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’: 32)? Lihatlah bahwa zina di sini disebut dengan perbuatan yang keji dan sejelek-jelek jalan.

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا

Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).” (QS. Al Furqon: 68). Artinya, orang yang melakukan salah satu dosa yang disebutkan dalam ayat ini akan mendapatkan siksa dari perbuatan dosa yang ia lakukan.

Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,Wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar di sisi Allah?” Beliau bersabda, “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan, padahal Dia-lah yang menciptakanmu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Terus apa lagi?” Beliau bersabda, “Engkau membunuh anakmu yang dia makan bersamamu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Terus apa lagi?” Beliau bersabda,

ثُمَّ أَنْ تُزَانِىَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ

Kemudian engkau berzina dengan istri tetanggamu.” Kemudian akhirnya Allah turunkan surat Al Furqon ayat 68 di atas.[4] Di sini menunjukkan besarnya dosa zina, apalagi berzina dengan istri tetangga.

Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا زَنَى الرَّجُلُ خَرَجَ مِنْهُ الإِيمَانُ كَانَ عَلَيْهِ كَالظُّلَّةِ فَإِذَا انْقَطَعَ رَجَعَ إِلَيْهِ الإِيمَانُ

Jika seseorang itu berzina, maka iman itu keluar dari dirinya seakan-akan dirinya sedang diliputi oleh gumpalan awan (di atas kepalanya). Jika dia lepas dari zina, maka iman itu akan kembali padanya.[5]

Meski larangan-larangan zina dalam berbagai dalil di atas begitu tegas dan ancamannya begitu berat ternyata banyak remaja yang terjebak dalam perbuatan keji tersebut. Survey, data yang diperoleh dan dipublikasikan oleh banyak kalangan semakin membuat hati miris. Kadang timbul pertanyaan setelah membacanya? Sudah benar-benar rusakkah pemuda Islam kita?

Haruskah Membuktikan True Love Lewat Making Love?

Mereka yang melakukan aktivitas pacaran, memberikan alasan bahwa seks sebelum nikah (sex before marriage) adalah bukti cinta sejati. Logika mereka, yang namanya cinta itu butuh pengorbanan. Nah, kalau wanita yang diajak pacaran, maka ia harus mau berkorban. Apa bentuk pengorbanannya? Tak lain dan tak bukan adalah mengorbankan kesucian mereka. Naudzu billah.

Tentu ini adalah alasan yang dibuat-buat untuk memperturutkan hawa nafsu rendahan. Yang benar adalah bila seseorang cinta pada seseorang pasti ia akan berusaha memberikan kebaikan kepada orang yang dicintainya dan tak rela bila kekasihnya terjerumus dalam kesengsaraan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنَ الْخَيْرِ

Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, seorang hamba tidak beriman (dengan iman yang sempurna) hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya mendapat kebaikan.[6]

Bila kita benar-benar cinta kepada seorang wanita dan sebaliknya, maka kita akan bersungguh-sungguh menjaga kesuciannya karena itu adalah suatu kebaikan sebagaimana kita pula ingin memperolehnya. Tentu hal itu tidak ditempuh lewat jalan pacaran dan berhubungan seks di luar jalan yang benar. Pengorbanan yang benar dalam cinta bukan berkorban untuk maksiat, namun berkorban dengan mengerahkan seluruh kemampuan menjaga kesucian diri dan orang yang dicinta serta berusaha meraih hubungan yang dihalalkan oleh Allah. Yakinlah adikku, jika kita benar-benar tulus ingin menjaga kesucian diri dan meraih yang halal, Allah pasti akan menolong. Ingat selalu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَوْنُهُمُ الْمُجَاهِدُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِى يُرِيدُ الأَدَاءَ وَالنَّاكِحُ الَّذِى يُرِيدُ الْعَفَافَ

Tiga orang yang berhak mendapatkan pertolongan Allah, yaitu orang yang berjihad di jalan Allah, budak mukatab yang ingin membebaskan dirinya, dan orang yang menikah yang ingin menjaga kehormatan dirinya.”[7] Oleh karenanya, jika seseorang betul-betul ingin menjaga kesucian dirinya, maka tempuhlah jalan yang benar yaitu melalui jenjang pernikahan, niscaya pertolongan Allah akan terus datang. Yakinlah!

Jadi cinta sejati dibuktikan lewat jalan yang benar yaitu lewat jalan menikah. Jika belum mampu, maka bersabarlah. Sibukkanlah diri dengan hal-hal yang baik. Jauhi pergaulan dengan lawan jenis kecuali jika darurat. Banyak memohon kepada Allah agar diberikan kemudahan untuk terlepas dari zina dan segala jalan menuju perbuatan yang keji tersebut.

Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada setiap muda-mudi yang membaca risalah ini.

Disusun di Panggang, Gunung Kidul, 26 Rabi’ul Awwal 1431 H (12/03/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.remajaislam.com , dipublish ulang oleh http://rumaysho.com [8]


[1] Fathul Qodir, Asy Syaukani, 4/300, Mawqi’ At Tafaasir.[2] HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi (shahih dilihat dari jalur lainnya).

[3] HR. Muslim no. 6925.

[4] HR. Bukhari no. 7532 dan Muslim no. 86.

[5] HR. Abu Daud no. 4690 dan Tirmidzi no. 2625. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[6] HR. Ahmad (3/206). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim.

[7] HR. Tirmidzi no. 1655. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh Al Albani juga mengatakann hadits ini hasan.

[8] Kami olah tulisan ini dari Majalah Elfata, edisi 12, vol 07, tahun 2007.

================================================

PENULIS: USTADZ MUHAMMAD ABDUH TUASIKAL

http://rumaysho.com/belajar-islam/muslimah/2956-sex-before-marriage-bukan-cinta-sejati.html

Apakah Mengenal Pasangan Harus Lewat Pacaran? (tentu tidak)

Apakah Mengenal Pasangan Harus Lewat Pacaran?

penulis: ustadz muhammad abduh tuasikal

ImageSebagian orang menyangka bahwa jika seseorang ingin mengenal pasangannya mestilah lewat pacaran. Kami pun merasa aneh kenapa sampai dikatakan bahwa cara seperti ini adalah satu-satunya cara untuk mengenal pasangan. Saudaraku, jika kita telaah, bentuk pacaran pasti tidak lepas dari perkara-perkara berikut ini.

Pertama: Pacaran adalah jalan menuju zina

Yang namanya pacaran adalah jalan menuju zina dan itu nyata. Awalnya mungkin hanya melakukan pembicaraan lewat telepon, sms, atau chating. Namun lambat laut akan janjian kencan. Lalu lama kelamaan pun bisa terjerumus dalam hubungan yang melampaui batas layaknya suami istri. Begitu banyak anak-anak yang duduk di bangku sekolah yang mengalami semacam ini sebagaimana berbagai info yang mungkin pernah kita dengar di berbagai media. Maka benarlah, Allah Ta’ala mewanti-wanti kita agar jangan mendekati zina. Mendekati dengan berbagai jalan saja tidak dibolehkan, apalagi jika sampai berzina. Semoga kita bisa merenungkan ayat yang mulia,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’: 32). Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Allah melarang mendekati zina. Oleh karenanya, sekedar mencium lawan jenis saja otomatis terlarang. Karena segala jalan menuju sesuatu yang haram, maka jalan tersebut juga menjadi haram. Itulah yang dimaksud dengan ayat ini.”[1] Selanjutnya, kami akan tunjukkan beberapa jalan menuju zina yang tidak mungkin lepas dari aktivitas pacaran.

Kedua:  Pacaran melanggar perintah Allah untuk menundukkan pandangan

Padahall Allah Ta’ala perintahkan dalam firman-Nya,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An Nur: 30). Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada para pria yang beriman untuk menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan yaitu wanita yang bukan mahrom. Namun jika ia tidak sengaja memandang wanita yang bukan mahrom, maka hendaklah ia segera memalingkan pandangannya. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.

Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.”[2]

Ketiga: Pacaran seringnya berdua-duaan (berkholwat)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ

Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.”[3] Berdua-duaan (kholwat) yang terlarang di sini tidak mesti dengan berdua-duan di kesepian di satu tempat, namun bisa pula bentuknya lewat pesan singkat (sms), lewat kata-kata mesra via chating dan lainnya. Seperti ini termasuk semi kholwat yang juga terlarang karena bisa pula sebagai jalan menuju sesuatu yang terlarang (yaitu zina).

Keempat: Dalam pacaran, tangan pun ikut berzina

Zina tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom sehingga ini menunjukkan haramnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.[4]

Inilah beberapa pelanggaran ketika dua pasangan memadu kasih lewat pacaran. Adakah bentuk pacaran yang selamat dari hal-hal di atas? Lantas dari sini, bagaimanakah mungkin pacaran dikatakan halal? Dan bagaimana mungkin dikatakan ada pacaran islami padahal pelanggaran-pelanggaran di atas pun ditemukan? Jika kita berani mengatakan ada pacaran Islami, maka seharusnya kita berani pula mengatakan ada zina islami, judi islami, arak islami, dan seterusnya.

Menikah, Solusi Terbaik untuk Memadu Kasih

Solusi terbaik bagi yang ingin memadu kasih adalah dengan menikah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

« لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ »

Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.[5]

Inilah jalan yang terbaik bagi orang yang mampu menikah. Namun ingat, syaratnya adalah mampu yaitu telah mampu menafkahi keluarga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Wahai para pemuda[6], barangsiapa yang memiliki baa-ah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.”[7] Yang dimaksud baa-ah dalam hadits ini boleh jadi jima’ yaitu mampu berhubungan badan. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud baa-ah adalah telah mampu memberi nafkah. Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullahh mengatakan bahwa kedua makna tadi kembali pada makna kemampuan memberi nafkah.[8] Itulah yang lebih tepat.

Inilah solusi terbaik untuk orang yang akan memadu kasih. Bukan malah lewat jalan yang haram dan salah. Ingatlah, bahwa kerinduan pada si dia yang diidam-idamkan adalah penyakit. Obatnya tentu saja bukanlah ditambah dengan penyakit lagi. Obatnya adalah dengan menikah jika mampu. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya obat bagi orang yang saling mencintai adalah dengan menyatunya dua insan tersebut dalam jenjang pernikahan.”[9]

Obat Bagi Yang Dimabuk Cinta

Berikut adalah beberapa obat bagi orang yang dimabuk cinta namun belum sanggup untuk menikah.

Pertama: Berusaha ikhlas dalam beribadah.

Jika seseorang benar-benar ikhlas menghadapkan diri pada Allah, maka Allah akan menolongnya dari penyakit rindu dengan cara yang tak pernah terbetik di hati sebelumnya. Cinta pada Allah dan nikmat dalam beribadah akan mengalahkan cinta-cinta lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sungguh, jika hati telah merasakan manisnya ibadah kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, niscaya ia tidak akan menjumpai hal-hal lain yang lebih manis, lebih indah, lebih nikmat dan lebih baik daripada Allah. Manusia tidak akan meninggalkan sesuatu yang dicintainya, melainkan setelah memperoleh kekasih lain yang lebih dicintainya. Atau karena adanya sesuatu yang ditakutinya. Cinta yang buruk akan bisa dihilangkan dengan cinta yang baik. Atau takut terhadap sesuatu yang membahayakannya.”[10]

Kedua: Banyak memohon pada Allah

Ketika seseorang berada dalam kesempitan dan dia bersungguh-sungguh dalam berdo’a, merasakan kebutuhannya pada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan do’anya. Termasuk di antaranya apabila seseorang memohon pada Allah agar dilepaskan dari penyakit rindu dan kasmaran yang terasa mengoyak-ngoyak hatinya. Penyakit yang menyebabkan dirinya gundah gulana, sedih dan sengsara. Ingatlah, Allah Ta’ala berfirman,

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al Mu’min: 60)

Ketiga: Rajin memenej pandangan

Pandangan yang berulang-ulang adalah pemantik terbesar yang menyalakan api hingga terbakarlah api dengan kerinduan. Orang yang memandang dengan sepintas saja jarang yang mendapatkan rasa kasmaran. Namun pandangan yang berulang-ulanglah yang merupakan biang kehancuran. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk menundukkan pandangan agar hati ini tetap terjaga. Lihatlah surat An Nur ayat 30 yang telah kami sebutkan sebelumnya. Mujahid mengatakan, “Menundukkan pandangan dari berbagai hal yang diharamkan oleh Allah akan menumbuhkan rasa cinta pada Allah.”[11]

Keempat: Lebih giat menyibukkan diri

Dalam situasi kosong kegiatan biasanya seseorang lebih mudah untuk berangan memikirkan orang yang ia cintai. Dalam keadaan sibuk luar biasa berbagai pikiran tersebut mudah untuk lenyap begitu saja. Ibnul Qayyim pernah menyebutkan nasehat seorang sufi yang ditujukan pada Imam Asy Syafi’i. Ia berkata, “Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil).”[12]

Kelima: Menjauhi musik dan film percintaan

Nyanyian dan film-film percintaan memiliki andil besar untuk mengobarkan kerinduan pada orang yang dicintai. Apalagi jika nyanyian tersebut dikemas dengan mengharu biru, mendayu-dayu tentu akan menggetarkan hati orang yang sedang ditimpa kerinduan. Akibatnya rasa rindu kepadanya semakin memuncak, berbagai angan-angan yang menyimpang pun terbetik dalam hati dan pikiran. Bila demikian, sudah layak jika nyanyian dan tontonan seperti ini dan secara umum ditinggalkan. Demi keselamatan dan kejernihan hati. Sehingga sempat diungkapkan oleh beberapa ulama nyanyian adalah mantera-mantera zina.

Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air dapat menumbuhkan sayuran.”  Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.” Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.[13]

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.remajaislam.com


[1]Fathul Qodir, Asy Syaukani, 4/300, Mawqi’ At Tafaasir.[2] HR. Muslim no. 5770

[3] HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi (shahih dilihat dari jalur lainnya).

[4] HR. Muslim no. 6925.

[5] HR. Ibnu Majah no. 1847. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Ash Shahihah no. 624.

[6] Yang dimaksud dengan syabab (pemuda) di sini adalah siapa saja yang belum mencapai usia 30 tahun. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah. (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 9/173, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392 H)

[7] HR. Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400.

[8] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9/173.

[9]Rodhotul Muhibbin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 212, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah Beirut, tahun 1412 H.

[10]Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 10/187, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.

[11]Majmu’ Al Fatawa, 15/394.

[12]Al Jawabul Kafi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 109, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

[13] Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, hal. 289, Darul Kutub Al ‘Arobi, cetakan pertama, tahun 1405 H.

penulis: ustadz muhammad abduh tuasikal

10 Hal yang Tidak Bermanfaat dan Sia-sia

PENULIS: USTADZ MUHAMMAD ABDUH TUASIKAL

Home

Image

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengatakan bahwa ada sepuluh hal yang tidak bermanfaat.

Pertama: memiliki ilmu namun tidak diamalkan.

Kedua: beramal namun tidak ikhlash dan tidak mengikuti tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketiga: memiliki harta namun enggan untuk menginfakkan. Harta tersebut tidak digunakan untuk hal yang bermanfaat di dunia dan juga tidak diutamakan untuk kepentingan akhirat.

Keempat: hati yang kosong dari cinta dan rindu pada Allah.

Kelima: badan yang lalai dari taat dan mengabdi pada Allah.

Keenam: cinta yang di dalamnya tidak ada ridho dari yang dicintai dan cinta yang tidak mau patuh pada perintah-Nya.

Ketujuh: waktu yang tidak diisi dengan kebaikan dan pendekatan diri pada Allah.

Kedelapan: pikiran yang selalu berputar pada hal yang tidak bermanfaat.

Kesembilan: pekerjaan yang tidak membuatmu semakin mengabdi pada Allah dan juga tidak memperbaiki urusan duniamu.

Kesepuluh: rasa takut dan rasa harap pada makhluk yang dia sendiri berada pada genggaman Allah. Makhluk tersebut tidak dapat melepaskan bahaya dan mendatangkan manfaat pada dirinya, juga tidak dapat menghidupkan dan mematikan serta tidak dapat menghidupkan yang sudah mati.

Itulah sepuluh hal yang melalaikan dan sia-sia. Di antara sepuluh hal tersebut yang paling berbahaya dan merupakan asal muasal segala macam kelalaian adalah dua hal yaitu: hati yang selalu lalai dan waktu yang tersia-siakan.
Hati yang lalai akan membuat seseorang mengutamakan dunia daripada akhirat, sehingga dia cenderung mengikuti hawa nafsu. Sedangkan menyia-nyiakan waktu akan membuat seseorang panjang angan-angan.

Padahal segala macam kerusakan terkumpul karena mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Sedangkan segala macam kebaikan ada karena mengikuti al huda (petunjuk) dan selalu menyiapkan diri untuk berjumpa dengan Rabb semesta alam.

Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Rujukan: Al Fawa’id, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, hal. 108,  Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1425 H.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.remajaislam.com

Benci dengan Popularitas

Benci dengan Popularitas

PENULIS: USTADZ MUHAMMAD ABDUH TUASIKAL

Home

popularitasKebanyakan orang malah ingin kondang dan tenar. Keinginan ini sering kita temukan pada para artis. Namun orang yang tahu agama pun punya keinginan yang sama. Ketenaran juga selalu dicari-cari oleh seluruh manusia termasuk orang kafir. Akhirnya, berbagai hal yang begitu aneh dilakuin karena ingin tenar dan tersohor. Berbagai rekor MURI pun ingin diraih dan dipecahkan karena satu tujuan yaitu tenar.Sungguh hal ini sangat berbeda dengan kelakukan ulama salaf yang selalu menyembunyikan diri mereka dan menasehatkan agar kita pun tidak usah mencari ketenaran.Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Wahai hamba Allah, sembunyikanlah selalu kedudukan muliamu. Jagalah selalu lisanmu. Minta ampunlah terhadap dosa-dosamu, juga dosa yang diperbuat kaum mukminin dan mukminat sebagaimana yang diperintahkan padamu.”

Abu Ayub As Sikhtiyani mengatakan, “Seorang hamba sama sekali tidaklah jujur jika keinginannya hanya ingin mencari ketenaran.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 276.)

Ibnul Mubarok mengatakan bahwa Sufyan Ats Tsauri pernah menulis surat padanya, “Hati-hatilah dengan ketenaran.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 277.)

Daud Ath Tho’i mengatakan, “Menjauhlah engkau dari manusia sebagaimana engkau menjauh dari singa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278) Maksudnya, tidak perlu kita mencari-cari ketenaran ketika beramal sholih.

Imam Ahmad mengatakan, “Beruntung sekali orang yang Allah buat ia tidak tenar.” Beliau juga pernah mengatakan, “Aku lebih senang jika aku berada pada tempat yang tidak ada siapa-siapa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278)

Dzun Nuun mengatakan, “Tidaklah Allah memberikan keikhlasan pada seorang hamba kecuali ia akan suka berada di jubb (penjara di bawah tanah) sehingga tidak dikenal siapa-siapa.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 278)

Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Rahimahullahu ‘abdan akhmala dzikrohu (Moga-moga Allah merahmati seorang hamba yang tidak ingin dirinya dikenal/tenar)” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 280)

Basyr bin Al Harits Al Hafiy mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang ingin tenar kecuali berangsur-angsur agamanya pun akan hilang. Silakan jika ketenaran yang dicari. Orang yang ingin mencari ketenaran sungguh ia kurang bertakwa pada Allah.” Suatu saat juga Basyr mengatakan, “Orang yang tidak mendapatkan kelezatan di akhirat adalah orang yang ingin tenar.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 284)

Ibrohim bin Ad-ham mengatakan, “Tidaklah bertakwa pada Allah orang yang ingin kebaikannya disebut-sebut orang.” (Lihat Ta’thirul Anfas, hal. 286)

Cobalah lihat bagaimana ulama salaf dahulu tidak ingin dirinya tenar. Al Hasan Al Bashri pernah menceritakan mengenai Ibnul Mubarok. Suatu saat Ibnul Mubarok pernah datang ke tempat sumber air di mana orang-orang banyak yang menggunakannya untuk minum. Tatkala itu orang-orang pun tidak ada yang mengenal siapa Ibnul Mubarok. Orang-orang pun akhirnya saling berdesakan dengan beliau dan saling mendorong untuk mendapatkan air tersebut. Tatkala selesai dari  mendapatkan minuman, Ibnul Mubarok pun mengatakan pada Al Hasan Al Bashri, “Kehidupan memang seperti ini. Inilah yang terjadi jika kita tidak terkenal dan tidak dihormati.” Lihatlah Ibnul Mubarok lebih senang kondisinya tidak tenar dan tidak menganggapnya masalah.

Catatan penting yang perlu diperhatikan:

Imam Al Ghozali mengatakan, “Yang tercela adalah apabila seseorang mencari ketenaran. Namun jika ia tenar karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.”

Faedah Ilmu di Panggang, Gunung Kidul, 27 Rabi’ul Awwal 1431 H (13/03/2010)

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

Kriteria Wanita Idaman

Kriteria Wanita Idaman

PENULIS: USTADZ MUHAMMAD ABDUH TUASIKAL

Home

Kriteria Wanita IdamanSegala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Setelah sebelumnya kita mengkaji siapakah pria yang mesti dijauhi dan tidak dijadikan idaman maupun idola, maka untuk kesempatan kali ini kita spesial akan membahas wanita. Siapakah yang pantas menjadi wanita idaman? Bagaimana kriterianya? Ini sangat perlu sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, sehingga si pria tidak salah dalam memilih. Begitu juga kriteria ini dimaksudkan agar si wanita bisa selalu introspeksi diri. Semoga bermanfaat.

Kriteria Pertama: Memiliki Agama yang Bagus

Inilah yang harus jadi kriteria pertama sebelum kriteria-kriteria lainnya. Tentu saja wanita idaman memiliki aqidah yang bagus, bukan malah aqidah yang salah jalan. Seorang wanita yang baik agamanya tentu saja tidak suka membaca ramalan-ramalan bintang seperti zodiak dan shio. Karena ini tentu saja menunjukkan rusaknya aqidah wanita tersebut. Membaca ramalan bintang sama halnya dengan mendatangi tukang ramal. Bahkan ini lebih parah dikarenakan tukang ramal sendiri yang datang ke rumahnya dan ia bawa melalui majalah yang memuat berbagai ramalan bintang setiap pekan atau setiap bulannya. Jika cuma sekedar membaca ramalan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan, “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, lalu ia bertanya mengenai sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama 40 malam.[1] Jika sampai membenarkan ramalan tersebut, lebih parah lagi akibatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia membenarkan apa yang mereka katakan, maka ia telah kufur pada Al Qur’an yang diturunkan pada Muhammad.[2]

Begitu pula ia paham tentang hukum-hukum Islam yang berkenaan dengan dirinya dan juga untuk mengurus keluarga nantinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan seorang pria untuk memilih perempuan yang baik agamanya. Beliau bersabda, “Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi”.[3] Sebenarnya makna “taribat yadak adalah

Inilah kriteria wanita idaman yang patut diperhatikan pertama kali –yaitu baiknya agama- sebelum kriteria lainnya, sebelum kecantikan, martabat dan harta.

Kriteria Kedua: Selalu Menjaga Aurat

Kriteria ini pun harus ada dan jadi pilihan. Namun sayangnya sebagian pria malah menginginkan wanita yang buka-buka aurat dan seksi. Benarlah, laki-laki yang jelek memang menginginkan wanita yang jelek pula.

Ingatlah, sangat bahaya jika seorang wanita yang berpakaian namun telanjang dijadikan pilihan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”[4] Di antara makna wanita yang berpakaian tetapi telanjang dalam hadits ini adalah:

  1. Wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.
  2. Wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang.[5]

Sedangkan aurat wanita yang wajib ditutupi adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya  ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59). Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31). Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan.[6]

Kriteria Ketiga: Berbusana dengan Memenuhi Syarat Pakaian yang Syar’i

Wanita yang menjadi idaman juga sepatutnya memenuhi beberapa kriteria berbusana berikut ini yang kami sarikan dari berbagai dalil Al Qur’an dan As Sunnah.

Syarat pertama: Menutupi seluruh tubuh (termasuk kaki) kecuali wajah dan telapak tangan.

Syarat kedua: Bukan memakai pakaian untuk berhias diri.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliyyah pertama.” (QS. Al Ahzab : 33). Abu ‘Ubaidah mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan kecantikan dirinya.” Az Zujaj mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan perhiasaan dan setiap hal yang dapat mendorong syahwat (godaan) bagi kaum pria.”[7]

Syarat ketiga: Longgar, tidak ketat dan tidak tipis sehingga tidak menggambarkan bentuk lekuk tubuh.

Syarat keempat:  Tidak diberi wewangian atau parfum. Dari Abu Musa Al Asy’ary bahwanya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur.”[8]

Inilah di antara beberapa syarat pakaian wanita yang harus dipenuhi. Inilah wanita yang pantas dijadikan kriteria.

Kriteria keempat: Betah Tinggal di Rumah

Di antara yang diteladankan oleh para wanita salaf yang shalihah adalah betah berada di rumah dan bersungguh-sungguh menghindari laki-laki serta tidak keluar rumah kecuali ada kebutuhan yang mendesak. Hal ini dengan tujuan untuk menyelamatkan masyarakat dari godaan wanita yang merupakan godaan terbesar bagi laki-laki.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Dan tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu” (QS Al Ahzab: 33).

Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat di atas mengatakan, “Hendaklah kalian tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian keluar rumah kecuali karena ada kebutuhan”.[9]

Dari Abdullah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Sesungguhnya perempuan itu aurat. Jika dia keluar rumah maka setan menyambutnya. Keadaan perempuan yang paling dekat dengan wajah Allah adalah ketika dia berada di dalam rumahnya”.[10]

Kriteria Kelima: Memiliki Sifat Malu

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ

Rasa malu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.[11]

Kriteria ini juga semestinya ada pada wanita idaman. Contohnya adalah ketika bergaul dengan pria. Wanita yang baik seharusnya memiliki sifat malu yang sangat. Cobalah perhatikan contoh yang bagus dari wanita di zaman Nabi Musa ‘alaihis salam. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ (23) فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ (24)

Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya.” (QS. Qashash: 23-24). Lihatlah bagaimana bagusnya sifat kedua wanita ini, mereka malu berdesak-desakan dengan kaum lelaki untuk meminumkan ternaknya. Namun coba bayangkan dengan wanita di zaman sekarang ini!

Demikianlah kriteria wanita yang semestinya jadi idaman. Namun kriteria ini baru sebagian saja. Akan tetapi, kriteria ini semestinya yang dijadikan prioritas.

Intinya, jika seorang pria ingin mendapatkan wanita idaman, itu semua kembali pada dirinya. Ingatlah: ”Wanita yang baik untuk laki-laki yang baik”. Jadi, hendaklah seorang pria mengoreksi diri pula, sudahkah dia menjadi pria idaman, niscaya wanita yang ia idam-idamkan di atas insya Allah menjadi pendampingnya. Inilah kaedah umum yang mesti diperhatikan.

Semoga Allah memudahkan kita untuk selalu mendapatkan keberkahan dalam hidup ini.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.remajaislam.com


[1] HR. Muslim  no. 2230, dari Shofiyah, dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[2] HR. Ahmad (2/492). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[3] HR. Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1446, dari Abu Hurairah.

[4] HR. Muslim no. 2128, dari Abu Hurairah.

[5]Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 17/190-191, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua.

[6] Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amru Abdul Mun’im, hal. 14.

[7] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 5/133, Mawqi’ Al Islam.

[8] HR. An Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shohih.

[9]Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11/150.

[10] HR Ibnu Khuzaimah no. 1685. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.

[11] HR. Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37, dari ‘Imron bin Hushain.

PENULIS: USTADZ MUHAMMAD ABDUH TUASIKAL

Home

Kisah Istri Kecanduan Chating

Kisah Istri Kecanduan Chating

PENULIS: USTADZ MUHAMMAD ABDUH TUASIKAL

Home

chatting

Kadang jika kita hanya sekedar menyampaikan untaian nasehat, mungkin sebagian orang belum tersentuh. Namun tatkala dikemukakan sebuah kisah, barulah hati kita mulai tersentuh dan baru bisa menarik pelajaran. Semoga kisah berikut bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.

Kisah Bincang-bincang Seorang Istri di Dunia Maya

Kisah ini terjadi di Lebanon berdasarkan apa yang saya dengar lewat kajian bersama ustadz di majelis ilmu syar’i … Ustadz menguraikan kisah ini agar bisa menjadi perhatian bagi muslimah di sini (Sydney) agar mereka berhati-hati terhadap chatting ini dan tidak melayani sapaan dari laki-laki yang suka iseng menggoda lewat chatting ini…

Beliau adalah seorang wanita muslimah yang alhamdulillah Allah karuniakan kepadanya seorang suami yang baik akhlak dan budi pekertinya. Di rumah ia pun memilki komputer sebagaimana keluarga muslim lainnya di mana komputer bukan lagi merupakan barang mewah di Lebanon. Sang suami pun mengajari bagaimana menggunakan fasilitas ini yang akhirnya ia pun mahir bermain internet. Yang akhirnya ia pun mahir pula chatting dengan kawan-kawanya sesama muslimah.

Awalnya ia hanya chatting dengan rekannya sesama muslimah, … hingga pada suatu hari ia disapa oleh seorang laki-laki yang mengaku sama-sama tinggal dikota beliau.Terkesan dengan gaya tulisannya yang enak dibaca dan terkesan ramah. Sang muslimah yang telah bersuami ini akhirnya tergoda pada lelaki tersebut.

Bila sang suami sibuk bekerja untuk mengisi kekosongan waktunya, ia akhirnya menghabiskan waktu bersama dengan lelaki itu lewat chatting, … sampai sang suami menegurnya setiba dari kerja mengapa ia tetap sibuk di internet. Sang istri pun membalas bahwa ia merasa bosan karena suaminya selalu sibuk bekerja dan ia merasa kesepian, … ia merahasiakan dengan siapa ia chatting .. khawatir bila suaminya tahu maka ia akan dilarang main internet lagi…. Sungguh ia telah kecanduan berchatting ria dengan lelaki tersebut.

Fitnah pun semakin terjadi di dalam hatinya, .. ia melihat sosok suaminya sungguh jauh berbeda dengan lelaki tersebut, enak diajak berkomunikasi, senang bercanda dan sejuta keindahan lainnya di mana setan telah mengukir begitu indah di dalam lubuk hatinya.

Duhai fitnah asmara semakin membara, … ketika ia chatting lagi sang laki-laki itu pun tambah menggodanya, .. ia pun ingin bertemu empat mata dengannya. Gembiralah hatinya, .. ia pun memenuhi keinginan lelaki tersebut untuk berjumpa. Jadilah mereka berjumpa dalam sebuah restoran, lewat pembiacaran via darat mereka jadi lebih akrab. Dari pertemuan itu akhirnya dilanjutkan dengan pertemuan berikutnya.

Hingga akhirnya si lelaki tersebut telah berhasil menawan hatinya. Sang suami yang menasehati agar ia tidak lama-lama main internet tidak digubrisnya. Akhirnya suami wanita ini menjual komputer tersebut karena kesal nasehatnya tidak di dengar,  lalu apa yang terjadi ?? Langkah itu (menjual komputer) membuat marah sang istri yang akhirnya ia pun meminta cerai dari suaminya. Sungguh ia masih teringat percakapan manis dengan laki-laki tersebut yang menyatakan bahwa ia sangatlah mencintai dirinya, dan ia berjanji akan menikahinya apabila ia bercerai dari suaminya.

Sang suami yang sangat mencintai istrinya tersebut tentu saja menolak keputusan cerai itu. Karena terus didesak sang istri akhirnya ia pun dengan berat hati menceraikan istrinya. Sungguh betapa hebatnya fitnah lelaki itu. Singkatnya setelah ia selesai cerai dengan suaminya ia pun menemui lelaki tersebut dan memberitahukan kabar gembira tentang statusnya sekarang yang telah menjadi janda. Lalu apakah si lelaki itu mau menikahinya sebagaimana janjinya???

Ya ukhti muslimah dengarlah penuturan kisah tragis ini, … dengan tegasnya si lelaki itu berkata, “Tidak!! Aku tidak mau menikahimu! Aku hanya mengujimu sejauh mana engkau mencintai suamimu,ternyata engkau hanyalah seorang wanita yang tidak setia kepada suami. Dan, aku takut bila aku menikahimu nantinya engkau tidak akan setia kepadaku! Bukan ,..bukan..wanita sepertimu yang aku cari, aku mendambakan seorang istri yang setia dan taat kepada suaminya..!”

Lalu ia pun berdiri meninggalkan wanita ini, .. sang wanita dengan isak tangis yang tidak tertahan inipun akhirnya menemui ustadz tadi dan menceritakan Kisahnya…. Ia pun merasa malu untuk meminta rujuk kembali dengan suaminya yang dulu … mengingat betapa buruknya dia melayani suaminya dan telah menjadi istri yang tidak setia.

[Sumber : http://jilbab.or.id/archives/403-bercerai-dari-suami-akibat-kecanduan-chatting/ ]

Jika seseorang betul-betul merenungkan kisah di atas, tentu saja dia akan menggali beberapa pelajaran berharga. Itulah di antara bahaya chatting dengan lawan jenis yang tidak mengenal adab dalam bergaul. Lihatlah akibat chatting dengan lawan jenis, di sana bisa terjadi perceraian antara kedua pasangan tersebut disebabkan  si istri memiliki hubungan dengan pria kenalannya di dunia maya.

Di pelajaran lainnya adalah hendaknya selalu ada pengawasan dari kepala keluarga terhadap anggota keluarganya. Kepala keluarga seharusnya dapat memberikan batasan terhadap pergaulan anggota keluarganya termasuk istrinya, apalagi dalam masalah penggunaan internet. Inilah pelajaran yang mesti diperhatikan oleh seorang suami sebagai kepala keluarga.

Adapun untuk anggota keluarga yaitu istri dan anak, hendaklah mereka selalu merasa mendapatkan pengawasan dari Allah subahanahu wa ta’ala. Hendaklah mereka meyakini bahwa Allah Ta’ala mengetahui segala yang nampak maupun yang tersembunyi. Sehingga Allah mengetahui segala apa yang mereka lakukan. Karena Allah-lah Maha Mengetahui dan Maha Melihat dengan sifat kesempurnaan. Tentu saja sikap selalu merasa penjagaan dari Allah ini bisa muncul jika seseorang telah dibekali dengan aqidah dan tauhid yang benar. Itulah pentingnya pendidikan aqidah pada keluarga.

Selain itu pula, istri mesti diluruskan tatkala dia berada dalam kekeliruan. Istri mesti diluruskan dengan lemah lembut dan harus berhati-hati dalam menasehatinya. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا ، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَىْءٍ فِى الضِّلَعِ أَعْلاَهُ ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا

Bersikaplah yang baik terhadap wanita karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk. Bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk tersebut adalah bagian atasnya. Jika engkau memaksa untuk meluruskan tulang rusuk tadi, maka dia akan patah. Namun, jika kamu membiarkan wanita, ia akan selalu bengkok, maka bersikaplah yang baik terhadap wanita.” (HR. Bukhari no. 5184)

Juga perlu diketahui bahwa kerusakan yang terjadi akibat chatting di atas bukanlah bisa terjadi hanya pada wanita. Kerusakan semacam itu pun sebenarnya dapat terjadi pada laki-laki. Oleh karena itu, perlu sekali diberitahukan kepada pembaca sekalian beberapa adab-adab yang mesti diperhatikan ketika bergaul dengan lawan jenis. Karena tidak memperhatikan beberapa adab berikut inilah terjadi keretakan rumah tangga atau mungkin bagi yang belum menikah pun bisa terjadi kerusakan dengan terjerumus dalam perantara-perantara menuju zina atau bahkan bisa terjerumus dalam zina. Na’udzu billahi min dzalik.

Beberapa Adab yang Mesti Diperhatikan dalam Pergaulan dengan Lawan Jenis (Yang Bukan Mahrom)

Pertama, menjauhi segala sarana menuju zina

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’ [17] : 32)

Kedua, selalu menutup aurat

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59)

Ketiga, saling menundukkan pandangan

Allah memerintahkan kaum muslimin untuk menundukkan pandangan ketika melihat lawan jenis. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ

“Katakanlah kepada laki – laki yang beriman :”Hendaklah mereka menundukkan pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS. An Nuur [24] : 30 )

Dalam lanjutan ayat ini, Allah juga berfirman,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menundukkan pandangannya, dan kemaluannya” (QS. An Nuur [24] : 31)

Keempat, tidak berdua-duaan

Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِى مَحْرَمٍ

Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahromnya.” (HR. Bukhari, no. 5233)

Kelima, menghindari bersentuhan dengan lawan jenis

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)

Keenam, tidak melembutkan suara di hadapan lawan jenis

Allah Ta’ala berfirman,

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلا مَعْرُوفًا

Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu melembutkan pembicaraan sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit (syahwat) dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al Ahzab: 32). Perintah ini berlaku bukan hanya untuk istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun juga berlaku untuk wanita muslimah lainnya.

Lalu bagaimana dengan adab chatting dengan lawan jenis? Hal ini dapat pula kita samakan dengan telepon, SMS, pertemanan di friendster dan pertemanan di facebook.

Jawabnya adalah sama atau hampir sama dengan adab-adab di atas.

Pertama, jauhilah segala sarana menuju zina melalui pandangan, sentuhan dan berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahrom.

Kedua, tutuplah aurat di hadapan bukan mahrom.

Sehingga seorang muslimah tidak menampakkan perhiasan yang sebenarnya hanya boleh ditampakkan di hadapan suami. Contoh yang tidak beradab seperti ini adalah berbusana tanpa jilbab atau bahkan dengan busana yang hakekatnya telanjang. Inilah yang banyak kita saksikan di beberapa foto profil di FB atau friendster. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada mereka.

Ketiga, tundukkanlah pandangan.

Bagaimana mungkin bisa saling menundukkan pandangan jika masing-masing orang memajang foto di hadapan lawan jenisnya? Wanita memamerkan fotonya di hadapan pria. Mungkinkah di sini bisa saling menundukkan pandangan? Oleh karena itu, alangkah baiknya jika foto profil kita bukanlah foto kita, namun dengan foto  yang lain yang bukan gambar makhluk bernyawa. Tujuannya adalah agar foto wanita tidak membuat fitnah (godaan) bagi laki-laki, begitu pula sebaliknya. Di antara bentuk menundukkan pandangan adalah janganlah menggunakan webcamp selain dengan sesama jenis saja ketika ingin melakukan obrolan di dunia maya.

Keempat, hati-hatilah dengan berdua-duaan bersama lawan jenis yang bukan mahrom.

Jika seorang pria dan wanita melakukan pembicaraan via chatting, telepon atau sms –tanpa ada hajat (keperluan)-, itu sebenarnya adalah semi kholwat (semi berdua-duaan). Apalagi jika di dalamnya disertai dengan kata-kata mesra dan penuh godaan sehingga membangkitkan nafsu birahi. Dan jika memang ada pembicaraan yang dirasa perlu antara pria dan wanita yang bukan mahrom, maka itu hanya seperlunya saja dan sesuai kebutuhan. Jika tidak ada kebutuhan lagi, maka pembicaraan tersebut seharusnya dijauhi agar tidak terjadi sesuatu yang bisa menjurus pada yang haram.

Kelima, janganlah melembutkan atau mendayu-dayukan suara atau kata-kata di hadapan lawan jenis.

Penyimpangan dalam adab terakhir ini, kalau diterapkan dalam obrolan chatting adalah dengan kata-kata yang lembut atau mendayu-dayu dari wanita yang menimbulkan godaan pada pria. Contoh menggunakan kata-kata yang sebenarnya layak untuk suami istri seperti “sayang”, dsb.

Jika setiap muslim mengindahkan adab-adab di atas, maka tentu saja dia tidak akan terjerumus dalam perbuatan dosa dan tidak akan mengalami hal yang serupa dengan kisah di atas dengan izin Allah.

Kami ingatkan pula bahwa tulisan ini bukanlah hanya kami tujukan kepada kaum hawa saja, namun kami juga tujukan pada para pria agar mereka juga memperhatikan adab-adab di atas. Jadi janganlah tulisan ini dijadikan sebagai sarana untuk memojokkan wanita atau para istri, namun hendaklah dijadikan nasehat untuk bersama.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan sifat ketakwaan, memberi kita petunjuk dan kecukupan. Semoga Allah melindungi dan menjaga keluarga kita dari hal-hal yang haram dan mendatangkan murka Allah. Semoga risalah ini dapat bermanfaat bagi kaum muslimin. Wa shallallahu wa sallamu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi  ajma’in. Walhamdulillahir rabbil ‘alamin.

***

Panggang, Gunung Kidul, 10 Sya’ban 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

Wanita yang Berpakaian Tapi Telanjang, Sadarlah!

PENULIS: USTADZ MUHAMMAD ABDUH TUASIKAL

Home

wanita yang telanjangSaat ini sangat berbeda dengan beberapa tahun silam. Sekarang para wanita sudah banyak yang mulai membuka aurat. Bukan hanya kepala yang dibuka atau telapak kaki, yang di mana kedua bagian ini wajib ditutupi. Namun, sekarang ini sudah banyak yang berani membuka paha dengan memakai celana atau rok setinggi betis. Ya Allah, kepada Engkaulah kami mengadu, melihat kondisi zaman yang semakin rusak ini. Kami tidak tahu beberapa tahun mendatang, mungkin kondisinya akan semakin parah dan lebih parah dari saat ini. Mungkin beberapa tahun lagi, berpakaian ala barat yang transparan dan sangat memamerkan aurat akan menjadi budaya kaum muslimin. Semoga Allah melindungi keluarga kita dan generasi kaum muslimin dari musibah ini.

Tanda Benarnya Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)

Hadits ini merupakan tanda mukjizat kenabian. Kedua golongan ini sudah ada di zaman kita saat ini. Hadits ini sangat mencela dua golongan semacam ini. Kerusakan seperti ini tidak muncul di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sucinya zaman beliau, namun kerusakan ini baru terjadi setelah masa beliau hidup (Lihat Syarh Muslim, 9/240 dan Faidul Qodir, 4/275). Wahai Rabbku. Dan zaman ini lebih nyata lagi terjadi dan kerusakannya lebih parah.

Saudariku, pahamilah makna ‘kasiyatun ‘ariyatun

An Nawawi dalam Syarh Muslim ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan bahwa ada beberapa makna kasiyatun ‘ariyatun.

Makna pertama: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan bersyukur kepada-Nya.

Makna kedua: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan kebaikan dan tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan ketaatan kepada Allah.

Makna ketiga: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.

Makna keempat: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)

Pengertian yang disampaikan An Nawawi di atas, ada yang bermakna konkrit dan ada yang bermakna maknawi (abstrak). Begitu pula dijelaskan oleh ulama lainnya sebagai berikut.
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Muslimah, 125-126)

Al Munawi dalam Faidul Qodir mengatakan mengenai makna kasiyatun ‘ariyatun, “Senyatanya memang wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya dia telanjang. Karena wanita tersebut mengenakan pakaian yang tipis sehingga dapat menampakkan kulitnya. Makna lainnya adalah dia menampakkan perhiasannya, namun tidak mau mengenakan pakaian takwa. Makna lainnya adalah dia mendapatkan nikmat, namun enggan untuk bersyukur pada Allah. Makna lainnya lagi adalah dia berpakaian, namun kosong dari amalan kebaikan. Makna lainnya lagi adalah dia menutup sebagian badannya, namun dia membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutupi) untuk menampakkan keindahan dirinya.” (Faidul Qodir, 4/275)

Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnul Jauziy. Beliau mengatakan bahwa makna kasiyatun ‘ariyatun ada tiga makna.

Pertama: wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam tubuhnya. Wanita seperti ini memang memakai jilbab, namun sebenarnya dia telanjang.

Kedua: wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutup). Wanita ini sebenarnya telanjang.

Ketiga: wanita yang mendapatkan nikmat Allah, namun kosong dari syukur kepada-Nya. (Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, 1/1031)

Kesimpulannya adalah kasiyatun ‘ariyat dapat kita maknakan: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya dan wanita yang membuka sebagian aurat yang wajib dia tutup.

Tidakkah Engkau Takut dengan Ancaman Ini

Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memakaian pakaian tetapi sebenarnya telanjang, dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”
Perhatikanlah saudariku, ancaman ini bukanlah ancaman biasa. Perkara ini bukan perkara sepele. Dosanya bukan hanya dosa kecil. Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Wanita seperti ini dikatakan tidak akan masuk surga dan bau surga saja tidak akan dicium. Tidakkah kita takut dengan ancaman seperti ini?

An Nawawi rahimahullah menjelaskan maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘wanita tersebut tidak akan masuk surga’. Inti dari penjelasan beliau rahimahullah:
Jika wanita tersebut menghalalkan perbuatan ini yang sebenarnya haram dan dia pun sudah mengetahui keharaman hal ini, namun masih menganggap halal untuk membuka anggota tubuhnya yang wajib ditutup (atau menghalalkan memakai pakaian yang tipis), maka wanita seperti ini kafir, kekal dalam neraka dan dia tidak akan masuk surga selamanya.
Dapat kita maknakan juga bahwa wanita seperti ini tidak akan masuk surga untuk pertama kalinya. Jika memang dia ahlu tauhid, dia nantinya juga akan masuk surga. Wallahu Ta’ala a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)

Jika ancaman ini telah jelas, lalu kenapa sebagian wanita masih membuka auratnya di khalayak ramai dengan memakai rok hanya setinggi betis? Kenapa mereka begitu senangnya memamerkan paha di depan orang lain? Kenapa mereka masih senang memperlihatkan rambut yang wajib ditutupi? Kenapa mereka masih menampakkan telapak kaki yang juga harus ditutupi? Kenapa pula masih memperlihatkan leher?!

Sadarlah, wahai saudariku! Bangkitlah dari kemalasanmu! Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Mulailah dari sekarang untuk merubah diri menjadi yang lebih baik ….

Baca artikel selanjutnya “Syarat-syarat Pakaian Muslimah yang Sempurna

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

=============================================

Syarat-syarat Pakaian Muslimah yang Sempurna

jilbab yang sempurna

Betapa banyak kita lihat saat ini, wanita-wanita berbusana muslimah, namun masih dalam keadaan ketat. Sungguh kadang hati terasa perih. Apa bedanya penampilan mereka yang berkerudung dengan penampilan wanita lain yang tidak berkerudung jika sama-sama ketatnya[?]

Oleh karena itu, pembahasan kita saat ini adalah mengenai pakaian wanita muslimah yang seharusnya mereka pakai. Pembahasan kali ini adalah lanjutan dari pembahasan “Wanita yang Berpakaian Tetapi Telanjang“. Semoga bermanfaat. Hanya Allah lah yang dapat memberi taufik dan hidayah.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya  ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59). Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31). Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan.

Dari tafsiran yang shohih ini terlihat bahwa wajah bukanlah aurat. Jadi, hukum menutup wajah adalah mustahab (dianjurkan). (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amru Abdul Mun’im, hal. 14)

Syarat Pakaian Wanita yang Harus Diperhatikan

Pakaian wanita yang benar dan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya memiliki syarat-syarat. Jadi belum tentu setiap pakaian yang dikatakan sebagai pakaian muslimah atau dijual di toko muslimah dapat kita sebut sebagai pakaian yang syar’i. Semua pakaian tadi harus kita kembalikan pada syarat-syarat pakaian muslimah.
Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat ini dan ini semua tidak menunjukkan bahwa pakaian yang memenuhi syarat seperti ini adalah pakaian golongan atau aliran tertentu. Tidak sama sekali. Semua syarat pakaian wanita ini adalah syarat yang berasal dari Al Qur’an dan hadits yang shohih, bukan pemahaman golongan atau aliran tertentu. Kami mohon jangan disalah pahami.
Ulama yang merinci syarat ini dan sangat bagus penjelasannya adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah –ulama pakar hadits abad ini-. Lalu ada ulama yang melengkapi syarat yang beliau sampaikan yaitu Syaikh Amru Abdul Mun’im hafizhohullah. Ingat sekali lagi, syarat yang para ulama sebutkan bukan mereka karang-karang sendiri. Namun semua yang mereka sampaikan berdasarkan Al Qur’an dan hadits yang shohih.

Syarat pertama: pakaian wanita harus menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Ingat, selain kedua anggota tubuh ini wajib ditutupi termasuk juga telapak kaki.

Syarat kedua: bukan pakaian untuk berhias seperti yang banyak dihiasi dengan gambar bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang partai politik! Yang terkahir ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan di antara kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliyyah pertama.” (QS. Al Ahzab : 33). Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang mestinya ditutup karena hal itu dapat menggoda kaum lelaki.

Ingatlah, bahwa maksud perintah untuk mengenakan jilbab adalah perintah untuk menutupi perhiasan wanita. Dengan demikian, tidak masuk akal bila jilbab yang berfungsi untuk menutup perhiasan wanita malah menjadi pakaian untuk berhias sebagaimana yang sering kita temukan.

Syarat ketiga: pakaian tersebut tidak tipis dan tidak tembus pandang yang dapat menampakkan bentuk lekuk tubuh. Pakaian muslimah juga harus longgar dan tidak ketat sehingga tidak menggambarkan bentuk lekuk tubuh.

Dalam sebuah hadits shohih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat, yaitu : Suatu kaum yang memiliki cambuk, seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan para wanita berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring, wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan ini dan ini.” (HR.Muslim)

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis sehingga dapat menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, 125-126)
Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang banyak dikenakan para mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan bahkan para artis itu sesuai syari’at atau tidak.

Syarat keempat: tidak diberi wewangian atau parfum.
Dari Abu Musa Al Asy’ary bahwanya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

Perempuan mana saja yang memakai wewangian, lalu melewati kaum pria agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah wanita pezina.” (HR. An Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shohih). Lihatlah ancaman yang keras ini!

Syarat kelima: tidak boleh menyerupai pakaian pria atau pakaian non muslim.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَعَنَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ ، وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ

Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria.” (HR. Bukhari no. 6834)

Sungguh meremukkan hati kita, bagaimana kaum wanita masa kini berbondong-bondong merampas sekian banyak jenis pakaian pria. Hampir tidak ada jenis pakaian pria satu pun kecuali wanita bebas-bebas saja memakainya, sehingga terkadang seseorang tak mampu membedakan lagi, mana yang pria dan wanita dikarenakan mengenakan celana panjang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Betapa sedih hati ini melihat kaum hawa sekarang ini begitu antusias menggandrungi mode-mode busana barat baik melalui majalah, televisi, dan foto-foto tata rias para artis dan bintang film. Laa haula walaa quwwata illa billah.

Syarat keenam: bukan pakaian untuk mencari ketenaran atau popularitas (baca: pakaian syuhroh).
Dari Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِى الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ أَلْهَبَ فِيهِ نَارًا

Barangsiapa mengenakan pakaian syuhroh di dunia, niscaya Allah akan mengenakan pakaian kehinaan padanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)

Pakaian syuhroh di sini bisa bentuknya adalah pakaian yang paling mewah atau pakaian yang paling kere atau kumuh sehingga terlihat sebagai orang yang zuhud. Kadang pula maksud pakaian syuhroh adalah pakaian yang berbeda dengan pakaian yang biasa dipakai di negeri tersebut dan tidak digunakan di zaman itu. Semua pakaian syuhroh seperti ini terlarang.

Syarat ketujuh: pakaian tersebut terbebas dari salib.
Dari Diqroh Ummu Abdirrahman bin Udzainah, dia berkata,

كُنَّا نَطُوفُ بِالْبَيْتِ مَعَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ فَرَأَتْ عَلَى امْرَأَةٍ بُرْداً فِيهِ تَصْلِيبٌ فَقَالَتْ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ اطْرَحِيهِ اطْرَحِيهِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى نَحْوَ هَذَا قَضَبَهُ

“Dulu kami pernah berthowaf di Ka’bah bersama Ummul Mukminin (Aisyah), lalu beliau melihat wanita yang mengenakan burdah yang terdapat salib. Ummul Mukminin lantas mengatakan, “Lepaskanlah salib tersebut. Lepaskanlah salib tersebut. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat semacam itu, beliau menghilangkannya.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Ibnu Muflih dalam Al Adabusy Syar’iyyah mengatakan, “Salib di pakaian dan lainnya adalah sesuatu yang terlarang. Ibnu Hamdan memaksudkan bahwa hukumnya haram.”

Syarat kedelapan: pakaian tersebut tidak terdapat gambar makhluk bernyawa (manusia dan hewan).
Gambar makhluk juga termasuk perhiasan. Jadi, hal ini sudah termasuk dalam larangan bertabaruj sebagaimana yang disebutkan dalam syarat kedua di atas. Ada pula dalil lain yang mendukung hal ini.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki rumahku, lalu di sana ada kain yang tertutup gambar (makhluk bernyawa yang memiliki ruh, pen). Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau langsung merubah warnanya dan menyobeknya. Setelah itu beliau bersabda,

إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ الذِّيْنَ يُشَبِّهُوْنَ ِبخَلْقِ اللهِ

Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah yang menyerupakan ciptaan Allah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan ini adalah lafazhnya. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, An Nasa’i dan Ahmad)

Syarat kesembilan: pakaian tersebut berasal dari bahan yang suci dan halal.

Syarat kesepuluh: pakaian tersebut bukan pakaian kesombongan.
Syarat kesebelas: pakaian tersebut bukan pakaian pemborosan .

Syarat keduabelas: bukan pakaian yang mencocoki pakaian ahlu bid’ah. Seperti mengharuskan memakai pakaian hitam ketika mendapat musibah sebagaimana yang dilakukan oleh Syi’ah Rofidhoh pada wanita mereka ketika berada di bulan Muharram. Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa pengharusan seperti ini adalah syi’ar batil yang tidak ada landasannya.

Inilah penjelasan ringkas mengenai syarat-syarat jilbab. Jika pembaca ingin melihat penjelasan selengkapnya, silakan lihat kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Kitab ini sudah diterjemahkan dengan judul ‘Jilbab Wanita Muslimah’. Juga bisa dilengkapi lagi dengan kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah yang ditulis oleh Syaikh Amru Abdul Mun’im yang melengkapi pembahasan Syaikh Al Albani.

Terakhir, kami nasehatkan kepada kaum pria untuk memperingatkan istri, anggota keluarga atau saudaranya mengeanai masalah pakaian ini. Sungguh kita selaku kaum pria sering lalai dari hal ini. Semoga ayat ini dapat menjadi nasehatkan bagi kita semua.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)

Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua dalam mematuhi setiap perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya.

Alhamdullillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat.

Rujukan:
1. Faidul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Al Munawi, Mawqi’ Ya’sub, Asy Syamilah
2. Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al Islamiyah-Amman, Asy Syamilah
3. Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh ‘Amru Abdul Mun’im Salim, Maktabah Al Iman
4. Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, Ibnul Jauziy, Darun Nasyr/Darul Wathon, Asy Syamilah
5. Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com