nasehat tarbiyah islam – kumpulan nasehat tarbiyah – kumpulan tausiyah islam

—————————
nasehat tarbiyah islam – kumpulan nasehat tarbiyah – kumpulan tausiyah islam
————————–

Demokrasi Ikhwan Bersimbah Darah Umat Islam (1)
Melanjutkan dua artikel sebelumnya:

Julukan “Wahabi”… dan Rasulullah & Para…

Nukilan

… Para pemuda sekarang mengira bahwa para ulama tidak menasehati para penguasa. Siapa bilang mereka tidak menasehati. Para penguasa bukanlah anaknya para ulama.
Anda sekarang, misalnya. Isteri di rumahmu di bawah kekuasaan anda. Aku menantang mereka yang mengatakan: “Tegakkan daulah Islamiyah!” Aku menantang! Menantang apakah ada da’i mereka yang tidak ada kemunkaran di rumahnya?
Demi Allah, yang tiada sesembahan yang haq kecuali Dia. Aku menantang! Ini tantangan bagi mereka. Kalau ada orang yang memiliki Partai Islam, kita datangi rumahnya. Apakah rumahnya sudah Islami, ternyata rumahnya tidak Islami. Anda akan dapati isterinya tidak berhijab. Kau dapati televisi di rumahnya, nyanyian, musik, anak-anaknya merokok, diberitahu bahwa anak perempuannya pergi ke diskotik. Dia akan berkata: “Aku tidak mampu. Demi Allah aku tidak mampu.” Anak perempuanmu sendiri kamu tidak mampu? Bagaimana Daulah Islamiyah kamu mampu?!
…Kalian tahu gembong terbesar dari kalangan Ikhwan di Turki sekarang adalah Erbakan, dia memerintah selama enam bulan. Kita tanyakan pada mereka, apakah dia menginginkan perbaikan atau tidak? Mereka akan berkata: ‘Tentu dia menginginkan kebaikan.” Lalu, mengapa dia tidak berbuat? Mereka berkata: “Ia tidak mampu.”
Baik, sekarang kamu memberikan alasan tentang Erbakan bahwa dia tidak mampu. Mengapa kalian tidak memberikan pembelaan yang sama kepada para penguasa yang lain? Apakah karena dia termasuk kelompokmu dan yang lain tidak? Apakah orang yang tergabung dalam partaimu kamu maklumi, dan yang di luar tidak kamu maklumi?
Demi Allah, sebagian mereka datang ke Madinah, kemudian berkata: “Lihatlah! Bagaimana orang-orang di sini menjual kaset-kaset lagu, menjual ini dan itu?!”
Ya. Mereka salah. Menjual lagu-lagu musik, salah. Membiarkan di televisi-televisi, salah. Tapi mungkin mereka tidak mampu (menghambatnya). “Lalu, bagaimana mereka tidak mampu?!” Katanya.
Mengapa Erbakan menjual khamr di negerinya, mengapa zina di negerinya diresmikan dengan kartu? Yang memiliki surat tersebut, dia boleh berzina dan yang tidak memiliki, tidak diizinkan? Demikian dalam UUD-nya. Dan bapaknya tidak dapat berbicara satu kalimatpun.
Mengapa di Turki tidak ditegakkan hukum-hukum had yang syar’i. Walaupun hanya satu jenis hukum had? Mereka berkata: ‘Tidak mampu.” Mereka tidak mampu dalam perkara-perkara pokok. Sedangkan di sini tidak mampu dalam perkara-perkara cabangnya?!
Seseorang yang tidak mampu memimpin rumah tangganya, bagaimana ia akan memimpin manusia yang jumlahnya jutaan? Wahai saudaraku, bagaimana ia akan mengaturnya?

Pengantar
Di dalam sebuah buku susunan Farid Nu’man al Ikhwani ( Al Ikhwan Al Muslimun Menzalimi Anugerah Allah) terbitan Pustaka Nauka tahun 2003 tertulis:
“Kaum muslimin yang mengharamkan demokrasi memahaminya sebagai bentuk pemerintahan rakyat dengan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Adapun di dalam Islam, kedaulatan tertinggi di tangan Allah Swt, bukan manusia: La Hukma Illa Lillah. Itu adalah perkataan yang benar, tetapi konteksnya tidak tepat. Tidak ada satu pun aktivis Islam yang berbicara demokrasi dan mengambil manfaatnya benar-benar meyakini kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Sama sekali tidak terlintas dalam pikiran mereka pemahaman seperti itu. Setiap muslim, apalagi mufti (pemberi fatwa) harus bertindak hati-hati dalam memberikan penilaian…Jika kita belum mengetahui betul masalah yang dihadapi, bertanyalah kepada ahlinya –dalam hal ini, pakar atau pengamat politik.” (Al Ikhwan…, hal. 39)
Saudaraku rahimakumullah, (ketika anda berbicara demokrasi) bisakah anda membayangkan bahwa sebuah berhala demokrasi dapat ditegakkan tanpa suara terbanyak? Di alam demokrasi apakah anda hendak memungkiri bahwa lelaki, wanita, para banci, si pandai, si ‘alim, si bodoh, rakyat jelata, orang-orang awam memiliki kedudukan yang sama? Bukankah mereka semuanya dilibatkan ketika memilih “seseorang yang mengurus dan mengatur urusan mereka”? Memilih pimpinan mereka berdasarkan suara terbanyak? Siapa yang memilih? Apakah Ahlul Halli wal Aqdi yang memilih mereka? Tidak, suara rakyat terbanyaklah yang menentukan kemenangan demokrasi!
Inilah esensi dari “kedaulatan tertinggi di tangan rakyat”. Kedaulatan tertinggi bukanlah kebenaran. Kedaulatan tertinggi bukan pula ditentukan oleh para “pakar politik” seperti ajakan Farid al Ikhwani untuk merujuk kepada mereka.
Jadi, sesungguhnya tidaklah berfaedah sama sekali ketika Ikhwani ini mengucapkan: “Tidak ada satu pun aktivis Islam yang berbicara demokrasi dan mengambil manfaatnya benar-benar meyakini kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Sama sekali tidak terlintas dalam pikiran mereka pemahaman seperti itu” (ibid, hal. 39) karena lisanul hal-nya telah mendustakan pengingkaran tersebut. Lisanul hal Ikhwani ini telah membenarkan bahwa demokrasi adalah “wadah masyarakat” untuk memilih pemimpin. Dengan cara bagaimana? Voting, suara terbanyak (baca: kedaulatan tertinggi di tangan rakyat). Itulah pemimpin pilihan rakyat.
Bukankah ini yang sesungguhnya menjadi esensi demokrasi sebagaimana tulisan anda sendiri:
“Esensi demokrasi, terlepas dari berbagai definisi dan istilah akademis, adalah wadah masyarakat untuk memilih seseorang mengurus dan mengatur urusan mereka. Pimpinannya bukan orang yang mereka benci, peraturannya bukan yang mereka tidak kehendaki, dan mereka berhak meminta pertanggungjawaban penguasa jika pemimpin tersebut salah. Mereka pun berhak memecatnya jika menyeleweng, mereka juga tidak boleh dibawa ke sistem ekonomi, sosial, budaya, atau system politik yang tidak mereka kenal dan tidak mereka sukai. Jika demikian esensi demokrasinya, di mana letak pertentangannya dengan Islam? Mana dalil yang membenarkan anggapan itu? Siapa saja yang mau merenungi esensi demokrasi, pasti akan mendapati kesamaannya dengan prinsip Islam.” (ibid, hal.40)
Ya subhanallah, engkau –wahai Ikhwani—masih pula bertanya di mana letak pertentangannya dengan Islam? Apakah kepakaranmu di dalam bidang politik kekuasaan telah menutupi kemuliaan ayat-ayat di dalam Al Qur’anul Karim yang membedakan antara muslimin dengan kafirin dan munafiqin? Membedakan antara orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang awam? Membedakan antara orang pandai dengan orang bodoh? Membedakan antara orang yang berakal dengan orang yang tidak berakal? Membedakan antara lelaki dengan wanita?
Wahai Ikhwani, sungguh jahat dan menyesatkan ketika engkau meyakini dan mendakwahkan bahwa “Siapa saja yang mau merenungi esensi demokrasi, pasti akan mendapati kesamaannya dengan prinsip Islam”.
Wallahi seorang a’alim lebih tinggi derajatnya di sisi Islam daripada awam. Islam tidak menyamakan kedudukan antara seorang muslim dengan orang kafir! Dan engkau meyakini bahwa dirimu (yang muslim ini) memiliki kedudukan yang sama dengan orang-orang kafir itu di alam demokrasi yang sedang engkau perjuangkan?
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan dirimu dengan keIslamanmu, hanya sayang engkau telah memilih (untuk menghinakan dan merendahkan dirimu sendiri) sederajat dengan orang-orang kafir itu. Lebih parah lagi, engkau telah menghinakan dan merendahkan kemuliaan Islam dengan esensi (sesat) demokrasimu. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Maka “Siapa saja yang mau merenungi esensi demokrasi, pasti tidak akan mendapati kesamaan apapun dengan prinsip Islam”.
Tidak cukup itu, betapa dahsyatnya kelancangan si Ikhwani ini ketika menyatakan bahwa ‘Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anhu telah mengajarkan cara hidup berdemokrasi yang hakiki:
“Adapun saat menjadi khalifah, ‘Umar bin Khaththab Ra pun pernah berkata, “Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada orang yang mau menunjukkan aibku kepadaku.”
Beliau berkata pada kesempatan yang lain, “Hai sekalian manusia! Siapa diantara kalian yang melihat kebengkokan pada diriku, hendaklah dia meluruskanku!” Kemudian, ada salah seorang yang menjawab, “Demi Allah, wahai putera al Khatthab! Jika kami melihat kebengkokan pada Anda, kami akan meluruskannya dengan pedang kami.”
“Pernah pula ada seorang wanita yang meluruskan kekeliruan ‘Umar tentang mahar wanita, tetapi ‘Umar tidak menganggapnya sebagai bentuk merendahkan harga dirinya. Beliau justru berkata, “Benar wanita itu dan ‘Umar yang salah” (meski para ulama hadis masih mempersoalkan kesahihan riwayat dua cerita itu).
Kita dapat melihat betapa pemuka-pemuka umat itu telah mengajarkan cara hidup berdemokrasi yang hakiki…Dengan demikian, Anda boleh mengatakan, “Inti demokrasi berdekatan dengan ruh syura’ Islam. Demikian itu menurut Qaradhawy.” (Al Ikhwan…, hal.42, 43)
Baca bukti kesesatan ucapan di atas dalam artikel di bawah ini:
http://salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=644
Itulah kelancangan mereka yang luar biasa. Ingkarul munkar (terhadap pemimpin) di dalam Islam tidak ada kaitannya sama sekali dengan esensi demokrasi yang didengungkan dan dibelanya! Bahkan hal ini adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk menasehati saudaranya yang melakukan kesalahan. Dan merupakan sebuah kewajiban pula bagi setiap muslim untuk merujuk kepada kebenaran, setinggi apapun kedudukannya. Akan tetapi dengan cara bagaimana dalam menasehati para pemimpin? Apakah berteriak-teriak di jalan-jalan, di depan khalayak masyarakat mengumbar dan membeberkan dosa-dosa dan kesalahan penguasa? Bukan, bukan menasehati penguasa yang mereka inginkan akan tetapi memprovokasi masyarakat agar tertanam kebencian terhadap para penguasanya sehingga memudahkan mereka dalam membenturkan masyarakat dengan penguasanya, mengalirkan darah rakyat! Kalau mereka memang sungguh-sungguh berkehendak untuk menasehati penguasa, meluruskan kesalahan-kesalahannya, tentulah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang akan menjadi teladan Ikhwanul Muslimin! Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan (artinya):
‘Barangsiapa yang hendak menasehati pemerintah dengan suatu perkara; maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima, makaitu (yang dinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh dia telah menyampaikan nasehat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasehati).”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Al-Haitsami dalam Al-Majma’ 5/229, Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah 2/522, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah 2/121. Riwayat ini banyak yang mendukungnya sehingga hadits ini kedudukannya shahih, bukan hasan apalagi dlaif sebagaimana sebagian ulama mengatakannya. Demikian keterangan Syaikh Abdullah bin Barjas bin Nashir Ali Abdul Karim (lihat Muamalatul Hukam fi Dlauil Kitab was Sunnah hal. 54). Dan Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Dzilalul Jannah fit Takhriji Sunnah 2/521-522.
Hadits ini adalah pokok dasar dalam menasehati pemerintah. Orang yang menasehati jika sudah melaksanakan cara ini, maka dia telah berlepas diri (dari dosa) dan pertanggungan jawab. Demikian dijelaskan oleh Syaikh Abdullah bin Barjas.
Bertolak dari hadits yang agung ini, para ulama salaf berkata dan berbuat sesuai dengan kandungannya. Di antara mereka adalah Imam Asy-Syaukani yang berkata (artinya): “Bagi orang-orang yang hendak menasehati imam (pemimpin) dalam beberapa masalah —lantaran pemimpin itu telah berbuat salah—, seharusnya ia tidak menempatkan kata-kata yang jelek di depan khalayak ramai. Tetapi sebagaimana dalam hadits di atas, bahwa seorang tadi mengambil tangan imam dan berbicara empat mata dengannya, kemudian menasehatinya tanpa merendahkan penguasa Allah. Kami telah menyebutkan pada awal kitab As-Sair. Bahwasanya tidak boleh memberontak terhadap pemimpin walaupun kedhalimannya sampai puncak kedhaliman apapun, selama mereka menegakkan shalat dan tidak terlihat kekufuran yang nyata dari mereka. Hadits-hadits dalam masalah ini mutawatir. Akan tetapi wajib atas makmur (rakyat) mentaati imam (pemimpin) dalam ketaatan kepada Allah dan tidak mentaatinya dalam maksiat kepada Allah. Karena sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (As-Sailul Jarar 4/556)
Lebih lengkap lihat pembahasan ini dalam artikel sebelumnya [Rasulullah & Para… ]dalam bab: Manhaj Salafus Shalih dalam Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar kepada Pemerintah.
Bagaimana pula dengan demokrasimu wahai Ikhwani? Bukankah demokrasi mengakui sistem riba? Bukankah demokrasi mengakui keberadaan para pezina, baik pelacur lelaki maupun pelacur wanita? Bukankah demokrasi mengakui eksistensi homoseks dan lesbianisme sebagai bagian tak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia untuk bebas melakukan berbagai tindak kesesatan, kekafiran, atheisme dan kebejatan moral? Bahkan di beberapa negara, demokrasi rakyatnya telah mencapai prestasi syaithaniyah luar biasa dalam melegalisasi aborsi serta perkawinan sesama lelaki dan sesama perempuan! Sesungguhnya dengan berhala demokrasi, rakyat berhak menentukan legalitas kebejatan moral yang mereka inginkan. Kalau mayoritas menginginkannya, apa mau dikata? Kalau minoritas seperti dirimu – wahai Ikhwani – menolak dan mengingkarinya maka engkau tidak konsekwen dengan demokrasi mayoritas yang sedang engkau jalani.
Wahai Ikhwani, engkaulah yang tidak memahami esensi demokrasi yang sesungguhnya yakni “kedaulatan tertinggi di tangan rakyat” ketika mengigau dengan tulisanmu:
“Pimpinannya bukan orang yang mereka benci, peraturannya bukan yang mereka tidak kehendaki, dan mereka berhak meminta pertanggungjawaban penguasa jika pemimpin tersebut salah. Mereka pun berhak memecatnya jika menyeleweng…”
Tentu “fiqhul waqi’mu” masih ingat dengan kisah perselingkuhan antara Presiden Clinton dengan Sekretaris (magang) Monica Lewinski di Amerika, negara demokrasi terbesar dan terhebat saat ini. Apakah Clinton dipecat karena perzinaan tersebut?Tidak, kenapa? Karena pimpinannya bukan orang yang mereka benci! Karena negara demokrasi bukanlah ditentukan oleh sekelompok kecil orang-orang pandai, cerdas dan bermoral (apalagi berilmu dan bertaqwa sebagaimana Ahlul Halli wal ‘Aqdi). Tetapi karena mayoritas (baca: demokrasi) rakyatnya menyukai permainan amoral semacam ini! Bukankah hal ini menjadi prestasi besar tersendiri bagi Ikhwanul Muslimin yang gigih berteriak-teriak anti Amerika-Israel, menyebut mereka sebagai The Great Terrorist and The Real Terrorist akan tetapi dalam masalah voting (baca: esensi demokrasi) malah mencarikan dalih-dalih pembenaran demokrasinya di dalam Al Qur’an dan Sunnah?
Sekali lagi, “Siapa saja yang mau merenungi esensi demokrasi, pasti tidak akan mendapati kesamaan apapun dengan prinsip-prinsip Islam yang sangat mulia.”
Walaupun telah memberikan catatan “meski para ulama hadis masih mempersoalkan kesahihan riwayat dua cerita itu” tetapi demikianlah hujjah si Ikhwani (dalam menyikapi penguasa) untuk bolehnya “meluruskannya dengan pedang kami (IM baca: memberontak, revolusi penggulingan kekuasaan)”!
Walaupun mereka sendiri yang menulis ucapan ‘Umar radliyallahu ‘anhu (Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada orang yang mau menunjukkan aibku kepadaku) tetapi inilah hujjah Ikhwani demi bolehnya demonstrasi dan agitasi politik, memprovokasi amarah dan emosi masyarakat dengan orasi daftar aib/dosa dan kesalahan penguasanya di depan rakyat jelata! Gulingkan, Turunkan dan….Pilih Aku!
Bukankah beberapa gelintir contoh “fiqhul waqi’” demokrasi seperti di atas adalah bukti yang memperolok-olokkan ayat-ayat Allah?
Maka bagi siapapun yang ingin menelaah lebih dalam dan lebih ilmiyah kebobrokan demokrasi, sistem parlemen dan pemilu silakan merujuk pada tulisan-tulisan dibawah ini:
http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=567
Inilah nasehat berharga bagi para pemuja demokrasi dan pemilu:
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=568
Demokrasi Yunani bukanlah majelis Syura Islami (1):
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=569
Demokrasi Yunani bukanlah majelis Syura Islami (2):
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=570
Benarkah igauan mereka bahwa demokrasi selaras dengan Islam?
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=571
Benarkah bahwa pemilu sudah ada di awal sejarah Islam?
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=572
Bolehkah mengambil sebagian sistem jahiliyyah demi “kemaslahatan” umat?
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=573
Benarkah pemilu merupakan masalah ijtihadiyah? http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=574
Benarkah pemilu merupakan mashalih al mursalah?
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=575
Pemilu hanya sarana untuk mengubah UU Sekuler menjadi UU Islami?
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=576

Telah datang pertanyaan kepada Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafidhahullah:
Apakah mengangkat (menunjukkan) kedhaliman-kedhaliman (penguasa) dan pengaduan-pengaduan ke hadapan masyarakat umum itu bagian dari sifat hikmah? Dan bagaimana cara yang benar dalam hal itu?
Jawab beliau hafidhahullah:
Mengangkat (menunjukkan) kedhaliman-kedhaliman dan pengaduan-pengaduan itu wajib kepada ulil amri (penguasa) langsung tanpa mengangkat dan mengadukannya ke hadapan masyarakat umum, karena hal itu menyelisihi manhaj Islam di dalam berhukum dan berpolitik, karena hal itu mau tidak mau akan menentang dan menyelisihi keteraturan undang-undangnya.
Maka tidak boleh seorangpun mengangkat dirinya sebagai rujukan umat, yang seharusnya mereka merujuk pada ulil amri (pemimpin dan penguasa). Karena sesungguhnya ini adalah permulaan keluar dari ketaatan kepada ulil amri, (artinya):
“Barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas baginya jalan petunjuk dan mengikuti selain jalannya kaum mukminin maka akan Kami palingkan ia ke mana dia berpaling dan akan Kami masukkan dalam jahannam. Dan jahannam itu ialah seburuk-buruk tempat kembali” (An Nisa’: 115).
Di dalam agama Islam itu tidak ada kekacauan dan berantakan, kekacauan dan berantakan itu hanya ada pada peraturan-peraturan orang-orang kafir dan munafik, sedangkan peraturan Islam itu teratur dan rapi, alhamdulillah. (Pertanyaan nomor 75 dari kitab Al Ajwibah Al Mufudah ‘an As ilati Manahij Al Jadidah).
Beliau juga ditanya:
“Apakah menyebarkan dan memenuhi hati umat (rakyat) dengan iri dan kedengkian kepada penguasa itu termasuk bagian dari upaya untuk menyatukan umat?”
Jawab beliau hafidhahullah:
“Menyebarkan dan memenuhi hati umat dengan kedengkian dan iri hati terhadap penguasa adalah perbuatan para perusak dan para pembuat fitnah. Mereka ingin menyebarkan kekacauan dan ingin memisahkan/melepaskan masyarakat Islam (dari para pemimpinnya).
Dahulu, orang-orang munafik sungguh telah berusaha seperti ini, ketika mereka ingin memisahkan umat Islam dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan (artinya):
“Jangan kamu memberi perbelanjaan kepada orang yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar” (Al Munafiqun: 7)
Maka usaha memisahkan penguasa dengan rakyat itu adalah merupakan bagian dari perbuatan orang-orang munafik dan para perusak di muka bumi ini. Yang mereka itu (artinya):
“Apabila dikatakan kepada mereka janganlah membuat kerusakan di muka bumi maka kereka menjawab, “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (Al Baqarah: 11)
Adapun orang yang menasehati para pemimpin umat Islam dan masyarakat Islam pada umumnya adalah kebalikan dari itu semua, yaitu dia berusaha agar para pemimpin mencintai rakyatnya dan agar rakyat mencintai pemimpinnya, berusaha menyatukan kalimat dan berusaha menjauhkan segala hal-hal yang mengantarkan kepada perselisihan.” (ibid, pertanyaan nomor 70).
Tetapi liciknya, untuk berkelit dari kebobrokan esensi demonstrasi dan demokrasi politik kekuasaan yang digelutinya, orang-orang Ikhwanul Muslimin berdalih dengan sebuah hadits “Sesungguhnya amal itu bergantung pada niat” (ibid, hal.47).
Demi niat untuk mendirikan Daulah Islamiyah dengan menggadaikan aturan-aturan agama. Khalwat/menyendiri antara lelaki dengan wanita yang bukan mahram tidak boleh, tetapi kalau khalwat bersama sama (demonstrasi dan duduk di parlemen) ya itu gak papalah, cuma sementara. Ibu-ibu demo memasak di depan ibu-ibu adalah kegiatan yang bagus, tetapi akan “lebih bagus lagi” kalau ibu-ibu dan anak-anak berteriak di jalan-jalan, unjuk spanduk dan unjuk gigi berdemonstrasi (bahasa politisnya: berjihad) memperjuangkan kepentingan umat (partainya, maksudnya). Yang penting kan niatnya baik dan mulia.
Inilah kisah Shahabiyun Jalil, Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu yang memasuki satu masjid di Kuffah. Kemudian beliau melihat di dalamnya terdapat halaqah-halaqah dan ditengah-tengah setiap halaqah terdapat tumpukan kerikil. Seluruh halaqah tersebut dikomando oleh seorang pemimpin. Ketika si pemimpin mengatakan, “Bertasbihlah seratus kali,” mereka bertasbih seratus kali. Ketika mengatakan, “Bertakbirlah seratus kali,” mereka bertakbir seratus kali.
Kemudian Ibnu Mas’ud berkata kepada mereka, “Wahai kaum, apakah kalian berada di atas millah yang lebih baik dari (millah) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah kalian memasuki pintu kesesatan?”
Mereka menjawab, “Wahai Aba Abdurrahman, demi Allah, kami hanya menghendaki kebaikan.”
Kemudian Ibnu Mas’ud mengatakan, “Berapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun tidak sampai kepadanya.” (Riwayat Ahmad dalam Az-Zuhd; Ad Darimi dalam Sunannya).
Demikianlah, ternyata tidaklah cukup hanya bermodal niat baik semata, tidak kalah pentingnya amalan tersebut haruslah bersesuaian dengan syariat yang mulia. Semoga saja kita dapat mengambil ibrah dari kisah di atas, tidaklah sebuah niat baik (bahkan berdzikir mengagungkan asma Allah) akan menjadi baik kecuali dilakukan dengan cara yang syar’i pula.
Perahu layar tidak akan berjalan di atas daratan
Adapun lelaki perempuan berteriak-teriak memperjuangkan tegaknya syariat Islam di jalan-jalan?
Bagaimana syariat bisa ditegakkan kalau mereka sendiri yang pertama kali memelopori demo menumbangkan syariat itu sendiri?
Bukankah ghadul bashar dan rasa malu adalah ciri orang-orang yang beriman? Ciri-ciri wanita yang mukminah? Tetapi kalau anda berteriak-teriak di jalanan sambil menundukkan pandangan memandang ke aspal jalan raya tentu ini bukan demonstrasi kepada pemerintah namanya, tetapi menuntut agar aspal yang mengabulkan teriakan anda. Tetapi…mana ada demonstran yang ghadul bashar sepanjang jalan?
Sekaligus untuk menepis fitnah murahan keberadaan “Salafi Bengis”, “Salafi Keras”, “Salafi Extreem” sebuah nama fiktif yang terpaksa dimunculkan oleh orang-orang paranoid karena tersingkapnya bukti-bukti kebengisan dakwah Ikhwanul Muslimin dan tokoh-tokoh pembesarnya, keakraban mereka dengan agama Syi’ah Rafidhah, demi ambisi politik kekuasaan yang tega (kalau perlu) mengorbankan darah kaum muslimin berceceran setelah dibenturkan dengan penguasa muslimnya.
Yang pasti, Salafi tidak pernah diajari mengkafir-kafirkan penguasa muslim, Salafi tidak pernah diajari memberontak pada penguasa muslim, Salafi tidak pernah diajari untuk menciptakan rasa takut dan kekacauan dengan cara meledakkan bom di sana sini di negeri-negeri muslimin, Salafi tidak pernah diajari berhala demonstrasi dan berhala demokrasi warisan orang-orang kafir untuk memperjuangkan Islam dan Salafi tidak pernah diajari untuk memprovokasi dan mengorbankan darah kaum muslimin yang dibenturkan dengan penguasa muslimnya demi ambisi syahwat kekuasaan da’i da’i politik.
Jika demikian, siapa sebenarnya yang terbukti buas dan bengis?
Saatnya kita membaca paparan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al Aqil mengenai Beda Antara Agitasi Politik Ikhwani yang berdarah darah dengan Manhaj Dakwah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harus menjadi Uswah. Kami tambahkan beberapa catatan kaki penting dengan keterangan “Tambahan ed.”

(Pembicara: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al Aqil Hafidhahullah)
Selengkapnya:
‘Amma Ba’du: Hadits Irbadl bin Sariyah adalah hadits yang sangat masyhur. Yang pada hakikatnya adalah wasiat yang disampaikan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya Radliallahu ‘anhum, dimana Irbadl Rahimahullahu dan Radliallahu ‘anhu berkata:
“Dari Abu Najih Al ‘Irbadl bin Sariyah radliyallahu ‘anhu dia bercerita: “Rasulullah Shallallahu “alaihi wa sallam menasehati kami dengan nasehat yang menyentuh, sehingga airmata berlinang dan hati tergetar. Maka kami berkata : Wahai Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan, maka berilah wasiat kepada kami!” Beliau bersabda: Saya wasiatkan kalian bertaqwa kepada Allah, mendengar dan ta’at, walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak. Dan sesungguhnya barangsiapa masih hidup di antara kalian maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang berada di jalan yang lurus dan mendapatkan petunjuk setelahku. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian, dan hati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru, karena sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah .” (HSR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi No. 2676, Ibnu Majah no. 42,43,44. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ no. 2546)
Sungguh hadits ini adalah hadits yang agung, dan sebagai kaum muslimin, saat jauh dari masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kita semakin butuh untuk kembali kepada ucapan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dalam ucapan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Saya berkata: “Setiap masa yang semakin jauh dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka semakin butuh untuk kembali kepada ucapan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab tidak ada keselamatan bagi kita di jaman ini kecuali dengan ucapan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah memberi kenikmatan kepada kita dengan diutusnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah telah menjelaskan kepada kita bahwa sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kita berada di dalam kesesatan yang nyata, (artinya):
“Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (Al Jumu’ah: 2).
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam diutus dalam keadaan bumi ini butuh pengutusan beliau melebihi kebutuhannya kepada cahaya matahari dan tetesan air dari langit. Karena urusan-urusan materi seperti udara, air, dan makanan, seandainya tidak didapatkan manusia maka kejadian paling besar yang akan terjadi adalah kematian. Musibah terbanyak dan terbesar yang akan menimpa manusia yang kehabisan udara, air dan makanan adalah dia akan mati.
Akan tetapi, Demi Allah, jika dia kehilangan cahaya yang turun kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia akan celaka di dunia dan di akhirat dan akan tersesat dengan kesesatan yang jauh, La haula wala quwwata ilia billahi.
Jika demikian, pada hakikatnya di masa ini, kita memiliki kebutuhan yang mendesak untuk meneliti dengan seksama petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Terlebih-lebih jika kita terjatuh pada perkara-perkara sulit dan samar. Kenapa kita menyusahkan diri dengan pikiran-pikiran kita, dengan mengimpor pendapat-pendapat dari sana-sini, mengambil pemikiran politik dari sana-sini, mengambil sosialisme, demokratisme, dan komunisme? Padahal firman Allah ‘Azza wa Jalla dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang pada keduanya terdapat petunjuk, cahaya dan kemenangan di dunia dan di akhirat, telah siap terhidang di tengah-tengah kita. Kenapa kaum muslimin meninggalkannya? Semua ini akibat kejahilan dan tidak menghormati Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya dan tidak mengenal besarnya nilai cahaya ini.
“Dan Kami berikan cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan ditengah-tengah masyarakat, apakah serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita.” (Al An’am : 122).
Yaitu barangsiapa yang tidak kembali kepada petunjuk Allah dan petunjuk Rasul-Nya maka dia di dalam kegelapan. Allah ‘Azza wa Jalla telah menjamin orang yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkan apa yang ada di dalamnya, tidak tersesat dan tidak celaka di akhirat. Allah berfirman:
“Lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. ( Thaha: 123-124) .
Umat Islam pada periode terakhir ini – sebagaimana dikatakan Imam Malik Rahimahullah – butuh kepada perbaikan: ‘Tidak akan baik akhir umat ini, kecuali dengan apa yang telah membuat baik generasi pertamanya.”
Sekarang kita mencela mereka, seperti kaum demokrasi atau orang-orang yang berhukum kepada thaghut, kita mencela mereka karena mereka mengimport undang-undang buatan Perancis. Mereka tidak memotong tangan pencuri, merajam pezina, dan mencambuk peminum khamar. Kita katakan : “Kalian telah bersalah dengan mendatangkan undang-undang buatan ini.”
Demikian pula kita sekarang, bahkan para da’i Islam, telah taqlid kepada orang-orang Barat dalam menyelesaikan perkara-perkara yang sangat penting. Mereka akhirnya memiliki partai-partai politik, mengadakan pemilu dan memasukkan orang-orang awam dalam permasalahan yang cukup berbahaya. Orang-orang awam – menurut Ahlus Sunnah-tidak ada peranan bagi mereka dalam perkara-perkara penting, baik dari dekat maupun dari jauh.
Umar Radliyallahu ‘anhu membedakan dalam perkara-perkara penting. Beliau tidak bermusyawarah kecuali kepada tokoh-tokoh besar shahabat. Beliau bermusyawarah dengan pengikut Baitur Ridwan[1] atau bermusyawarah dengan pengikut Badr, padahal jumlah sahabat yang lain beratus-ratus ribu orang. Umar Radliyallahu’anhu pernah mendengar sebuah ucapan di Makkah sehingga ia ingin mengumpulkan seluruh manusia. Maka Abdullah bin Mas’ud mencegah dia dan berkata: “Jangan engkau berbicara pada musim haji ini.” Musim haji ini dihadiri oleh orang tua, anak kecil, Arab gunung, orang jahil, pelajar, sehingga bisa jadi ucapanmu dinukil dengan keliru. Jika engkau telah kembali ke Madinah maka kumpulkanlah pengikut Bai’at Ridlwan, Ahlul Halli wal Aqdi (orang-orang pemerintahan, ulama dan tokoh-tokoh masyarakat, pent). Sesungguhnya yang pantas berbicara dalam urusan-u usan yang sulit dan pelik hanyalah Ahlul Halli wal Aqdi. Merekalah yang diajak berbicara. Ucapan merekalah yang berpengaruh. Merekalah yang memilih pemimpin. Jika kita ingin mengambil seorang pemimpin atau kepala, maka yang berkumpul adalah Ahlul Halli wal Aqdi.
Lihatlah! Kepada bai’at Abu Bakr As Siddiq Radliyallahu ‘anhu. Sekelompok dari kaum Anshar dan kaum Muhajirin berkumpul. Kemudian berdirilah Umar di hadapan orang banyak dan berkata: “Bentangkanlah tanganmu, aku akan membai’atmu.” Maka Abu Bakar mengulurkan tangannya kemudian Umar membai’atnya sendirian. Umar adalah Ahlul Halli wal Aqdi dan tidak ada seorang pun sahabat radliyallahu ‘anhu yang berbicara, mereka pun akhirnya membai’at Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar memilih Umar radliyallahu ‘anhu ketika itu. Abu Bakar adalah ahlul halli wal ‘aqdi dan juga orang-orang yang seperti Abu Bakar radliyallahu ‘anhu. Kemudian Umar menjadikan ahlul halli wal ‘aqdi enam orang, kemudian berkurang menjadi tiga yaitu Abdurrahman bin Auf radliyallahu ‘anhu, Ali bin Abi Thalib radliyallahu ‘anhu dan Utsman bin Affan radliyallahu ‘anhu, kemudian menjadi satu, yaitu Abdurrahman bin Auf radliyallahu ‘anhu. Dia membai’at siapa? Dia kemudian membai’at Utsman bin ‘Affan radliyallahu ‘anhu dan seluruh umat meridlainya.
Maka ketika orang-orang awam masuk dalam permasalahan-permasalahan yang sensitif ini, terpecahlah pintu fitnah. Ketika para pemuda masuk dalam masalah-masalah ini, apa yang dilakukan oleh mereka? Mereka membunuh ‘Utsman Radliyallahu ‘anhu. Karena umat tidak mengerti. Dalam hati mereka tidak ada kasih sayang, mereka tidak mendudukkan perkara yang berbahaya ini sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya Shallallahu “alaihi wa sallam. Ketika rakyat jelata dan orang-orang awam masuk dalam perkara-perkara yang sensitif, dalam kancah politik ini, maka yang pertama kali kita dapatkan dari mereka adalah pembunuhan ‘Utsman Radliyallahu ‘anhu. Kemudian datanglah orang Arab gunung dari segala penjuru, sehingga para shahabat Radliyallahu ‘anhu terpaksa membersihkannya.
Setiap kali api fitnah padam, orang-orang gembel dan rakyat jelata itu menyalakannya kembali, seperti penduduk Harura[2] dari Irak, orang-orang kampung Jazirah dan selain mereka. Ketika api fitnah antara ‘Ali Radliyallahu ‘anhu dan Mu’awiyah Radliyallahu ‘anhu padam, siapa yang menyalakan kembali? Rakyat kecil dan orang-orang jahil. Inilah yang terjadi sekarang di umat ini.
Demi Allah, telah terjadi pada umat ini, para pemuda yang tidak memiliki ilmu syar’i, menghakimi. Seandainya engkau bertanya tentang rukun shalat, dia tidak akan mampu menjawab. Dia tidak mengetahui rukun-rukun shalat. Demi Allah, dia tidak mengetahui rukun-rukun wudhu’. Tetapi bersama itu, dia berbicara tentang nasib 800 juta manusia. Engkau berbicara tentang nasib 800 juta muslim sedang engkau tidak mengetahui bersuci dengan wudhu? Perkara yang sangat aneh.
Ketika orang-orang awam masuk dalam perpolitikan, mereka membunuh ‘Utsman Radliyallahu ‘Anhu. Kemudian terjadilah peperangan antara ‘Ali dan Mu’awiyah Radliyallahu ‘Anhumna. Dan setiap kali api fitnah mulai padam, mereka menyalakannya lagi. Yang terpenting dari pembicaraan kita; Bahwa sekarang kita sangat butuh untuk kembali kepada Sunnah Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika kita tidak kembali kepada Sunnah Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kita telah meninggalkan berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan kita telah berhukum kepada Thagut.
Mereka berkata : “Kami tidak menginginkan berhukum kepadaThagut”
Kita katakan: “Kalianlah yang pertama kali berhukum kepada Thagut, karena kalian menghidupkan dan membuat-buat kebid’ahan yaitu bid’ah kepartaian dan memecah belah umat, dan mengajak orang-orang awam untuk memilih pemimpin.” Apakah orang-orang awam dapat memilih pemimpin negara? Bagaimana memahamkan orang awam? Seorang awam hanya tahu membeli roti, membeli beras, mungkin dia mengetahui dan mungkin tidak mengetahui. Adapun orang awam meletakkan seorang pemimpin negeri, kemudian menentukan perkara yang berkaitan dengan kehormatan dan darah kaum muslimin. Yang berhak meletakkan seorang pemimpin negara adalah Ahlul Halli wal Aqdi, bukan orang awam.
Yang terpenting, kita mengatakan kepada seluruh da’i kaum muslimin: “Bertaqwalah kalian kepada Allah, bertaqwalah kepada Allah dalam perkara darah kaum muslimin, kehormatan kaum muslimin. Jika kalian menginginkan perbaikan, sesungguhnya tidak akan memperbaiki umat ini kecuali dengan apa yang telah menjadikan baik generasi awal.
Dan saya duduk di rumahku, mengajari seseorang satu ayat dari Kitabullah lebih baik bagiku daripada menceburkan diri ke dalam kekacauan ini. Karena – demi Allah -, yang demikian tidak termasuk dalam Islam sedikitpun. Dan barangsiapa yang memasukinya, demi Allah, sesungguhnya kerugiannya lebih besar daripada kebaikannya, bahkan tidak ada kebaikannya sama sekali. Kenyataan yang terjadi dapat menjadi saksi. Kenyataan yang terjadi pada kaum muslimin membuktikan hal ini. Yang pertama kali kita minta dari para da’i Islam adalah kembali kepada petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak takabbur. Sangat di sayangkan, da’i-da’i Islam pada hari ini ditimpa kesombongan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan kepada kaum muslimin, tetapi, – demi Allah -, mereka ditimpa kesombongan atas petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita katakan : “Tinggalkanlah kekacauan ini dan kembalilah kepada petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Seakan-akan mereka egois, seakan-akan mereka tidak butuh petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atau seakan-akan mereka mengatakan, – bukan menurut ucapan mereka -: “Ini adalah perkataan yang kuno…” Sekarang dunia telah berubah, sekarang masa demokrasi, sosialis, komunis, kepartaian dan seterusnya.” Seakan-akan petunjuk Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak cocok bagi setiap jaman dan tempat. Kita berlepas diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla dari mereka. Petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam cocok untuk penduduk Arab gunung Jazirah, cocok untuk penduduk Persia, cocok untuk penduduk Romawi, cocok untuk setiap jaman dan tempat. Sampai-sampai Isa. ‘Alaihi wa sallam ketika turun (ke dunia), dia berhukum dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya):
“Demi yang diriku ditangan-Nya, jika seandainya Musa bin Imran hidup di tengah-tengah kalian, maka tidak lapang bagi dia kecuali dia mengikutiku.”
Jika demikian, kita tinggalkan takabbur dan kita tawadlu/tunduk kepada Rasulullulah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mempelajari sunnah beliau. Sesungguhnya tidak akan baik akhir umat kecuali dengan apa yang telah membuatbaikgenerasi awalnya. Ini yang pertama.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa termasuk mu’jizat beliau, adalah beliau menerangkan kerusakan yang akan terjadi pada umat beliau. Sudah 1400 tahun yang lalu beliau menerangkan kerusakan itu. Para sahabat waktu itu berkumpul pada satu orang pimpinan. Beliau berkata (artinya): “Kerusakan menimpa kalian dari dua pintu, boleh jadi karena meninggalkan ketaatan kepada Allah atau meninggalkan ketaatan pada orang yang memimpin kalian.”
Kerusakan ini akan terjadi dari dua pintu, boleh jadi karena meninggalkan taat kepada Allah. Beliau bersabda (artinya): “Saya wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah.” Dan masalah taat kepada Allah telah kalian pahami, tidak perlu diterangkan secara rinci. Atau point kedua, yaitu meninggalkan ketaatan pada penguasa, beliau bersabda (artinya): “Wajib atas kalian mendengar dan taat.”
Engkau lihat kerusakan itu? Kalian lihat? Yaitu meninggalkan ketaatan kepada Allah. Inilah yang terjadi sekarang di alam ini. Bisa jadi karena meninggalkan ketaatan pada Allah atau para pemuda yang memiliki semangat agama tetapi kemudian meninggalkan ketaatan pada para penguasa. Tentunya dalam perkara ma’ruf yang diperintahkan Allah, sebagaimana kalian ketahui.
Ketaatan itu memang diperintahkan dalam perkara ma’ruf. Jika dia (penguasa,ed) memerintahkan berzina, jangan dilaksanakan. Sesungguhnya ketaatan itu dalam perkara ma’ruf. Tetapi intinya, jangan engkau berusaha meruntuhkan/menghilangkan kekuasaan dari ahlinya. Akan tetapi para pemuda itu telah bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan bermaksiat kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka ingin menjadikan diri-diri mereka sebagai penguasa. Kekuasaan! kekuasaan sangat penting sekali, menurut mereka.
“Dua serigala yang lapar menguasai kambing-kambing tidaklah lebih berbahaya dari pada seorang yang lebih mencintai kedudukan dan kekuasaan terhadap agamanya”. Yakni, seandainya manusia memiliki kambing di kandang, kemudian dimasuki oleh dua ekor serigala, bukan satu serigala. (Padahal) anda tahu serigala itu sangat jahat sekali. Jika masuk kandang kambing, dia tidak hanya membunuh satu kambing saja. Tidak! Dia akan membunuh sepuluh ekor kambing.’Dia makan satu ekor kemudian pergi. Kenapa? Karena pemilik kambing akan membuangnya di jalan, sehingga (serigala) itu bisa memakannya besok, dua hari kemudian, dan tiga hari kemudian. Bisa anda bayangkan, jika dua ekor serigala ini datang ke satu kandang kambing tentu akan membinasakan seluruh kambing di kandang tersebut
Inilah yang terjadi pada para pemuda di dunia Islami sekarang ini, mereka merasa besar, masing-masing ingin menjadi penguasa. Masya Allah, semuanya menginginkan menjadi raja, semuanya ingin menjadi pemimpin. Mereka mencintai kemuliaan dan kedudukan. Kita mohon kepada Allah ampunan dan keselamatan atas agama mereka.
Beliau bersabda (artinya):
“Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah dan mendengar dan taat.”
Menakjubkan! Beliau tidak berkata: “Aku wasiatkan kalian dengan bertauhid dan shalat”. Ini termasuk jawami’ul kalim yaitu ucapan-ucapan yang ringkas dan padat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ucapan beliau : “Aku wasiatkan kalian bertaqwa kepada Allah”, terkandung di dalamnya melakukan seluruh apa yang diperintahkan Allah ‘Azza wa Jalla dan meninggalkan segala larangan-Nya Subhanallahu wa Ta’ala, (termasuk tauhid dan shalat, pent)
Baik, bukankah termasuk bertaqwa kepada Allah adalah ta’at kepada penguasa? Ya. Termasuk bertaqwa kepada Allah adalah ta’at kepada penguasa, karena ia merupakan perintah Allah ‘Azza wa Jalla. Kenapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyendirikannya? Karena pentingnya masalah ini bagi jama’ah kaum muslimin. Karena barangsiapa merebut kekuasaan dari ahlinya, akan merusak masyarakat.
Kita contohkan dari kenyataan umat, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dalam kitabnya “Minhajus Sunnah An Nabawiyah”, mengumpulkan penyebab-penyebab kelemahan umat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari awal pertama.
Beliau berkata: “Yaitu merebut kekuasaan (dari) pemegangnya”. Dari hari pertama, beliau berbicara tentang kejadian yang terjadi pada Al Husain ‘alaihi sallam dan terbunuhnya beliau oleh tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah.
Syaikhul Islam berkata: “Apa faedah yang kembali kepada umat ini?”
Tidaklah kembali kepada umat ini kecuali pertumpahan darah dan terbunuhnya cucu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau ingin kembali, tetapi tentaranya menolak. Maka yang terjadi adalah fitnah yang besar.
Kemudian terjadilah peristiwa Harrah[3], darah mengalir di kota Madinah karena peristiwa Harrah. Dan kemudian setelah itu banyak kejadian. Di antaranya terbunuhnya Abdullah bin Az Zubair oleh Al Hajjaj. Dia menyalibnya di Makkatul Mukarammah dan penghancuran Ka’bah. Apa penyebabnya, wahai saudaraku fillah? Semuanya adalah karena merongrong kekuasaan dari pemegangnya.
Kemudian apa yang terjadi antara kelompok Umawiyyin (Keturunan Umayyah yang mendirikan Daulah Umayyah), hingga datangnya Abdul Malik bin Marwan dan mendirikan pemerintahan Daulah Umawiyyin. Kemudian perbuatan kaum Alawiyyin, setiap hari memberontak, sehingga tertumpahlah darah ratusan ribu manusia, hingga berhasilnya revolusi Abu Muslim Al Khurasani dan kaum Alawiyyin memegang pemerintahan yang akhirnya dia juga terbunuh. Kemudian kekuasaan diambil oleh Abbasiyyun (Keturunan Abbas yang mendirikan Daulah Abbasiyyah). Kaum Abbasiyyun menghamparkan fitnah pada kaum muslimin dan terbunuhlah ratusan ribu kaum muslimin di Damaskus.
Dikatakan, kekuasaan berawal ada di tangan kaum Umawiyyin kemudian pindah ke tangan kaum Abbasiyyin. Dan kaum Umawiyyin – dikatakan – lebih baik bagi kaum muslimin daripada kaum Abbasiyyin. Kaum Abbasiyyin mendekati kaum Persia dan membuat-buat kebid’ahan yang banyak, kalau saja tidak mengada-adakan kecuali
ilmu kalam, tentu sudah sangat besar. Baiklah…..seratus ribu muslim yang terbunuh, di bawah jaminan siapa mereka itu? Di bawah jaminan siapa? Seratus ribu muslim yang terbunuh. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memuji perdamaian dan tidak memuji peperangan/pertikaian. Beliau bersabda (artinya):
“Sesungguhnya cucuku ini adalah pemimpin.”(Karena mendamaikan dua pasukan, pent).
Padahal peperangan itu diikuti Aisyah – dalam Perang Jamal – Ali, Mu’awiyah, Abu Musa, Abdullah bin Az Zubair bin Awwam, dan beribu-ribu shahabat lainnya. Mereka semuanya, tidak mendapat pujian dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali terhadap Al Hasan. Padahal pada mereka ada kebaikan- kebaikan yang agung. Akan tetapi di sini, peranan Hasan lebih agung dari peranan mereka. Beliau bersabda (artinya):
“Sesungguhnya cucuku ini adalah pemimpin, dan Allah ‘Azza wa Jalla mendamaikan dengannya antara dua kelompok dari kaum muslimin yang saling bertikai.” (HR. Bukhari, no. 3746, Tirmidzi no. 3773, Abu Daud no. 4662 dan lihat Al Irwa’ no. 1597)
Syaikhul Islam bin Taimiyah Rahimahullah berkata : “Kenapa manusia marah kepada para penguasa?”
Beliau berkata: “Seluruh manusia marah kepada para penguasa karena dunia, jika mereka diberi dari dunia mereka ridla, dan jika mereka tidak diberi darinya, maka mereka mencari-cari kesalahan-kesalahan agama pada penguasa, dan membesar-besarkannya”. Kemudian mereka berkata : “Kami mengingkari kemungkaran”. Padahal “cinta dunia” ada di hati mereka, jika mereka diberi maka mereka diam”.
Ini adalah pelajaran tentang sejarah, semoga Allah memberkahi kalian. Baiklah, beliau rahimahullah berkata bahwa mereka marah karena dunia. Oleh karena itu para anggota partai-partai sekarang, jika mereka ingin pengumpulan dana untuk partai-partai mereka, yakni partai-partai agama, mereka mengumpulkannya dari orang-orang yang memiliki harta riba, para penjual khamr, orang-orang shaleh, orang-orang jahat, Bergabunglah dengan penguasa! Itu lebih baik bagi mereka. Baiklah, kenapa kalian berteman dengan mereka? (yakni ahlu riba, khamr dan lain-lain). Mereka menjawab: “Karena kepentingan dakwah”. Mereka kemudian diam dari kesalahan-kesalahan orang yang makan riba. Mereka diam tanpa ucapan/teguran terhadap orang yang menjual barang haram dan diam dari wanita yang berpakaian tapi telanjang, agar mereka menyumbangkan uangnya. Bagaimanakah pandangan kalian?
Demikian beliau berkata;
Tetapi jika mereka melihat kesalahan para penguasa, mereka membesar-besarkannya Tujuannya adalah dunia. Demi Allah seandainya kita mengekspresikan ucapan (Syaikhul Islam) itu pada kenyataan yang menimpa negeri-negeri Islam pada dewasa ini, niscaya kita menjumpai suatu keajaiban.
Sebagai contoh Somalia. Tidak ada lagi negeri Islam yang bernama Somalia. Demi Allah kami berjumpa dengan sebagian da’inya di rumah Syaikh Ubaid dan kami berkata kepada mereka: Bagaimana keadaan kalian? Mereka berkata : “Wahai sekiranya Ziyad Bari kembali, biarlah dia membunuh seratus orang muslim setiap hari”. Asal tetap ada penguasa kaum muslimin. Mereka berkata : “Dia dhalim, dia memerintah selama 23 tahun dan membunuh kurang lebih sepuluh ribu kaum muslimin”, Tetapi ketika dia jatuh, dalam 5 bulan terbunuh 500 ribu orang. Engkau lihat wahai saudaraku, yang meninggal 500 ribu manusia, meninggal dalam jangka lima bulan.
Kemudian di Ruwanda yang terbunuh adalah satu juta orang, Subhanallah!. Penguasanya adalah Bakr Abu Bakr. Ketika Abu Bakr – ini hanya nama permisalan – tidak ada, terbunuhlah jutaan manusia. Ini sebagai contoh. Jutaan?…Jutaan yang terbunuh. Bayangkan jutaan… jutaan… satu juta adalah setengah dari penduduk Saudi. Bayangkan di Makkah tidak tersisa seorangpun, di Madinah tidak tersisa seorangpun, di Jeddah tidak ada seorangpun. Sungguh menakjubkan…tiba-tiba, satu juta jiwa melayang karena tidak adanya seorang penguasa.
Hati manusia ditundukkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk bersatu pada seorang penguasa[4]. Demikianlah Allah menundukkannya! Jika lelaki atau pemimpin itu hilang maka dunia akan kacau. Dunia kacau, 500 ribu muslim terbunuh di Somalia dan hancurlah Somalia. Mereka menembak kambing-kambing dan kerbau-kerbau. Mereka merampas harta. Seorang muslim yang satu bertemu kaum muslim yang lain, seakan-akan diantara mereka ada permusuhan, semenjak seribu tahun yang lalu. Demi Allah hati mereka tidak memiliki kasih sayang lagi. Muslimin menyembelih kaum muslimin.

Selama 23 tahun, terbunuh 10 ribu jiwa. Apakah kita katakan ini adalah banyak? Ini sedikit sekali, 10 ribu jiwa… ini adalah jumlah para sahabat, dibanding dengan jumlah orang-orang jahat itu. Kami bertanya, dimana mereka para da’i? Orang itu berkata: “Semuanya lari, semuanya lari.” Karena mereka berbicara melawan penguasa, menentang penguasa,. Hingga runtuhlah penguasa. Kemarilah! Pimpinlah dengan apa yang kalian miliki di sisi kalian. Ternyata di sisi mereka tidak ada pengganti.
Jangan engkau menyatakan: “Kita meninggalkan bid’ah sementara tidak ada sunnah di sisimu”. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (artinya):
“Maka barangsiapa mengkufuri Thagut dan beriman kepada Allah” (Al Baqarah: 256).
Kita tidak hanya mengkafirkan Thaghut semata. Tidak, tetapi kita beriman kepada Allah. Tidak ada sembahan yang hak kecuali Allah.
Semestinya kalau engkau melarang dari bid’ah engkau mendatangkan Sunnah. Engkau sekarang melawan penguasa yang jelek menurut anggapanmu. Di manakah penggantinya? Kasihan… di sisi mereka tidak ada pengganti. Di sisi mereka hanya ada kitab Sayyid Qutb, mereka membagi-bagikannya dan mencetaknya[5]. Mereka menyangka bahwa dengan ucapan ini mereka akan menguasai negara. Bodoh! Demi Allah, mereka tidak ada akal, dalil dan kasih sayang terhadap kaum muslimin.
Kami pernah berjumpa dengan sebagian da’i Ikhwanul Muslimin dari Syiria di kota Madinah ini. Kami berkata: “Apa yang kalian dapatkan?” Telah terbunuh ratusan ribu jiwa. Ratusan ribu wanita dirobek-robek kehormatannya, kemudian kalian lari?” Mereka berkata : “Kami hanya mencoba”. Mencoba apa! Takutlah kepada Allah wahai saudaraku! Engkau mencoba-coba sementara yang terbunuh ratusan ribu orang, apakah kalian tidak memiliki akal? Apakah kalian tidak memiliki syari’at? Engkau mencoba sementara ratusan ribu orang dibantai? Khalid bin Al Walid memiliki 3000 pasukan dalam Perang Mu’tah melawan 200 ribu pasukan musuh, beliau tidak mengatakan : “Aku mencobanya[6]”. Sunnah kauniyah (takdir Allah) mesti terjadi. Nabi Shalallallahu ‘alaihi wa Sallam menghabiskan waktu sepuluh tahun di kota Mekkah. Beliau tidak berkata: “Saya akan mencobanya”. Padahal beliau lebih berani dari mereka jutaan kali lipat. Ketika beliau datang ke Madinah dan manusia menetap padanya dan telah memiliki daulah/negara, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (artinya):
“Telah diijinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena mereka dianiaya” (Al Hajj: 39)
Ketika Nabi Shalallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat bersama mereka ke Badr, beliau bermusyawarah dengan mereka dan menegaskan kepada mereka. Wahai manusia bermusyawarahlah bersamaku. Ketika orang-orang Muhajirin berbicara, beliau tidak menerima ucapan mereka. Karena yang menjadi sandaran adalah penduduk asli dan orang-orang Anshar. Maka tatkala orang Anshar berbicara, dada Nabi Shalallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi lapang dan berangkatlah beliau bertempur. Berapa kali beliau berdo’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan mengangkat kedua tangannya. Demikian sunnah kauniyah.
Kita bukanlah umat yang kacau. Kita adalah umat yang diatur oleh Kitab Allah dalam shalat, puasa dan jihad kita. Jika engkau menganggap bahwa yang demikian adalah jihad maka harus berjalan di atas Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun main-main dan kekacauan…?
Orang-orang Turki mencoba tapi tidak berhasil, orang-orang Aljazair mencoba tapi tidak berhasil, sedangkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berusaha dan berhasil. Kenapa beliau mencoba dan berhasil? Karena beliau berkata: “Kami tidak menginginkan kekuasaan”. Beliau – Muhammad bin Abdul Wahhab -, tidak mencalonkan dirinya menjadi Raja selamanya. Ketika beliau mendatangi Imam Muhammad bin Suud, beliau berkata: “Kerajaan untuk kamu, aku tidak menginginkannya.” Saya hanya mengajakmu kepada tauhid, maka hancurkanlah berhala-berhala dan kuburan-kuburan yang disembah! Maka Allah memulyakan keluarga Suud dengan dakwah beliau. Dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak pernah suatu hari pun berkata calonkanlah aku sebagai penguasa, selamanya. Seandainya beliau ingin mencari kekuasaan pada masa itu, mungkin dia mendapatkannya. Akan tetapi beliau tidak menghendakinya. Apa yang diinginkan dengan kekuasaan? Tujuan utama beliau adalah mendakwahi manusia untuk mengesakan Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh karena itu beliau berhasil. Beliau berhasil dengan beban yang sangat sedikit. Negaranya runtuh pada kali pertama, kemudian bangkit lagi pada kali kedua. Dan runtuh pada kali kedua dan bangkit lagi pada kali ketiga. Karena kekuasaan itu membawa bendera Laa ilaaha illallah. Setiap kali dia berpegang teguh dengannya maka semakin kuat. Dan setiap kali menjauh darinya maka akan melemah. Ini adalah sunnah kauniyah. Yang padanya Allah berfirman (artinya):
“Jika kalian menolong Allah, Allah akan menolong kalian dan mengokohkan kaki-kaki kalian.”(Muhammad:7)
Jika demikian, – berkaitan dengan kejadian ini -, kita katakan kepada mereka: “Bertakwalah kalian kepada Allah, kembalilah kepada kitab Allah dan Sunnah Nabi Shalallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada kenyataan”.
Kejadian Aljazair dalam penjelasan pers, PBB berkata: “Ada 65 ribu jiwa yang terbunuh”. Ucapan PBB ini adalah dusta. Jumlahnya berlipat kali dari ini. 65 ribu jiwa wahai saudaraku! 65 ribu muslim yang terbunuh. Apakah terjadi perubahan wahai saudaraku? Demi Allah yang terjadi justru lebih jelek. Semua orang mengatakan: “Bahwa keadaan ini lebih jelek”.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan, kita melihat tauladan kita Nabi Shalallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan sisa sedikit pun bagi kita, yakni Nabi Shalallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah, kemudian menyebutkan segala sesuatu di dekat hari kiamat. Akan mengetahui orang yang mengetahuinya dan tidak mengetahui orang yang tidak mengetahuinya.
Maka inilah wasiat yang agung, yang wajib diketahui oleh umat, beliau berwasiat:
“Aku wasiatkan agar kalian bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat”. Dan sesungguhnya barangsiapa hidup di antara kalian, maka akan melihat perselisihan yang banyak.”
Ikhtilaf yang terjadi sekarang banyak sekali. Bukankah begitu wahai saudara-saudaraku?! Perselisihan yang terjadi di antara kita, apakah dalam masalah aqidah ataupun politik, beliau bersabda : “Wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku”.
Maka generasi muda sekarang tertimpa kerancuan/kerusuhan dan kegilaan, – demi yang tidak adaTuhan yang berhak disembah kecuali Dia -, sungguh mereka ditimpa keadaan yang menyerupai kegilaan, generasi umat ini tertimpa dengannya. Mereka lupa makna Laailaha illallah, mereka lupa makna Muhammad Rasulullah, mereka lupa mempelajari makna-makna iman, menghapal Al Qur’an. Padahal kaum salaf rahimahumullah, memulai dengan menghapal Al Qur’an. Bahkan ada seseorang di antara mereka tidak melangkahi 10 ayat sampai dia mempelajari apa yang ada padanya dan mehgamalkannya. Mereka berkata: “Seseorang dari kami menghapal satu hadits atau dua hadits, kemudian terlihat aplikasinya pada keadaannya, ketenangannya, ketawadluannya dan kekhusyukannya.” Dia hanya menghapal satu hadits, kemudian tawadlu kepada Allah, khusyu kepada Allah. Hanya satu hadits. Sedangkan kita sekarang, semakin bertambah ilmunya semakin takabur. Ilmunya tidak terbangun di atas kaidah-kaidah salaf rahimahumullahu. Kaidah-kaidah salaf terkenal sebagai rahmat bagi umat ini. Sedangkan Mereka: “kami mencobanya,” 600 jiwa terbunuh. Mereka berkata: “Kami mencobanya” Hatinya keras, tidak punya perasaan. Apakah dia mencoba-coba?
Nabi Shalallaku ‘alaihi wa sallam pernah berdiri semalam suntuk berdo’a kepada Allah sambil menangis:
“Jika engkau mengadzab mereka maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu.” (Al Maidah : 118)
Sebagai rasa kasih sayang beliau (artinya):
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”(Ali Imran:159).
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorangRasul dari kalanganmu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At Taubah: 128).
Beliau pernah meninggalkan amalan yang disyariatkan karena takut. Jika diwajibkan atas umat ini. Beliau berbolak-balik antara Allah dan Musa, hingga Allah ‘Azza wa Jalla meringankan waktu sholat untuk kita.
Bagaimanakah dengan hati yang keras yang menimpa umat ini. Hanya pembunuhan, kekacauan, kehancuran. Padahal – demi Allah yang tidak ada sembahan yang hak kecuali Dia – ini adalah bentuk perbuatan-perbuatan orang-orang Khawarij, yang di hati mereka tidak ada sedikitpun rasa kasih sayang terhadap umat Nabi Shalallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun mereka membaca Al Qur’an, tetapi tidak melebihi tenggorokan mereka.
“Bapak mereka”[7] berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Berbuat adillah! Berbuat adillah wahai Muhammad!” Ketika bapak mereka berpaling/pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Akan keluar dari generasi orang ini beberapa kaum, kalian menganggap remeh bacaan kalian dibanding bacaan mereka, shalat kalian dibanding shalat mereka, puasa kalian disbanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an tidak melebihi tenggorokan-tenggorokan mereka, mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya.[8]” (HR. Muslim No. 1066)
Keras, kasar, ketus, tidak ada kasih sayang, tidak ada kelembutan terhadap kaum muslimin. Awal pertama terjadinya fitnah, mereka sudah memasukinya. Apa yang kalian inginkan? Apakah kalian ingin memperbaiki umat ini? Perbaikilah dirimu terlebih dahulu, mulailah memperbaiki dirimu dan berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Berkata salah seorang salaf pada tahun 400 H: “Hari ini adalah hari berdoa untuk umat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersabar.”
Padahal baru tahun 400 H, sedangkan kita pada hari ini – demi Allah – jika engkau menginginkan kebaikan untuk umat ini, berdoalah kepada Allah meminta kebaikan untuk umat ini dan bersabarlah.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabat – padahal beliau mengetahui bahwa mereka memiliki kemuliaan -: “Walaupun kalian dipimpin oleh hamba/budak Habsyi, seakan-akan kepala mereka adalah kismis[9],” Mereka adalah shahabat, sedangkan pimpinannya orang-orang Habsyi yang rendah?!. Dengarkanlah dalam sabda lain (artinya):
“Dengarkanlah dan taatlah, meskipun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu.” (HR. Muslim no. 1847 dari Hudzaifah lbnul Yaman radliyallahu ‘anhu)
Hingga walaupun dia mengambil harta kita, kita mendengar dan taat, selama mereka membiarkan engkau shalat. Mendengarlah dan taatlah selama mereka menegakkan shalat.
Sebagian pemuda beralasan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits:
“Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, dan engkau mempunyai bukti di sisi Allah.” (HR. Muslim no. 1709 dari ‘Ubadah bin Shamit radliyallahu ‘anhu)
Kita katakan benar. Ini adalah ucapan benar, akan tetapi padanya ada dua hal penting:
Pertama: “Kecuali kalian melihat kekufuran yang nyata”. Pembicaraan ini kepada siapa? Apakah arah pembicaraan kepada kalian wahai orang awam; yang kalian tidak mengetahui rukun-rukun wudlu’? Pembicaraan kepada siapa? Pembicaraan kepada shahabat radliyallahu ‘anhum dan bagi orang yang memiliki ilmu seperti ilmunya para shahabat. Kecuali kalian melihat kekufuran yang nyata, wahai ulama, wahai Rabbaniyyin. Jika para ulama Rabbaniyyun melihat bahwa ini adalah kufur yang nyata. Inilah hal pertama. Kufur yang nyata. Kufur yang nyata, dan kalian mempunyai bukti di sisi Allah. Tidak diterima, kecuali dilihat oleh para ulama rabbani yang memiliki kasih sayang terhadap umat, bahwa apa yang dilakukan oleh penguasa benar-benar kufur yang nyata dan mereka punya bukti di sisi Allah.
Yakni, saya tidak peduli jika engkau mengatakan 70% dari dunia Islam mengkafirkan Salafiyyin.
Baiklah, negeri kami ini adalah negara Salafiyyah. Jika datang seorang Asy’ari dan berkata bahwa negara kalian adalah negara kafir. Apakah kita membenarkannya? Dan jika datang seorang Syi’ah Rafidli dan berkata negeri kalian adalah negeri kafir. Apakah kita membenarkannya? Tidak! Wahai saudaraku!
Mereka berkata :”Kami telah berziarah kepada penguasa kalian dan kami jumpai mereka mengatakan bahwa Allah memiliki tangan. Ini adalah tasybih. Dan yang mentasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) adalah kafir.” Dan juga orang-orang Rafidli mengatakan bahwa penguasa kalian adalah orang-orang kafir. Dan juga orang-orang Khawarij mengatakan bahwa penguasa kalian adalah orang kafir. Apakah kita membenarkannya? Tidak! Kita katakan: “Kalian adalah ahli bid’ah”. Ucapan kalian jelek padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata”. Kita katakan: “Dilihat oleh para Ulama Rabbani, yang ilmu mereka dibangun di atas pemahaman Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman Salafus Shalih rahimahuHah”. Inilah kekufuran yang nyata. Inilah masalah pertama. Kalian melihat kekufuran yang nyata dan kalian mempunyai bukti di sisi Allah.
Kedua, masalah Maslahat dan Mafsadah. Di sana ada mashlahat sebelum Islam yang ditaqrir (di etujui) oleh Agama Islam. Beliau bersabda (artinya):
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia[10].” (Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Shahihah no. 45 dan Shahih Al Jami’ no. 2349)
Wahai saudaraku, demikian pula Islam datang untuk menolak kerusakan. Tidak ada seorangpun yang berakal. Seorang berakal di dunia ini berkata kepada kaum muslimin di Amerika : “Berontaklah!” Padahal jumlah mereka tidak sampai sejuta orang? Apakah ada orang berakal di dunia ini yang mengucapkan hal seperti itu? Dia tidak berakal. Karena jika mereka memberontak, orang-orang kafir akan membinasakannya, karena Sunnatullah Al Kauniyah belum tegak[11]. Wahai saudaraku, mereka semua itu – termasuk para da’inya yang mengharuskan memberontak di negeri-negeri Islamiyah – jika pergi ke Britania (Inggris), mereka tidak berbicara walaupun satu kalimat. Mereka pergi ke Amerika dalam keadaan diam, tidak berbicara satu kalimat pun. Orang-orang yang memberontak di Somalia, saya melihat dengan mata kepala sendiri, mereka di Britania diam, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Seakan-akan darah (orang-orang) Britania suci dan darah kaum muslimin Somalia najis, sehingga harus dibunuh?
Permasalahan maslahat dan mafsadah – wahai saudaraku – adalah permasalahan berbahaya. Syaikhul Islam rahimahullah dalam Iqtidla’ Shirathal Mustaqim berkata:
“Maslahat dan mafsadah ini tidak diketahui kecuali oleh ulama-ulama besar”.
Ulama-ulama besar berkata : “Sesungguhnya urusan ini, ada tiga perkara: manusia menyangka hanya ada maslahat dan mafsadah saja. Tidak!” perkara ini ada tiga perkara:
1. Maslahat yang rajih/kuat
2. Mafsadah yang rajih/kuat
Perkara ini jelas, maslahat yang kuat jelas dan mafsadah yang kuat jelas.
3. Akan tetapi ada perkara yang ketiga yang terkumpul padanya maslahat di satu sisi dan mafsadah di sisi lain.
Apakah engkau memerintahkan dengannya karena maslahat ataukah engkau melarangnya karena mafsadah? Beliau berkata : “Ini adalah perkara yang tidak diketahui kecuali oleh para ulama rabbani”.
Perkara maslahat dan mafsadah, Wahai saudaraku! Bukankah mati syahid termasuk maslahat? Tetapi mengapa Allah tidak mengijinkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memerangi penduduk Makkah, padahal mati syahid adalah mashlahat? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintai mati syahid dan seluruh shahabat radliyallahu ‘anhum juga mencintai mati syahid. Bahkan shahabat minta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengorbankan kemuliaannya[12] agar tidak dibunuh, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka. Dan turunlah firman Allah Ta’ala (artinya):
Kecuali orang-orang yang dipaksa padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa) “(An Nahl: 106).
Demi Allah, wahai saudaraku, bukankah mati syahid itu maslahat? Akan tetapi dakwah ketika itu baru tumbuh. Maslahat yang lebih kuat adalah dakwah terus berlangsung. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikat perjanjian bersama para penyembah berhala. Padahal mereka bukan ahli kitab (seperti) Yahudi dan Nashara. Tetapi bersama para penyembah berhala.
Dalam beberapa perkara mafsadah dan maslahat, akalnya Umar radliyallahu ‘anhu kacau/bimbang. Bagaimana dengan akal-akai kita yang bodoh. Pemuda-pemuda yang tidak mengetahui rukun-rukun wudlu berani mengatakan: Tidak. Ini adalah maslahat yang kuat. Padahal akal Umar radliyallahu ‘anhu yang digelari Al Muhaddatsul Mulham (Yang diberi Ilham), pemikirannya goncang dalam permasalahan maslahat dan mafsadah. Nah, .. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pegangilah ikatanmu”! (Tahanlah dirimu!).
Wahai saudaraku, ingat syarat yang jahat. Seorang menyerahkan diri (sebagai muslim) harus dikembalikan kepada orang-orang kafir?[13] Bagaimana dengan perbuatan semacam ini? Ini adalah kejahatan. Demi Yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia, sesungguhnya ini adalah kejahatan. Meskipun demikian, ketika Umar mengeluh, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya):
“Pegangilah ikatanmu (tahanlah dirimu), sesungguhnya aku adalah utusan Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan aku”.
Karena akalmu terbatas, wahai Umar. Adapun Nabi, tidak berbicara menuruti kemauan hawa nafsunya. Ucapannya tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. Jika engkau menyangka wahai Umar, bahwa ini adalah maslahat yang kuat, maka Allah lebih mengetahui dibanding kamu.
Oleh karena itu Umar berkata: “Wahai manusia curigailah akal (kalian) dengan agama ini, seandainya kalian melihat aku pada hari Abi Jandal[14]. Aku hampir binasa, aku hampir menolak kitab Allah dengan akalku.” (Disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya (4/242) dan beliau berkata hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam beberapa tempat dan Muslim dan Nasa’i dari jalan lain dari Abi Wa’il Sufyan bin Salamah dari Sahl bin Hanif)[15]
Umar radliyallahu anhu memegang ikatannya dan menyerahkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak takabbur seperti kita.
Ketika kita mengatakan: “Wahai saudaraku para pemuda! Bertaqwalah kepada Allah, pegangilah ikatan kalian, ini adalah Kalamullah, dan ini ucapan Rasul-Nya”. Mereka takabbur. oleh karena itu mereka menyia-nyiakan umat ini, mereka membunuh 500 ribu jiwa di Somalia dan 500 ribu jiwa di Suria dan semisalnya di Aljazair, Mesir dan Turki. Wahai saudaraku siapa yang mendapatkan faedah dengan darah yang mengalir ini?
Antara Bangladesh dan Pakistan, mereka saling berperang kemudian memisahkan diri, Masya Allah! Daulah Islamiyyah yang tadinya satu, menjadi kaum muslimin Bangladesh yang menyerang dan kaum muslimin Pakistan, hingga terbunuhlah ratusan ribu jiwa, siapakah yang mendapatkan faedah…? Yang mendapatkan faedah adalah India, akhirnya Bangladesh mengikuti India. Tidak ada akal, tidak ada naql (dalil) tidak pula ada kasih sayang, inilah yang menimpa kaum muslimin pada hari ini. La haula wal quwwata illa billah.
Umar radliyallahu ‘anhu dalam perkara maslahat dan mafsadah tidak mengatakan kepada manusia, bahwa “Sesungguhnya saya alim.” Umar adalah muhaddats mulham, meskipun demikian dalam perkara maslahat dan mafsadah, nampaklah ilmu Allah dan ilmu Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, selamatlah Umar. Maka dia memejamkan mata dari permasalahan Abu Jandal demi maslahat Islam. Demi maslahat dan mafsadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan perdamaian dengan orang-orang kafir Makkah, dengan syarat-syarat yang keji itu. Walaupun demikian, berdasarkan pendapat yang paling benar dari ulama, bahwa ini adalah kemenangan (al fath). Yang Allah ‘Azza wa Jalla firmankan (artinya):
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Al-Fath: 7)
Bukan Fathu Makkah, melainkan perjanjian ini. Karena manusia masuk berbondong-bondong ke dalam Islam bukan sebab Fathu Makkah, tetapi sebab perjanjian ini[16]. Maka manusia jadi aman. Jika keamanan datang maka tersebarlah dakwah ini. Manusia merasa aman pada diri-diri mereka, darah mereka dan harta mereka, maka tersebarlah dakwah ini.
Apakah kalian mengetahui kenapa disyari’atkan jihad? Jihad hanya disyari’atkan untuk mengamankan dakwah. Oleh karena itu apabila orang-orang kafir tidak memerangi engkau, maka jangan engkau memerangi mereka.
Ada tiga perkara; masuk Islam atau menyerahkan jizyah, kalau tidak kita memeranginya. Jika mereka masuk Islam, atas dasar apakah kita memeranginya? Kita harus mengakui harta, kekuasaan dan harta benda mereka. Jika mereka tidak masuk Islam, mereka menyerahkan jizyah (upeti). Dan kita mengakuinya atas segala sesuatu. Para da’i-lah yang pergi ke negeri mereka. Kemudian mengajak kepada Islam. Hingga mereka akan masuk ke dalam agama Allah berbondong-bondong.
Perjanjian Hudaibiyyah adalah al-fath. Manusia masuk ke dalam agama Allah berbondong-bondong karena keadaannya aman, tidak seorang pun mengambil faidah dari kekacauan atau kerusuhan ini. Karunia pertama yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim, dan doa pertama yang diminta Nabi Ibrahim kepada Allah adalah (artinya):
“Wahai Tuhanku, jadikanlah tempat ini sebagai negeri yang aman.” (Al-Baqarah: 126)
Demi Allah, wahai saudaraku, tidak ada kelezatan pada makanan, minuman, wanita dan tidak ada keberhasilan pada pekerjaan duniawiyah dan keselamatan dalam dakwah, tanpa rasa aman. Dengan keamananlah dakwah tersebar wahai saudaraku yang kucintai.
Awal karunia yang Allah berikan kepada penduduk Makkah adalah keamanan (artinya):
“Yang telah diberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (Quraisy: 4)
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman? Sedangkan manusia sekitarnya rampok merampok.” (Al-Ankabut: 67)
Partai-partai inilah yang memutuskan keamanan, kedamaian dan kasih sayang. Walaupun penguasa itu jahat dan fasik. Apa urusannya dengan kita, selama kita bisa menegakkan shalat, menunaikan zakat dan berpuasa dalam bulan ramadlan, serta berdakwah dan mengajari manusia.
Wahai saudaraku, siapakah penguasa? Apakah kalian menyangka bahwa penguasa itu hanya satu orang? Penguasa itu jumlahnya ratusan ribu wahai saudaraku. Penguasa itu terdiri dari anak pamanku, anak pamanmu, anak bibiku, anak bibimu. Pamanmu dari pihak laki-laki dan pihak wanita. Tidak ada di antara kita melainkan memiliki saudara yang berada dalam pasukan tentara, saudara yang berada di kepolisian, saudara di departemen pendidikan, saudara yang berada di departemen kehakiman, saudara dalam politik. Apakah penguasa itu berdiri sendiri? Jika seorang penguasa muslim itu sendirian – seperti Raja Najasyi — apakah dia bisa merubah Habasyah? Karena dia sendirian. Sehingga tidak mampu mengadakan perubahan sedikitpun. Yusuf ‘alaihis salam lebih baik dari Najasyi, namun tidak mampu merubah Mesir, karena dia sendirian. Mereka adalah penyembah berhala sedang beliau seorang muslim. Beliau tidak mampu merubah mereka. Maka sesungguhnya penguasa itu pada hakekatnya adalah anak-anak pamanmu, anak-anak bibimu, dan seterusnya. Jadi engkau sesungguhnya saudara mereka.
Ada sebuah contoh untuk anda. Sebuah madrasah ilmaniyah (sekuler), kemudian Allah memberikan rizki dengan hadirnya seorang pengajar Salafy. Allah memperbaiki puluhan ribu pelajar, sebaliknya satu pengajar (sekuler) akan merusak puluhan ribu pelajar. Apakah anda wahai saudaraku memperhatikan perkara ini? Jika demikian ketika kita mengatakan: “Penguasa, penguasa, penguasa!!” Ini adalah kalimat dagang. Bukan kalimat ilmiyyah dan bukan pula kalimat aqliyah (masuk di akal). Ini semata-mata kalimat untuk menarik massa (provokasi.ed).
Maka persoalannya kembali kepada masalah “kecuali kalian melihat kekufuran yang nyata, kalian memiliki bukti di sisi Allah.”
Kita berkata: “Yang menghukumi di sini adalah para ulama rabbaniyyin.”

(Politik Ikhwani, Bukan Dakwah Islami Tapi Ambisi Mengangkangi suatu Negeri, ed.)
Orang-orang Aljazair menanyakan kepada Syaikh Ibnu Utsaimin di Masjidil Haram dan kami mendengarkan, bahkan tersebar di kaset-kaset.
“Apa yang harus kami lakukan terhadap penguasa kami di negeri kami?” – Pada awal pertama revolusi – Syaikh menjawab: “Bertakwalah kepada Allah! bersabarlah! jangan kalian terjun dalam perkara ini. Ajarilah manusia dengan ilmu, pelajarilah agama kalian. Daulah tersebut memiliki bala tentara dan memiliki mobil, tank, sedangkan kalian hanya memiliki pisau[17].” Wahai saudaraku, bertakwalah kepada Allah.” Nasehat itu bukan hanya sekali atau dua kali, tetapi mereka tidak mau mengambil hukum kepada para ulama. Mereka hanya bertahkim kepada para ahli pidato, sebagaimana Ali radliyallahu ‘anhu berkata (artinya): “Banyak khatibnya, dan sedikit ulamanya.” Mereka bertahkim kepada para orator. Maka terjadilah musibah besar, naudzubillah padahal tidak hanya sekali atau dua kali saja syaikh berbicara[18]
Yang menghakimi masalah ini bukanlah para sopir, dokter dan insinyur, walaupun mereka berjenggot lebat. Anda tidak pantas menghukumi! Karena anda pun tidak ridla, kalau seorang Doktor di Jami’ah Islamiyyah dalam bidang aqidah, apakah engkau ridla jika dia menyuntik anda? Tentu tidak saudaraku. Karena ia doktor di bidang syari’at La ilaha illallah dan Muhammad Rasulullah, rukun-rukun iman dan seterusnya. Maka ia mengerti dalam masalah itu. Adapun persoalan suntik-menyuntik bisa-bisa berakibat membunuhmu.
Mengapa dokter-dokter itu tidak malu kepada Allah untuk berbicara permasalahan umat dalam bidang aqidah dan menentang penguasa. Revolusi di Suriah, revolusi Ikhwanul Muslimin, apakah kalian mengetahui dari mana sumbernya? Dari kuliah teknik. Apa urusan kalian wahai saudaraku, kalian dari kuliah teknik? Hikmatyar yang membunuh kaum muslimin di Afganistan[19], apakah kalian mengetahui dia? Dia adalah seorang insinyur. Apa urusanmu – wahai saudaraku -, dalam masalah ini? Hendaknya engkau terjun dalam pembangunan gedung-gedung, jalan-jalan dan hal-hal yang bermanfaat bagi umat. Jazakumullahu khairan katsira. Dan engkau wahai para dokter, hendaknya kalian mengobati penyakit yang menimpa umat. Perkara-perkara agama hendaknya dikembalikan kepada para ulama, bukan kepada tukang kayu dan ahli perlistrikan.
Kalian sombong, tidak mau masuk menggeluti keahlian kalian. Allah ‘Azza wa Jalla melarang kalian masuk dalam perkara yang bukan bidang kalian:
“Bertanyalah kalian kepada ulama jika kalian tidak mengetahui. “(An Nahl: 43)
Allah tidak mengatakan: “Bertanyalah kepada dokter-dokter dan para insinyur.”
Sekarang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin mereka adalah para dokter dan insinyur….”
Jika demikian, kembali kepada persoalan mafsadah dan maslahat.
Perkara pertama, – wahai saudara-saudaraku -, adalah perseteruan antara dua maslahat dan dua mafsadah; maslahat dari satu sisi dan mafsadah dari sisi lain. Maslahat yang kuat dan mafsadah yang tidak kuat. Mafsadah yang kuat dan maslahat yang tidak kuat. Persoalan ini tidak ada yang mengetahui kecuali ulama rabaniyyin.
Imam Shan’ani rahimahullah menyebutkan satu perkara yang baik sekali. Aku sebutkan untuk anda:
Beliau berkata: “Seorang penguasa menangkap seorang ulama dan ia ingin membunuhnya. Maka manusia marah dan berkata: “Penguasa yang dhalim, semoga Allah tidak memberikan kebaikan kepadanya. Dia membunuh seorang alim.”
Maka datanglah seorang ulama untuk minta syafaat (keringanan) untuk si alim ini. Penguasa itu berkata: “Saya memberi syafaat kepadanya dengan syarat engkau mencium kepalaku di hadapan manusia dan engkau berkata: Alim ini yang bersalah dan penguasa itulah yang benar.”
Aku bertanya kepada para pelajar di kuliah hadits. Bagaimana pendapat kalian wahai para pemuda? Semuanya berkata – kecuali sedikit -: “Biarkan laki-laki itu dibunuh dan kepala penguasa yang dhalim itu tidak dicium.” Bagaimana pandangan kalian? Di hati para pemuda itu tidak ada kasih sayang. Akan tetapi jika mereka adalah anak-anak si alim ini niscaya mereka berkata: “Kami akan mencium kedua kakinya dan tidak akan membunuh ayah kami.” Ternyata ulama yang berakhlak ini berkata: “Saya akan mencium kepalamu.” Maka dia menciumnya dan membebaskan seorang jiwa dan tidak ada kerugian sedikitpun.
Lihat contoh yang cukup membahayakan ini. Perkara ini merupakan pertentangan antara maslahat dan mafsadah. Perkara yang berbahaya sekali. Tetapi umat ini tidak dihukumi oleh para pemuda, tetapi oleh para ulama yang rabbani.
Akan tetapi yang sangat disayangkan, ketika engkau bertanya kepadanya tentang wudhu’. Dia berkata: “Saya tidak tahu, tanyalah kepada syaikh Fulan.” Tetapi ketika engkau bertanya tentang politik, masalah Ahlu halli wal ‘aqd dan jihad., wuu (mereka langsung berkomentar, pent).
Syaikh Jamilurrahman di Kunar menyeru manusia: Wahai saudaraku, ucapkanlah: Laa ilaaha illallah kalian akan selamat. Maka mereka persis apa yang difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla (artinya):
“Sesungguhnya mereka dahulu apa bila dikatakan kepada mereka: Laa Ilaaha Wallah, mereka menyombongkan dirinya.” (Ash Shaffat: 35)
Mereka kemudian membunuh beliau dan darah mengalir setelahnya. Allahu Akbar! Ketika Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu melihat darah mengalir di Madinah pada Yaumul Harrah[20], beliau berkata; “Allahu Akbar! Darah sebagai balasan darah Utsman.” Yakni Utsman Dzunnurain terbunuh. Orang yang ke empat dari orang yang paling utama, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Abu Bakar, Umar, Utsman – menurut ijma’ umat ini – dan tidak ada perselisihan padanya. Apakah (Utsman) dibunuh begitu saja kemudian kaum muslimin keluar dengan selamat? Tidak! Mengalirlah setelah itu darah penduduk Madinah, setelah terbunuhnya Utsman radliyallahu ‘anhu. Sebagai balasan dari Allah untuk darah Utsman radliyallahu ‘anhu, yaitu darah yang suci mengalir di Madinah.
Kemudian, datanglah para pemuda yang dungu, tidak memiliki akal, langsung bertindak : Pukullah! Pecahkanlah! Untuk maslahat siapa? Mereka tidak mengerti untuk maslahat siapa lagi kalau bukan maslahat bagi orang-orang kafir.
Orang-orang kafir melakukan kebohongan atas kita, kemudian senjata-senjatanya dijual dengan harga murah dan seterusnya. Kalau saja mereka taat kepada Syaikh Jamilurrahman. Tetapi Allah mentaqdirkan, apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi.
Wahai manusia, ucapkanlah laa Ilaaha Illallahu! Ingatlah Allah! Berjalanlah di atas jalan yang sesuai dengan manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam!. Perbaikilah aqidah kalian. Bagaimana mereka berperang dalam satu pasukan? Komunis, Syi’ah dan lain-lain. Dustum, bukankah dia komunis? Dia bergabung dengan Hekmatyar. Masya Allah! Sementara Hekmatyar membunuh Jamilurrahman. Kemudian engkau berkawan dengan Dustum? Jika demikian, engkau tidak menginginkan wajah Allah, wahai pendusta!! Engkau hanya menginginkan kekuasaan dan kerajaan. Oleh karena itu ketika engkau kehilangan (kekuasaan) engkau bergabung dengan Dustum.
Demikian pula Ikhwanul Muslimin di Yordania bergabung dengan komunis. Demi Allah, ini adalah aneh. Yakni tidak ada akal, tidak punya naql, tidak pula kasih sayang. Demi Allah yang tidak ada sembahan yang benar kecuali Dia. Tidak ada akal, tidak ada naql tidak pula rahmah. Kenyataan ini membuktikan, bahwa mereka tidak memiliki akal, naql dan kasih sayang terhadap kaum muslimin.
Permasalahan ini sangat mendasar, saya wasiatkan kepada kalian, – wahai saudaraku – agar bertakwa kepada Allah dan ittiba’, yang tidak ada kebaikan bagi umat ini kecuali berada di atas manhaj nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Artinya):
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kalangan kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At Taubah:128)
Demi Allah, yang tidak ada sembahan yang haq kecuali Dia, orang yang tidak memiliki tiga sifat[21] ini, tidak pantas berdakwah ke jalan Allah, lebih-lebih membentuk suatu partai, lebih-lebih mendirikan sebuah negara.
Seorang penguasa muslim kalau ia telah berkuasa atas kita… (harus ditaati, pent) karena syariat Islam telah menentukan tiga keadaan bagi penguasa.
1. Diangkat oleh ahlul halli wal aqdi.
2. Wasiat dari penguasa sebelumnya.
3. Adanya orang yang lebih kuat kemudian mengalahkannya.
Pertama: Diangkat oleh ahlul halli wal aqdi. Adapun orang awam tidak ada nilainya sebagaimana ucapan Ali radliyallahu ‘anhu : “Manusia itu tiga : Ulama Robbani, penuntut ilmu di jalan keselamatan dan orang-orang bodoh yang tidak ada kebaikan padanya. Adapun dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan umat, rakyat jelata tidak pantas terjun padanya selama-lamanya. Yang paling pantas adalah ahlul halli wal aqdi, yaitu ulama’, umara’, pemimpin-pemimpin kabilah, pemimpin-pemimpin militer, para
pengusaha (konglomerat), yang ucapan mereka memiliki pengaruh. Jika mereka berkata tidak, maka di bawahnya sejuta orang mengatakan “tidak”. Dan jika mereka berkata ya, maka di bawahnya sejuta orang mengatakan “ya”. Jika mereka berkumpul dan mengangkat seorang muslim yang shaleh, maka kita tunduk dan berkata Lailaha Illallahu. Karena kita tidak bermaksud mencari kekuasan. Kami tidak menginginkan kedudukan. Kita diciptakan untuk apa? Apakah untuk menjadi penguasa? Kita diciptakan untuk beribadah kepada Allah.
Hukum asalnya, Khilafah Islamiyah itu adalah satu. Umat Islam jumlahnya milyaran, jika semuanya mencari kekuasaan maka dunia ini akan hancur. Satu pemimpin cukup bagi milyaran umat Islam. Satu orang khalifah Quraisy cukup bagi umat ini seluruhnya. Kalau setiap orang membawa pendapatnya sendiri…? Laa haula wala quwata illa billah.
Kita diciptakan agar beribadah kepada Allah. Kita menghilangkan kejahilan dari diri kita agar kita beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Wasiat dari penguasa yang sebelumnya, oleh karena itu Mu’awiyah Radliyallahu ‘Anhu bahkan sebelumnya Abu Bakr mewasiatkan dengan menunjuk Umar Radliyallahu ‘Anhu agar manusia menerima. Maka mereka mengatakan kami mendengar dan ta’at. Kemudian Mu’awiyah mewasiatkan kepada Yazid setelahnya. Demikian pula Yazid mewasiatkan orang setelahnya dan terus berlangsung pada umat ini. Kemudian dibai’at oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Alhamdulillah! Maka berjalanlah umat dan para ulamanya. Padanya ada jihad, kemenangan-kemenangan, pembukaan kota-kota dan seterusnya. Hingga Islam sampai di Cina, Perancis dan seterusnya. Kita memuji dan bersyukur kepada Allah.
Ketiga: Atau seorang yang lebih kuat mengalahkan yang lain. Dia mengalahkan orang lain sehingga kekuasaannya tegak. Abdulllah bin Az Zubair didengar dan ditaati oleh kaum muslimin. Kemudian runtuhlah pemerintahan Abdullah bin Az Zubair dan berdirilah pemerintahan Umawiyyin. Kaum muslimin mendengar dan mentaati mereka, meskipun ia berkuasa dengan mengalahkannya (kudeta). Dia adalah khalifah Islam, baginya hak didengar dan ditaati. Inilah ketiga perkara itu.
Apakah seorang berdiri menyerang dengan pedangnya? Wahai Saudaraku! Lihatlah maslahatnya! Urusan ini tidak ada kaitannya dengan harta dan diri anda. Seandainya seorang penguasa datang kemudian mencambuk anda, memutuskan punggung dan mengambil seluruh harta anda, apa yang akan kita katakan? Kami mendengar dan taat. Kita tidak menuntut agar mereka membalas penguasa itu, untuk bapaknya.
Persoalan ini tidak berkaitan dengan ayah atau ibu anda. Persoalan ini berkaitan dengan jutaan kaum muslimin, berkaitan dengan 180 juta muslim di Indonesia, berkaitan dengan 500 ribu muslimin yang terbunuh di Somalia. Tidak ada yang menangisi mereka. Darah mereka tertumpah sia-sia. Tidak seorang muslim pun yang disisakan. 500 ribu darah
muslimin tercecer di tanah. 500 ribu tidak dikubur dan dishalati. 500 ribu muslim tidak ada yang menangisi seorangpun.
Wahai Saudaraku! Tidak sebanding dengan harta anda. Penguasa itu mengambil harta anda, memenjarakan, menyiksa dan memukuli anda, kemudian anda berkata: Aku mendengar dan taat, dan tidak berkata satu kalimat pun. Anda dan dia saling menuntut di hari kiamat nanti. Tidak akan sia-sia.

(Turunkan Penguasa dan….Pilihlah Aku!*ed.)
Akan tetapi mereka yang tertutup matanya, karena tujuan mereka adalah dunia, maka mata-mata mereka tertutup. Mereka tidak melihat pada ucapan “Terhadap kaum muslimin sangat kasih lagi penyayang”, tidak melihat ucapan ‘Terasa berat baginya penderitaan ini” mereka tidak melihat pada ayat-ayat ini. Sungguh sangat mengherankan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil bai’at atas para shahabat Radliyallahu anhum, agar memberi nasehat kepada setiap muslim, nasehat kepada orang yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengurusi urusan kita, dan tidak memberontak kepada pemimpin. Apa urusan kita dengan politik? Apa urusan kita dengan mereka? Dan apa urusan mereka dengan kita? Ini bukan berarti bahwa kita tidak memahami waqi (kenyataan). Bahkan kita memahami waqi (kenyataan) sebagaimana yang dipahami Salaf. Bukan sebagaimana yang dipahami Amerika.
Mereka memahami waqi sebagaimana yang dipahami Amerika. Oleh karena itu mereka mewajibkan pemilu, partai-partai dan gambar-gambar. Ketika Abu Hurairah datang dan berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (artinya):
“Angkatlah aku sebagai pemimpin.” Beliau bersabda:
“Sesungguhnya engkau pria yang ada kelemahan.”
Dan shahabat lain, yaitu Abu Dzar datang, beliau bersabda: “Padamu ada kelemahan.” (HR Muslim no. 1825)
Dan yang lain datang, beliau bersabda (artinya):
“Kami tidak menyerahkan kepemimpinan kepada orang yang memintanya.” (HR. Muslim No. 1733 dari Abu Musa Al Asy’ari radliyallahu ‘anhu)
Menakjubkan! Mereka hari ini mencari kepemimpinan dan menggambarkan diri mereka, kemudian berkata pilihlah aku! Apa ini?! (………)[22]
Abu Dzar Radliyallahu anhu, dulunya adalah seorang Arab gunung, beliau datang ke Madinah dan mendengar hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian kembali kepada kaumnya. Sehingga kadang-kadang sebuah hadits yang ia dengarkan pertama telah mansukh. Oleh karena itu dia hanya mendengar setengah ilmu dan luput setengah ilmu. Oleh karena itu dia melihat para sahabat melakukan sesuatu yang menyelisihi apa yang dia dengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal mereka pun mendengarkannya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka rumitlah urusannya hingga dia mengasingkan diri ke Rabzah, sendiri…. Tidak seperti sekarang para pemuda berkumpul berpartai-partai dan berkata : “Hancurkan!” Turunkan! “Pilihlah aku!” Aku tidak yakin kalau salah seorang mereka ada yang mendengar (riwayat ini).
Abu Said Al Khudri Radliallahu ‘anhu berada di Madinah, kemudian Marwan bin Al Hakam berkutbah. Kemudian ada yang berkata : “Wahai Marwan, shalat dahulu sebelum khutbah.” Berkata Marwan : “Telah ditinggal apa yang di sana.” Abu Said berkata: “Adapun orang ini telah selesai urusannya.” Beliau tidak berdiri setelah shalat dan berkhutbah dengan mengatakan : “Saya mengingkarinya, dan berkumpullah kalian berpartai-partai! Beliau hanya berkata adapun orang ini dia telah menunaikan apa yang diwajibkan atasnya.

(Ulama Rabbani, Ulama Basa-Basi?*ed.)
Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya):
“Barang siapa diantara kalian melihat kemungkaran hendaklah merubah dengan tangan. Jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim no. 49 , Abu Daud no. 1140 dan 4340, Tirmidzi 7172, Ibnu Majah no. 1275 dan 4013 dan dishohihkan oleh Ibnu Hiban no. 306 dan 307)
Dalam hadits lain (artinya):
“Kalian akan menemui umara, maka barangsiapa mengingkari mereka dengan tangannya, sungguh dia telah berlepas diri dan barang siapa mengingkari mereka dengan lisannya, sungguh dia telah berlepas diri. Tetapi orang ridlo dan setuju.” (HR. Muslim No. 1854 dari Ummu Salamah radliyallahu ‘anha)
Akan tetapi orang yang setuju, inilah yang menjadi musibah. Ketika penguasa berkata zina itu halal. Katakanlah : Tidak! Bahkan haram.” Sedangkan engkau adalah orang yang menghukumi. Bagaimana? Akan tetapi yang haram adalah engkau mengatakan: “Wahai saudaraku, riba itu halal. Ini baru dikatakan engkau adalah “ulama pemerintah”. Adapun ulama kita seperti di negeri ini (Saudi Arabia), mereka berkata: “Riba itu haram, musik itu haram, gambar-gambar haram, bank-bank riba haram. Tidak ada seorangpun diantara mereka basa-basi kepada penguasa. Siapa yang berkata: “Ulama kalian berbasa-basi.” Tidak, demi Allah! Ulama kita adalah Rabbaniyyun. Ulama kami adalah orang-orang bijaksana, di dalam hati mereka ada kasih sayang.
Saya contohkan kepada kalian : Ketika terjadi peperangan Kuwait dengan Irak – dan ini kejadian penting sekali bagi kaum muslimin – terbagilah ulama kami di negeri ini menjadi dua kelompok. Ulama yang berumur diatas 50 tahun dan yang berumur di bawah 50 tahun.
Yang berumur di atas 50 tahun mengatakan kepada penguasa : “Hati-hati, jangan tergesa-gesa memanggil Amerika. Penguasa bersabar… bersabar … bersabar … hingga kejadian berakhir dengan masuknya orang-orang Irak ke negeri kami. Sedangkan orang-orang Irak itu, siapa mereka? Apakah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab?
Orang-orang Irak terbagi menjadi dua model. Rafidlah Ja’fariyah, yang disepakati oleh umat ini tentang kafirnya mereka Dan kaum muslimin di sana fesik, khamr di kalangan mereka bagaikan air. Ini kami saksikan dengan mata kami, di Irak khamr itu bagaikan air. Mereka bukanlah orang-orang sholeh. Sedangkan model lain adalah kaum Ba’tsiah[23], yang mengatakan: “Aku ridla Al Ba’tsi sebagai Tuhan, tidak ada sekutu baginya” Mereka tidak memiliki agama.
Padahal ulama berkata: “Bersabarlah! Bersabarlah! Bersabarlah wahai penguasa!” Ketika mereka mengetahui bahwa kejadian sudah sampai puncaknya, dimana kaum/partai Ba’ts ingin menduduki negeri kita, mereka berkata : “Yaa… silahkan panggil siapa yang kalian kehendaki!”
Para pemuda yang muda umurnya mengatakan : “Tidak ingat apa yang aku katakan kepada kalian. Jangan kalian minta tolong (isti’anah). Ini adalah penjajahan.” Kita mengatakan: “Bahwa pendudukan Amerika lebih utama dari pendudukan kaum Ba’tsi.” Demi Allah, jika dibandingkan antara pendudukan Amerika dengan pendudukan Irak, demi Allah pendudukan Amerika lebih utama milyaran kali lipat dibanding pendudukan Saddam. Karena orang ini adalah partai Ba’tsi yang tidak punya agama.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang sebagian orang Nashara (artinya):
“Penguasa mereka tidak mendholimi seorangpun.”
Dan Allah berfirman (artinya):
“Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata “Kami ini orang Nasrani.” (Al Maidah :82)
Dalam hati mereka ada sebagian kasih sayang, sedangkan si Ba’tsi ini di dalam hati dia tidak sedebu pun rasa kasih sayang. Perhatikanlah apa yang ia lakukan terhadap suku Kurdi di Kurdistan. Sedebu pun rasa kasih sayang tidak ada pada dia.
Pemerintah kita mengatakan ini adalah politik. Penyewaan tentara (Amerika) telah habis masanya. Yang ada hanyalah penyewaan teknologi dan materi. Adapun penyewaan tentara tidak ada.
Akhirnya waktu itu terjadi kekacauan pada kami, antara para pemuda dengan para ulama. Hingga berakhirlah kejadian itu dengan selamat, dan si fajir ini (yakni Saddam) terusir, dan saudara-saudara kita kaum muslimin Kuwait kembali ke negeri mereka. Milik Allah-lah pujian dan karunia.
Akan tetapi dakwah Islamiyah terbengkelai selama 50 tahun. Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang hak kecuali Dia. Si penjahat ini (Saddam) mulai memecah belah kaum muslimin, antara orang-orang Kuwait, orang-orang Saudi dan orang-orang Irak, orang Syiria, orang-orang Yordania dan kaum muslimin seluruhnya. Kenapa orang-orang Saudi mendatangkan Amerika? Dan kenapa orang-orang Kuwait datang ke Amerika? Mulailah dia memecah belah sehingga dakwah terlambat selama 50 tahun. Juga masalah ekonomi turun dengan drastis. Minyak yang tadinya 30 dollar menjadi 7 dollar dengan sebab si mujrim ini.
Berapa banyak yang terbunuh dari kaum muslimin. Siapakah yang mengambil faedah? Dalam peperangan itu tidak ada yang menang. Selama 7 tahun peperangan antara Iran dan Irak, terbunuh padanya lebih dari l juta kaum muslimin. Tetapi apakah salah satunya menang atas yang lain?
Umat ini pada hari ini tidak butuh kepada pemikir dan penemu. Tetapi butuh kepada seorang alim Rabbani, lemah lembut, kasih sayang kepada umat, menangis sepanjang malam. Setiap malam menangis (sambil berdo’a): “Wahai Tuhanku! Wahai Tuhanku! Tolonglah umat ini, kemudian membaca dan memahami Kitabullah dan mentadabbur Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan setelah itu menyelamatkan umat.
Umat ini membutuhkan mereka. Umat ini tidak butuh kepada ahli fikir, yang belajar di Amerika, Eropa atau di Inggris. Tidak pula butuh pada partai demokrasi atau lainnya. Mereka adalah orang-orang yang hanya membutuhkan dunia.
Inilah keadaan umat ini. Dan inilah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seluruh keselamatan adalah dengan menjauhi urusan-urusan politik dari awal hingga akhirnya.
Syaikh Utsaimin, ketika diminta berbicara di hadapan para pemuda, penyebab fitnah di sisi kami, mereka memenuhi hati kami dengan rasa dengki terhadap sekelompok manusia, bukan kepada Amerika. Bukan, demi Allah. Demi Allah, mereka berbicara tentang penguasa lebih banyak dari pembicaraan mereka tentang Israel. Hingga hati-hati kami dipenuhi rasa benci terhadap ulama dan para penguasa. Mereka berkata pada pagi hari : “Penguasa melakukan ini”, di sore hari: “Mereka melakukan itu.” Pagi hari: “Ulama berbasa-basi,” dan di sore hari: “Ulama berbasa-basi” sehingga hati para pemuda dipenuhi rasa dengki… dengki… dengki dan seterusnya.
Ketika dihadapkan ulama yang semacam Syaikh Utsaimin. Ooo, marahlah para pemuda. Apakah engkau mengetahui ucapan Syaikh Utsaimin? Syaikh Utsaimin berkata: “Seandainya penguasa berkata kepadaku: “Diamlah!” Dan jika dia berkata kepada Syaikh Bin Bazz : “Diamlah!” Mereka (ulama) akan diam.” Karena Allah memerintahkan kita untuk mentaatinya. Pada hari kiamat Allah berkata kepada kita: “Kenapa kalian tidak menyampaikan agama-Ku?” Kita katakan: “Para penguasa menyuruh kami diam. Sedangkan Engkau memerintahkan kami agar mendengar dan taat. Maka kami mendengar dan taat. Karena Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh bin Bazz tidak menginginkan kemasyhuran, tidak menginginkan kedudukan.
Adapun mereka, mereka menginginkan kemasyhuran dan kedudukan. Maka kalau dikatakan “Diamlah!” Dia berkata : “Aku tidak mau diam”. Salah
seorang da’i berkata dalam sebuah kasetnya: “Sebagian pencari ilmu – dia tidak berkata, Syaikh Utsaimin – berkata: seandainya penguasa berkata: Diamlah! “Maka aku diam.” Sedangkan saya berkata: “Aku tidak mau diam.” Dia tidak mengatakan Syaikh bin Utsaimin, tetapi “sebagian pencari ilmu”. Padahal Syaikh Utsaimin berumur 70 tahun, sedangkan orang ini berumur 30 tahun. Demi Allah maksudnya adalah dia pencari ilmu dan Syaikh Ibnu Utsaimin pun pencari ilmu, yakni aqran (sederajat).
Demi Allah! Wahai saudaraku, umat ini tidak akan diperbaiki kecuali dengan keamanan, ketenangan, ketentraman, sehingga dakwah akan berhasil dan manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah. Sebagaimana keadaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Perjanjian Hudabiyah.
Maka nasehat saya kepada anda dan saudara-saudaraku di sana, agar bertakwa kepada Allah dalam mengurusi umat ini, dan melihat (kejadian yang menimpa) saudaranya di Somalia, Mesir, Suria, Turki dan lain-lain. Mereka menyia-nyiakan harta yang berharga, waktu yang mahal dan mereka tidaklah menolong Islam selembar rambut pun. Bahkan – demi Allah – kerusakan yang mereka timbulkan lebih banyak dari manfaat yang mereka berikan kepada Islam. Ajari mereka dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ajari manusia dengan Laa ilaha illallah!
Ketika Ali bin Abi Thalib perang menghadapi Yahudi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya):
“Berangkatlah dengan tenang!” (yakni jangan terburu-buru), kemudian ajaklah kepada Islam. Kalaulah Allah memberi hidayah melalui tanganmu satu orang saja, itu lebih baik bagimu dari seekor unta merah.”
Untuk apa pembunuhan, demonstrasi dan kekacauan ini?! Seorang muslim bertemu dengan muslim lainnya, seakan-akan ia melihat pembunuh bapaknya, seakan-akan dia menjumpai berhalais yang tidak pernah masuk Islam sama sekali! Kami mengajak kepada diri kami khususnya dan kaum muslimin umumnya, untuk bertakwa kepada Allah. Menyerahkan urusan politik kepada ahlinya, walaupun mereka orang-orang fasik. Karena pemimpin yang fasik dan fajir lebih baik dari pada kekacauan. Kita menerapkan kaidah ihi pada harta kita, pada kehormatan kita, pada jalan-jalan kita dan pada keutamaan-keutamaan kita.
Adanya pemimpin yang fasik dan fajir lebih baik daripada kekacauan, dikatakan:
“Pemimpin (Pemerintah) yang dhalim lebih baik daripada kekacauan yang terus-menerus.”
Ya Ahibbati fillahi.
Ketahuilah, sebaik-baik orang Afrika adalah orang Somalia. Sungguh mereka adalah orang yang paling baik ilmunya, dakwahnya, bahasanya…. Tapi lihatlah para da’i dari orang-orang Somalia ini. Mereka terusir ke mana-mana dalam jumlah besar. Yang demikian karena mereka masuk pada perkara yang bukan urusan mereka.
Politik adalah perangkap bagi para ulama. Ketika orang-orang jelek dari Barat melihat bahwa dakwah di Aljazair sangat kuat dan berada di atas manhaj salaf, ya memang awalnya di atas manhaj salaf. Mereka berkata: “Apa yang diperbuat oleh mereka itu? Bukankah Ajazair termasuk Perancis, bagian dari Perancis yang kemudian memisahkan diri?” Demikian pula dikatakan dalam pelajaran geografi. Maka mereka berkata: “Iibatkan saja mereka dalam politik.” Maka ketika mereka masuk dalam politik, mulailah orang-orang bodoh yang tidak memiliki akal berkata: “bbbbbbbb (yakni berbicara sembarang tentang politik dan penguasa).”
…Inilah yang terjadi di dunia Islam sekarang ini. Setiap kita melihat para pemuda mengajari manusia dan menghafal ilmu, datang seorang pemuda ahwaj[24] yang bodoh dan tidak berakaLmengajak kepada politik, demonstrasi, kemudian dihadapkan kepada penguasa (diadu dengan penguasa), maka terbunuhlah mereka.
Politik adalah jebakan buat para ulama dan perangkap bagi para da’i. la tidak ada sangkut pautnya dengan dakwah, tidak jauh dan tidak pula dekat. Karena kita tidak mencari kekuasaan dan kita tidak menginginkan kekuasaan. Orang yang ini mengingkari yang itu, yang berkuasa ingin tetap berkuasa, dan seterusnya (semoga Allah memberikan per tolongan). Urusan kita adalah bagaimana kita shalat yang benar, bagaimana kita beribadah kepada Allah dan berdoa kepada Allah untuk penguasa tanpa sepengetahuannya. Dan kita berusaha untuk menasehatinya.
Diriwayatkan dari sebagian shahabat —saya kira Anas— ketika dikatakan kepadanya “Mengapa engkau tidak menasehati Utsman?”[25] Dia berkata: “Apakah kalian mengira aku tidak menasehatinya? Tapi aku tidak menginginkan membuka pintu kejelekan kepada kaum muslimin, yakni: Aku tidak menegurnya di hadapan kalian.”
Para pemuda sekarang mengira bahwa para ulama tidak menasehati para penguasa. Siapa bilang mereka tidak menasehati. Para penguasa bukanlah anaknya para ulama.
Anda sekarang, misalnya. Isteri di rumahmu di bawah kekuasaan anda. Aku menantang mereka yang mengatakan: “Tegakkan daulah Islamiyah!” Aku menantang! Menantang apakah ada da’i mereka yang tidak ada kemunkaran di rumahnya?
Demi Allah, yang tiada sesembahan yang haq kecuali Dia. Aku menantang! Ini tantangan bagi mereka. Kalau ada orang yang memiliki Partai Islam, kita datangi rumahnya. Apakah rumahnya sudah Islami, ternyata rumahnya tidak Islami. Anda akan dapati isterinya tidak berhijab. Kau dapati televisi di rumahnya, nyanyian, musik, anak-anaknya merokok, diberitahu bahwa anak perempuannya pergi ke diskotik. Dia akan berkata: “Aku tidak mampu. Demi Allah aku tidak mampu.” Anak perempuanmu sendiri kamu tidak mampu? Bagaimana Daulah Islamiyah kamu mampu?!
Ada sebuah kisah. Aku akan menceritakannya kepada anda: Kami pernah menaiki mobil milik seorang da’i Islam (dari mereka). Kita lihat bibirnya sangat hitam karena rokok,
hitam seperti arang. Di dalam mobil —waktu itu puteraku Abdullah bersamaku— ada dua pak rokok. Waktu itu aku duduk di depan dan duduk di belakang Syaikh Awad Shihri —anda tahu—?Juga ada Syaikh Aid Al Amri, pengajar bahasa Arab. Setelah turun aku berkata kepada keduanya: “Kamu lihat bagaimana da’i ini. Seorang da’i bibirnya hitam karena rokok dan di mobilnya terdapat dua pak rokok?!” Mereka-menjawab: “Engkau tidak tahu sesuatu! Kami yang di belakang mendapati majalah-majalah seronok.” Sungguh ini benar-benar terjadi. Awad Shihri ada dan Aid Al-Amri ada. Silakan tanya pada mereka. Rumah-rumah mereka sendiri payah dan anak-anak mereka pun payah —kita harap Allah menyelamatkan mereka—. Akan tetapi kemudian mereka berbicara permasalahan yang besar, membicarakan kesalahan para penguasa. Mengapa kamu tidak melihat kepada kesalahan-kesalahan pribadimu. Seorang penguasa mungkin ingin mengadakan perbaikan, tapi tidak mampu.
Kalian tahu gembong terbesar dari kalangan Ikhwan di Turki sekarang adalah Erbakan, dia memerintah selama enam bulan. Kita tanyakan pada mereka, apakah dia menginginkan perbaikan atau tidak? Mereka akan berkata: ‘Tentu dia menginginkan kebaikan.” Lalu, mengapa dia tidak berbuat? Mereka berkata: “Ia tidak mampu.”
Baik, sekarang kamu memberikan alasan tentang Erbakan bahwa dia tidak mampu. Mengapa kalian tidak memberikan pembelaan yang sama kepada para penguasa yang lain? Apakah karena dia termasuk kelompokmu dan yang lain tidak? Apakah orang yang tergabung dalam partaimu kamu maklumi, dan yang diluar tidak kamu maklumi?
Demi Allah, sebagian mereka datang ke Madinah, kemudian berkata: “Lihatlah! Bagaimana orang-orang di sini menjual kaset-kaset lagu, menjual ini dan itu?!”
Ya. Mereka salah. Menjual lagu-lagu musik, salah. Membiarkan di televisi-televisi, salah. Tapi mungkin mereka tidak mampu (menghambatnya). “Lalu, bagaimana mereka tidak mampu?!” Katanya.
Mengapa Erbakan menjual khamr di negerinya, mengapa zina di negerinya diresmikan dengan kartu? Yang memiliki surat tersebut, dia boleh berzina dan yang tidak memiliki, tidak diizinkan? Demikian dalam UUD-nya. Dan bapaknya tidak dapat berbicara satu kalimat pun.
Mengapa di Turki tidak ditegakkan hukum-hukum had yang syar’i. Walaupun hanya satu jenis hukum had? Mereka berkata: ‘Tidak mampu.” Mereka tidak mampu dalam perkara-perkara pokok. Sedangkan di sini tidak mampu dalam perkara-perkara cabangnya?!
Seseorang yang tidak mampu memimpin rumah tangganya, bagaimana ia akan memimpin manusia yang jumlahnya jutaan? Wahai saudaraku, bagaimana ia akan mengaturnya?
Ar-Rafidlah, yang mereka adalah musuh Allah dan Rasul-Nya, apakah kalian menyukainya? Baik, mengapa kalian tidak melarang?” Jawabnya: ‘Tidak bisa.”
Ketika Saddam Husain datang memerangi negeri kita, adakah seorang muslim yang berdiri membela kami? Siapa?
Iran ketika memerangi kami. Siapa yang mendukung kami, mana negara Islam yang berdiri bersama kami? Jawabnya: “Tidak mampu.”
Tidak ada yang berdiri bersama kami. Demikian pula kami. Kami tidak menentang pemerintah kami walaupun mereka fasik selama mereka masih berkata: “Shalatlah kalian!” Selama ia masih berkata: “Saya Muslim.” Daripada kita berkata: “Kami menentangmu (membantahmu),” kemudian mereka benci pada kita dan kita membenci mereka. Kita katakan: “Jangan!” Ucapkan saja: “Semoga Allah memantapkan kekuasaanmu. Kami mendoakan kebaikan untukmu.” Hingga mereka cinta kepada kita dan kita cinta kepada mereka.
Demi Allah, yang tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia. Tidak mungkin secara akal di seluruh dunia, ada seorang penguasa ditentang dan direbut kenikmatan yang ada padanya kemudian dia menyukainya. Dia akan membenci anda, dia akan membenci anda. Bahkan mungkin dia akan terpaksa berbuat kekufuran untuk mempertahankannya.
Anda tahu, kisah pembesar Romawi, Heraklius. Ketika datang surat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya, dia cium dan dia letakkan di atas kepalanya, dia melihat dan mengetahui bahwa dia adalah Nabi. Maka datanglah ahlul halli wal ‘aqdi di majelis. Kemudian raja berkata: “Ini surat yang mulia datang kepadaku dan aku berpendapat untuk masuk Islam dan mengikuti Nabi ini”, maka goncanglah mereka. Mereka marah dan keluar untuk mengajak manusia menentangnya.
Tapi dia —na’udzubillah, laa haula wala quwwata illah billah- dia lebih menyukai dunia daripada akhirat. Dia berkata: ‘Tidak. Kemarilah. Kemarilah. Aku hanya ingin menguji kalian saja.”
Lihat bagaimana ia berkata: “Aku hanya ingin menguji kalian saja”, yakni dia mementingkan sisi apa?! Dia mementingkan dunia di atas akhirat padahal dia tahu ini adalah haq. Demikian pula seorang penguasa sekarang, walaupun tahu bahwa ucapanmu adalah haq. Tapi ketika tahu engkau akan merebut kekuasaannya, dia akan meninggalkan yang haq itu.
Kalian, wahai kaum yang berjenggot, apakah setiap pemuda berjenggot menginginkan kekuasaan?! Kalau demikian, para penguasa akan benci kepada kalian, dengan membabi buta dan benci kepada orang-orang yang berjenggot (yang menghidupkan sunnah, pent).
Sebaliknya jika orang-orang berjenggot mengatakan: “Semoga Allah menetapkan kekuasaanmu dan memperbaikimu dan memberikan pertolongan kepadamu. Dan kami, demi Allah, berdoa kepada Allah untuk kalian tanpa sepengetahuan kalian. Kami tidak menentang kalian tapi, jazakumullahu khaira. Janganlah menganiaya kaum muslimin. Lunaklah pada kaum muslimin. Kerjakanlah ini….”
Dengan cara rahasia, ucapkan kepadanya: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Kami hanya menginginkan dari kalian perkarayang kecil, yaitu ini, kami ingin demikian, kami ingin demikian.”
Jika mereka mengetahui bahwa kalian bukan menginginkan kekuasaan, mereka akan mencintai kalian. Mereka akan menyukai kalian, akan dekat dengan kalian, mengajak kalian musyawarah, mereka menginginkan apa yang baik untuk kalian. Ini dia cara-cara yang syar’i.
Jika Allah memperbaiki mereka, maka kebaikannya untuk kita dan untuk mereka. Kalau sebaliknya, yaitu Allah tidak memperbaiki mereka, maka kita sudah menunaikan kewajiban kita pada mereka. Ini yang akan dihitung oleh Allah pada hari kiamat. Kalau Allah menghendaki, Allah akan memberi hidayah manusia seluruhnya. Tapi ini adalah ujian agar kita melihat apakah kita para da’i atau para pemberontak yang akan merebut kekuasaan dari para ahlinya. Ini adalah kaidah-kaidah yang penting dan sangat berbahaya.
Wahai orang-orang yang saya cintai di jalan Allah. Semestinya, seorang muslim bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, berpegang pada manhaj salaf serta menggigitnya kuat-kuat dengan giginya, khususnya di jaman fitnah politik.
Jika dikatakan kepada kami, “Pilihlah!”
Katakan: “Aku tidak akan memilih!”
“Berikanlah suaramu.”
Katakan: “Aku tidak akan memberikan suara.”
Jika engkau menginginkan Allah, Allah akan memberikan taufiq kepadamu. Kami hanya mengajarkan ilmu kepada manusia, mengajari walaupun lima orang.
Mereka akan berkata: “Dakwah kalian apa faedahnya?”
Kita katakan: “Dakwah kita adalah satu orang, yang tadinya penyembah berhala menjadi salafi, walaupun satu orang. Sedangkan kalian, apa feedahnya dakwah kalian? Seratus tahun kalian tidak mendapatkan pemerintahan/kekuasaan, tidak pula menjadikan satu orang menjadi salafi. Sedangkan kami berhasil menjadikan seorang salafi, walaupun hanya satu.
Seratus tahun kalian berdakwah sebagaimana anggapan kalian, tapi tidak menjadikan seorangpun mengerti laa ilaha illallahu. Sedangkan kita, seratus tahun menjadikan satu orang salafi, mana yang lebih baik? Apalagi kalau Allah memberikan petunjuk dengan dakwah kita ratusan ribu orang.”
Di Bangladesh, ada berapa orang ahlul hadits? 15 juta. Apakah mereka terjun dalam politik, mencari kekuasaan? Mereka tidak mencari kekuasaan padahal jumlahnya 15 juta orang, wahai ahibbati fillah. Mereka di bawah pimpinan Syaikh DR. Muhammad Abdul Bari[26]. Banyak memiliki masjid. Kita lihat di masjid-masjid lain mengerjakan bid’ah. Ketika kita masuk masjid-masjid mereka, kita lihat sunnah, sedekap[27], mengucapkan, “Amin”[28] dan memiliki pengetahuan tentang tauhid. Lima belas juta orang itu apakah bukan suatu kenikmatan, wahai ahibbati fillah? Sejuta orang sudah merupakan kenikmatan, wallahul musta’an.
Kemudian katakan: “Jadilah kalian orang-orang yang berakal, orang-orang yang bijaksana. Jangan sampai kalian dipermainkan oleh orang-orang Barat hingga terjadi perang saudara di tempat kalian. Di Ibukota kaum muslimin, di negara Islam yang besar (jumlah penduduknya).”
Negara Islam yang terbesar (jumlah pemeluknya) sekarang ini adalah Indonesia. Ya, negara Islam yang paling besar. Kalau Indonesia hancur, apa sisanya bagi kaum muslimin?! Apa sisanya?! Penduduk Somalia, seluruhnya berjumlah 6 juta. lima ratus ribu orang terbunuh dari 6 juta orang itu, berapa persen orang yang terbunuh? Wallahul musta’an. Wa shallallahu wa sallamu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa sallam.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al ‘Aqil hafidhahullah juga menegaskan:
…Demi Allah, kami amat sangat membenci ahlul bid’ah. Akan tetapi kita adalah para dokter. Jika mereka tidak kita obati, siapa lagi yang akan mengobatinya? Jika kita tidak menyayangi mereka, siapa lagi yang akan menyayangi? Tetapi jika mereka meminta agar kita mengalah dalam masalah tauhid, tidak. Kita tidak akan mau mengalah satu huruf pun. Dalam masalah aqidah, satu huruf pun kita tidak akan mengalah.
Kalau mereka berkata: “Baik, kami kaum muslimin dan kalian pun kaum muslimin, maka pilihlah partai kami dalam pemilu.”
Kita katakan: Tidak. Kami tidak memilih dan tidak ingin dipilih. Kami tidak menginginkan perkara politik. Jika kami memilih kalian dan kalian menjadi penguasa, jangan-jangan kalian tidak mengamalkan tugas kalian dengan sebenarnya. Kami tidak ingin memilih kalian dan tidak ingin kalian memilih kami. Kami hanya ingin mengajak kalian kepada Allah, semoga Allah memberi taufik kepada kalian. Di Indonesia, ada 180 juta yang memilih kalian selain kami.
Saudara-saudara kita di Kuwait – misalnya — dalam Jum’iyyah Ihya’ut Turats Al-Islami, mereka adalah orang-orang berpemahaman salaf pada asalnya. Tetapi setan menipu mereka. Tadinya orang-orang itu mengeluarkan jutaan real di jalan dakwah, sayangnya mereka dijebak oleh setan dari pintu politik. Maka sekarang, jika engkau baca majalah Al Mujtama’ dan majalah Al-Furqan[29], tidak akan didapati perbedaannya walaupun satu kalimat.
Sekarang kaum muslimin di Indonesia – misalnya — apa urusan mereka dengan seorang yang mencuri dan membunuh di Kuwait, apa kepentingan mereka? Parlemen Kuwait berbuat begini, Amir Kuwait telah sepakat dengan kami. Apa urusannya dengan kita yang di Indonesia? Apa kaitannya anda membuka kekurangan diri kalian sendiri di Perancis?! Kaum muslimin di Perancis semestinya diajari aqidah. Ajari mereka melalui majalah anda, ajari mereka shalat, puasa dan seterusnya. Adapun anda bertengkar dengan pemerintah Kuwait, apa urusannya dengan mereka? Mereka buka aibnya sendiri ke Perancis, Indonesia, melalui majalah Al Furqan, anda lihat?
Tidak ada perbedaan sama sekali antara majalah Al-Furqan dan majalah Al-Mujtama’[30], semuanya dari Kuwait.
Semuanya berisi tentang politik: “Israel berkata…:”, “Mujahidin Palestina berbuat begini…..”, ucapan kosong, ucapan kosong.
Kami tidak memiliki kecuali ilmu. Anda sibuk dengan politik. Semoga Allah memberi taufiq kepada anda, semoga tegak daulah Islam dan Abu Bakr Ash-Shiddiq memimpin kalian, semoga Allah memberi taufiq. Kami hanyalah sibuk dalam tauhid. Alhamdulillah, seratus orang meninggalkan politik, tidak memberikan madlarat apapun. Tapi sebaliknya, jika manusia seluruhnya meninggalkan tauhid adalah musibah, demi Allah![31] Bukankah begitu wahai ahibbati (orang-orang yang kucintai)? Jazakumullahu khaira.
(Sumber: Majalah Salafy, Edisi 33/1420/1999)

Footnote:
[1] Yaitu para shahabat yang berbai’at (sumpah setia) kepada Rasulullah di bawah pohon yang kemudian dinamakan bai’at tersebut Bai’atur Ridwan.
[2] Mereka adalah cikal bakal Khawarij
[3] Yaitu kejadian di masa Yazid, ketika Hajjaj menyerbu kota Madinah, kemudian dibiarkan bebas tanpa penguasa dan tanpa hukum beberapa hari. Maka terjadilah berbagai macam kejahatan dan kekacauan.
[4] Yakni manusia telah ditakdirkan menjadi makhluk sosial, yang fitrahnya ingin bersatu di bawah pimpinan satu orang.
[5] Tambahan ed. Pemilik buku Al Ikhwan Menzalimi Angerah Allah, Farid Nu’man dengan cara yang sangat licik dan rendahan berupaya menipu pembacanya dengan mengatakan: “Tuduhan bahwa beliau telah mengafirkan kaum muslimin pada masanya tidaklah pernah ditemukan buktinya satu kata pun dalam tulisan-tulisan dan karya-karyanya” (hal. 137). Benarkah demikian?
Syaikh Shalih Fauzan hafidhahulah pernah ditanya:
“Apakah boleh memutlakkan (menetapkan secara umum) lafadh “jahiliyyah” (istilah yang disifatkan pada orang kafir sebelum diutusnya nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pent.) kepada masyarakat Islam yang ada saat ini?”
Jawab beliau:
“Kata-kata “jahiliyyah” secara umum telah hilang dengan di utusnya Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak boleh menetapkannya secara mutlak kepada masyarakat Islam dengan sifat umum. Adapun menetapkan secara mutlak perkara-perkara jahiliyyah kepada individu-individu atau kepada firqah tertentu atau masyarakat-masyarakat tertentu maka ini adalah hal yang memungkinkan dan boleh. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada sebagian shahabatnya (artinya):
“Sesungguhnya engkau adalah seorang yang ada sifat jahiliyyah pada dirimu” (HSR. Bukhari dan yang lain)
Dan sabdanya (artinya):
“Ada empat perkara jahiliyyah pada umatku yang tidak akan ditinggalkan: Membanggakan kebesaran leluhur, mencela keturunan, menisbatkan turunnya hujan kepada bintang-bintang dan meratapi mayit.” (HSR. Muslim dan yang lainnya dan ini adalah lafadz hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad V/344) (Al Ajwibah, pertanyaan nomor 81).
Dan untuk membongkar kedustaan si Ikhwani ini, berikut contoh-contoh ucapan keji pengkafiran Sayyid Quthb terhadap kaum muslimin yang di luar kelompok Ikhwanul Musliminnya:
Sayyid Quthb berkata (ketika melenyapkan umat Islam):
“Kita telah mengetahui bahwa kehidupan Islam seperti ini telah berhenti sejak lama di permukaan bumi. Dan keberadaan Islampun telah berhenti…” (Hadhirul Islam wa Mustaqbaluh)
“…sesungguhnya keberadaan agama Islam telah lenyap sejak kelompok terakhir dari kaum muslimin melepaskan pengesaan Allah dalam hakimiyah dalam kehidupan manusia…” (al-‘Adalah, hal.183)
Inilah Sayyid Quthb yang mengkafirkan seluruh muadzin yang mengumandangkan adzan di masjid-masjid kaum muslimin:
“…yaitu kemanusiaan seluruhnya, termasuk di dalamnya mereka yang mengulang-ulang di menara-menara adzan di Timur ataupun di Barat bumi ini kalimat Laailaha illallah tanpa maksud dan tanpa kenyataan. Mereka paling berat dosanya dan paling keras adzabnya karena mereka telah murtad kepada peribadatan para hamba setelah jelas baginya petunjuk dan karena mereka sebelumnya berada dalam dienullah” (Fi Dzilalil Qur’an II/1057)
Kalau seluruh Muadzin di muka bumi telah dikafirkan secara tegas oleh Sayyid Quthb, bagaimana dengan kedudukan masjid yang di sana diserukan adzan dan ditegakkan shalat berjama’ah? Ma’abid Jahiliyyah , tempat peribadatan jahiliyyah! Dan fungsinya diganti dengan rumah-rumah milik anggota Ikhwanul Muslimin. Wallahul musta’an.,ed.
“Demikian pula keadaan di zaman Fir’aun pada masa kini. Di sini Allah mengarahkan kita pada beberapa perkara:…menghindari tempat-tempat peribatan Jahiliyyah dan menjadikan rumah-rumah “kelompok muslimin” sebagai masjid yang di sana mereka dapat merasakan keterpisahan mereka dari masyarakat Jahiliyyah…” (ibid, III/1816)
“…kecuali jika mereka memisahkan keyakinan, perasaan dan juga prinsip hidup mereka dari masyarakat Jahiliyyah dan memisahkan diri dari kaumnya. Hingga Allah mengizinkan bagi mereka untuk mendirikan negara Islam yang mereka berpegang padanya. Kalau tidak, maka hendaknya mereka merasakan dengan seluruh perasaannya bahwa mereka sendirilah sebagai umat Islam dan merasakan bahwa apa dan siapa yang ada di sekitarnya yang tidak masuk kepada apa yang mereka masuki sebagai jahiliyyah dan masyarakat jahiliyyah…”(ibid, II/1125)
Inilah solusi menurut Sayyid Quthb, yaitu menjadi Khawarij, mengkafirkan dan memisahkan diri dari umat Islam dan merasa bahwa hanya dirinya dan orang-orang yang sepaham dengannya sajalah yang Muslim.
Abu Abdillah Jamal Al Haritsi memberikan hasyiyah (catatan kaki pertanyaan nomor 81) dari jawaban Syaikh Shalih Fauzan tentang pemutlakan istilah “jahiliyyah” yang digunakan oleh Sayyid Quthb:
Pengkafiran terhadap masyarakat secara mutlak seperti ini sering didengung-dengungkan oleh Sayyid Quthb dalam kitab-kitabnya, sebagai contoh –dan bukan membatasi contoh ini saja – akan saya kemukakan sebagian ucapannya agar kita tidak dikatakan sebagai orang yang suka mengada-ada:
Dia (Sayyid Quthb) dalam kitabnya Ma’alim fith Thariq hal.101 berkata:
“Masyarakat (sekarang ini, pent.) yang mengaku sebagai masyarakat Islam adalah masuk dalam kategori masyarakat jahiliyyah. Masyarakat ini dianggap sebagai masyarakat jahiliyyah bukan karena mereka masih berkeyakinan akan adanya keIlahiyahan seseorang selain Allah dan juga bukan karena mereka mengutamakan syiar-syiar peribadatan kepada selain Allah. Masyarakat ini dikategorikan sebagai masyarakat jahiliyyah karena disamping mereka beragama dengan beribadah kepada Allah saja dalam semua aturan hidupnya dan walaupun mereka tidak meyakini adanya ke-Ilahiyahan seorangpun selain Allah, tetapi mereka masih memberikan kekhususan yang sangat khusus dari sifat ke-Ilahiyah an kepada selain Allah, yaitu mereka masih beragama dengan bertahkim/berhukum dengan selain hukum yang diturunkan oleh Allah…”
Lanjutnya, “Apabila perkara ini sudah jelas, maka sikap Islam terhadap masyarakat jahiliyyah seperti ini adalah berkisar pada satu ungkapan, yaitu: “Bahwa Islam menolak pengakuan seperti ini, yaitu pengakuan keIslaman masyarakat ini secara keseluruhan”.
Dalam kitab Al Adalah Al Ijtima’iyyah, hal.250 ia mengatakan:
“Tatkala kita mau memandang seluruh permukaan bumi pada masa sekarang ini – sesuai pemahaman ilahi terhadap dien dan Islam ini – maka kita tidak akan melihat agama ini masih ada (di permukaan bumi ini)…sesungguhnya kenyataan ini berawal sejak kelompok kaum muslimin kosong dari “Hakimiyah” dalam kehidupan mereka…, kita harus mengungkap kenyataan yang menyakitkan ini dan meneriakkannya tanpa khawatir terhadap angan-angan yang ada di hati kebanyakan orang, yang mana mereka suka untuk disebut “muslimin”…Maka biarkanlah mereka mengaku sebagai “muslimin” karena itu hak mereka”.
Dalam tafsirnya Fi Dhilalil Qur’an II/1057, Sayyid Quthb mengatakan, “Sungguh jaman telah beredar kembali lagi seperti hari di mana agama ini datang di tengah-tengah manusia (masa jahiliyyah, pent.). Sikap manusia sekarang sudah kembali lagi seperti sikap mereka (orang-orang jahiliyyah) yaitu pada waktu Al Qur’an turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam…, jaman sudah kembali seperti hari di mana agama ini datang kepada orang-orang jahiliyyah dengan membawa kalimat Laa ilaha illallah. Manusia benar-benar sudah murtad karena penyembahan mereka terhadap sesamanya. Mereka menuju agama (aturan-aturan) yang dhalim. Mereka telah mengurangi makna Laa ilaaha illallah meski diantara mereka masih mendengung-dengungkan Laa illaha illallah di menara-menara (ketika mengumandangkan adzan, pent.), namun mereka tidak mengerti kandungannya…(telah kita ketahui bersama bahwa menurut dia kandungannya yang terpenting adalah “Hakimiyyah” Allah Ta’ala, pent.).
Manusia semuanya tanpa terkecuali yang suka mengumandangkan kalimat Laa ilaaha illallah di menara-menara, baik yang ada di penjuru barat atau timur, tanpa ada konsekwensi dan kenyataannya…Mereka itulah orang yang paling besar dosanya dan paling pedih siksanya di hari kiamat karena mereka murtad (keluar dari agama Islam) dan memilih beribadah kepada sesamanya setelah adanya petunjuk yang jelas bagi mereka dan setelah mereka mengaku-ngaku berada di atas agama Allah”.
[Mungkin sebagian pembaca akan menyatakan bahwa nukilan bukti pengkafiran-pengkafiran buah karya Sayyid Quthb di atas terlalu berlebihan dan dipaksakan. Harap pembaca tidak terburu mengingkari fakta ini, karena sesungguhnya hal ini juga dibenarkan dan disaksikan tokoh-tokoh besar Ikhwanul Muslimin sendiri, diantaranya, ed.]:
~ Dan yang menjadi saksi bahwa Sayyid Quthb telah mengkafirkan masyarakat Islam ialah Yusuf Al-Qaradhawi yang terdapat dalam kitabnya Aulawiyyatul Harakah Al Islamiyyah, hal.110 ia berkata:
”Pada fase ini telah muncul buku-buku karya Sayyid Quthb yang merupakan pemikiran terakhirnya. Dan kitab-kitab tersebut memercikkan (pemikiran) pengkafiran terhadap masyarakat dan perlunya penundaan dakwah untuk mengajak kepada peraturan Islam (yang diutamakan yaitu masalah Hakimiyah-hakimiyah dulu, sebelum yang lainnya,pent.)…pengumandangan jihad melawan seluruh manusia…” Selanjutnya ia (Yusuf Al Qaradhawi) berkata, “Lebih jelas lagi dalam kitab Asy Syahid (Sayyid Quthb): Fi Dzilalil Qur’an, Ma’alim Fith Thariq dan dalam kitab Al Islam wa Musykilah Al Hadharah”.
~ Saksi lainnya adalah Ahmad Farid Abdul Khaliq, salah seorang gembong Ikhwanul Muslimin yang mana ia berkata dalam kitabnya Ikhwanul Muslimin fi Manzilatil Haq hal.115:
”Bahwa awal mula pemikiran pengkafiran terhadap kaum muslimin yang dimulai oleh para pemuda sebagian “Ikhwan” adalah sewaktu mereka berada dalam penjara Al-Qanathir pada akhir-akhir tahun 50-an awal-awal tahun 60-an, mereka terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Sayyid Quthb dan karya-karya tulisnya. Yang mereka ambil darinya adalah pemikiran-pemikiran: “Bahwa masyarakat ini berada dalam kejahiliyyahan dan pemerintah-pemerintah yang ada ini kafir karena tidak berhukum dengan hukum Allah. Demikian pula rakyatnya karena kerelaan mereka terhadap selain hukum Allah itu” (Catatan kaki Abu Abdillah Jamal Al Haritsi dari pertanyaan nomor 81 di Kitab Al Ajwibah Al Mufidah, Syaikh Shalih Fauzan hafidhahullah)
Adakah pengaruhnya bahwa Farid Nu’man, seorang pegawai lokal “emperan” partai politik Ikhwanul Muslimin yang (tanpa rasa malu sedikitpun) mengingkari bukti terang benderang virus pengkafiran yang disebarluaskan Sayyid Quthb terhadap masyarakat muslimin sementara para pejabat tinggi Ikhwanul Muslimin internasional sekaliber Yusuf Qaradhawi dan Ahmad Farid Abdul Khaliq justru mengakui keberadaan virus membinasakan? Bagaimana mungkin akal seorang yang waras dapat menerima kenyataan bahwa orang-orang yang menyingkap bukti-bukti kebengisan pengkafiran Sayyid Quthb yang tersebar di tubuh Ikhwanul Muslimin justru yang dituduh “Bengis”, “Keras”, “Kasar”, “Extreem” sementara si virus pengkafiran itu sendiri beserta konco-konconya malah bebas melenggang, dielu-elukan sebagai Asy-Syahid?!
Jadi, bukan Salafi yang bengis tetapi Ikhwanul Muslimin yang nyata-nyata buas dan bengis terhadap kaum muslimin. Ikhwanul Muslimin yang tidak memiliki rasa kasih sayang terhadap umat. Ikhwanul Musliminlah yang extreem. Partai politik Ikhwanul Musliminlah yang keras dan kejam, menebarkan bombing dan kekacauan di negeri-negeri kaum Muslimin tanpa rasa kasih sayang. Ikhwan-lah yang tega mengorbankan darah kaum m slimin demi ambisi dan syahwat da’i-da’i politiknya.
Lihat juga revolusi Sayyid Quthb, revolusi pengkafirannya di :
http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=34th=2
[6] Ketika menurut perhitungan Khalid jumlah kaum muslimin tidak cukup, beliau membikin siasat agar terlihat jumlah kaum muslimin banyak dan bertambah banyak. hingga musuh pun mundur. Dan Khalid tidak mengejarnya melainkan kembali ke Madinah menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,-pent.
[7] Bapak Khawarij yakni tokoh mereka yang pertama Dzulkhuwasirah yang menuduh Nabi tidak berhukum dengan hukum Allah dalam pembagian ghanimah.
[8] Yakni masuk menembus sasarannya hingga keluar lagi dari sisi lainnya. Demikian mereka musuh ke dalam Islam kemudian tembus keluar dari sisi lain.
[9] Yaitu anggur yang dikeringkan. Dipermisalkan dengan zabib (anggur kering) karena hitam, berkerut-kerut, dan jeleknya kepala orang tersebut.
[10] Yakni akhlaq mulia yang sudah ada ditetapkan dan disempurnakan oleh rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[11] Yakni persiapan fisik dan materi secara perhitungan manusia.
[12] Seperti Amar bin Yasir yang terpaksa menyebutkan berhala-berhala musyrikin.
[13] Pada perjanjian Hudaibiyyah. Umar radliyallahu ‘anhu ragu-ragu mengapa keputusan sejahat itu diterima. Apa maslahatnya?
[14] Yakni hari Hudaibiyyah, di mana Abu Jandal ketika masuk Islam dikembalikan kepada orang-orang kafir.
[15] Semua takhrij-takhrij hadits dalam terjemahan buku ini dan team penerjemah
[16] Terbukti dalam jarak waktu, dari perjanjian Hudaibiyah yang kaum muslimin berjumlah sekitar 1400 orang, hingga kaum muslimin berangkat untuk Fathu Makkah jumlah mereka telah bertambah menjadi sekitar 12000 orang.
[17] Saya (Ustadz Muhammad, pent.) juga mendengar langsung kalimat yang senada dengan ini, dari Syaikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, ketika saya belajar di majelis beliau. Bahkan yang saya ingat beliau mengatakan : “Kalian hanya memiliki pisau dapur.”
[18] Tambahan ed. Pertanyaan senada juga ditanyakan oleh partai FIS kepada Syaikh Al Albani sebelum mereka ikut serta dalam pemilu Aljazair, namun nasehat beliau ternyata tidak digubris. Terjadilah apa yang terjadi, kaum muslimin bersimbah darah karena ambisi segelintir manusia ber”otak” Ikhwani yang tega menunggangi dan memprovokasi masyarakat demi nafsu dan ambisi hina politik kekuasaannya. Berikut dialog antara Syaikh Al Albani dengan partai FIS Aljazair:
http://salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=237
Adapun surat nasehat beliau kepada para pemuda FIS:
http://salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=239
Karena itulah umat Islam harus berhati-hati dari para politikus yang bergentayangan menjajakan ayat-ayat Allah demi ambisi kekuasaan yang menjadi tujuan:
http://salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=236

[19] Yang membunuh kaum muslimin di pihak Syaikh Jamilurrahman.
[20] Lihat footnote nomor 3.
[21] Yakni berakal, mengerti naql (syariat), dan kasih sayang.
[22] Ada pembicaraan di luar ceramah yang kami tidak terjemahkan, yaitu tentang pertikaian antara beliau dengan orang-orang Syi’ah di Masjid Kuba.
[23] Ba’ts adalah Partai Kebangkitan Bangsa Iraq yang berdasarkan komunisme.
[24] Orang yang berani tanpa perhitungan
[25] Ketika Utsman shalat di Mina pada musim Haji dengan sempurna, tidak mengqasharnya, sebagaimana sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan alasan banyaknya orang-orang awam di kala itu. Maka sebagian shahabat mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Dan ini termasuk ijtihad beliau radliyallahu ‘anhu.
[26] Beliau sempat bertemu dengan kami di rumah Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali, dan beliau memiliki beberapa karya tulis.
[27] Karena orang-orang yang ta’ashub dengan madzhab Hanafi tidak bersedekap dalam shalatnya.
[28] Karena di’ Bangladesh, sebagian besar orang tidak menghidupkan sunnah (mengucapkan) amin, bahkan kalau mereka melihat cda orang yang (mengucapkan) amin, mereka akan serta merta memusuhinya.
[29] Al-Mujtama’ adalah milik Ikhwanul Muslimin Kuwait yang mayoritas isinya adalah masalah politik. Sedangkan Al-Furqan milik Ihya’ut Turats Kuwait., yang dulunya mereka mengaku di atas manhaj salaf., tetapi ternyata mereka berbelok ke arah pemikiran Ikhwan.
[30] Tambahan ed. Perhatikan wahai saudaraku rahimani rahimakumullah betapa persis dan samanya pernyataan Syaikh di atas (yang diucapkan pada tahun 1999) dengan data yang diungkapkan oleh al-Akh Abu Sufyan Beecher al Amriki. Di bawah judul “AT-TUROTS DAN IKHWANUL-MUSLIMIN” beliau menulis:
Kutipan:
“Dan di Kuwait terjadi kerjasama antara dua golongan Islam yang paling dikenal, dan mereka itu adalah Ikhwanul Muslimun dan Salafy [Dengan kata lain, Jam’iyah Ihya’ at-Turots], dalam banyak hal, seperti dalam bidang Relief dan usaha bersama, bahkan jika diperlukan lebih dari sekedar itu…”
Pembicara: Wa’il al-Hasawi
Sumber: Koran Al-Anba’
Nomor: 6159, hal.7
Tanggal: 2/7/1993
(Berkata Al akh Aboo Sufyan Beecher, red) : “Sekarang orang mungkin akan berkata bahwa pernyataan ini adalah usang dan pandangannya mungkin saja sudah berbeda sekarang ini. Marilah kita perhatikan orang yang sama, yaitu Wa’il al-Hasawi, Mantan Editor yang mengetuai Al Furqan (majalah Ihya’ at-Turots dan badan keanggotaan at-Turots, harus mengatakan 10 tahun kemudian… ” :
Kutipan:
“… lebih dari 30 tahun yang lalu, ada dua kelompok Islam terbesar. Mereka adalah golongan Gerakan Konstitusional Islam (Islamic Constitutional Movement- ICM) [atau dikenal Ikhwanul-Mujrimin] dan kaum Salaf [atau At-Turots] dan mereka mampu, dengan ijin Allah, untuk mewujudkan banyak prestasi yang tidak ada tandingannya di Kuwait, dan mereka bisa menarik minat dan simpati semua orang. Dan kedua golongan ini mampu saling berkoordinasi satu sama lain, dan melakukan kerjasama dalam banyak urusan kenegaraan, kemanusiaan dan urusan-urusan politik…dan bekerja sama mewujudkan pemilihan dan fungsi parlemen, serta kerjasama dalam pemilihan Komite Guru dan Persatuan Murid (Teachers Committee and the Students Union ) juga koordinasi yang berhubungan dengan komunikasi dan masih banyak lagi yang lainnya. Dan tidak perlu diragukan lagi bahwa jumlah aspirasi dari dua golongan ini [Ikhwan dan Turots] dan siapa saja yang mengidolakannya lebih banyak dari pada golongan mereka sendiri. Kami mohon agar Allah melebihkannya.”
Pembicara: Wa’il al-Hasawi
Sumber: Koran Ar-Ra’iyy
Nomor: 13123
Tanggal: 26/5/2003
(Berkata Al akh Aboo Sufyan Beecher, red) : “Jika dikembalikan lagi pada persoalan pertama dari sepuluh yang ada di Al-Furqan, dan kita ambil sepuluh yang terakhir dan kita bandingkan, dia tidak akan menemukan perbedaan. Namun jikalau dia mengambil sepuluh terakhir dari salinan Al-Mujtama’, majalah dari Jam’iyyah al-Islah (Ikhwanul Muslimin) dan membandingkannya dengan sepuluh persoalan terakhir dari Al-Furqan, dia tidak akan menemukan perbedaan! Inilah manhaj Jam’iyah Ihya’ at-Turots.
[31] Tambahan ed. Berkata Abu Abdillah Jamal Al Haritsi dalam hasyiyah pertanyaan nomor 49 di kitab Ajwibah Al Mufidahnya Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan:
Sesungguhnya dakwah tauhid menurut “Firqah Tabligh” dan “Firqah Ikhwanul Muslimin” adalah merupakan perkara yang membuat manusia lari dan memecah belah umat Islam –menurut sangkaan mereka -. Dan mereka berpendapat bahwa dakwah tauhid itu bukan bagian dari dasar-dasar dakwah. Mereka juga tidak ridha terhadap orang-orang yang menyeru kepada tauhid, bahkan tatkala ada orang-orang yang menyeru kepada tauhid, bahkan tatkala ada orang yang masuk firqahnya lalu ia membicarakan masalah tauhid, maka mereka akan segera memperingatkannya.
Dan ini adalah kenyataan yang terjadi pada diri ustadz Muhammad Ibnu Abdullah ibnu Muhammad Al Ahmad yang telah disebutkan oleh Syaikh Hamud At Tuwaijiri di dalam kitabnya Al Qaulul Baligh fit Tahdzir min Jama’atit Tabligh (hal.46) dan aku (Abu Abdillah Al Haritsi) ringkaskan di sini:
“Ustadz Muhammad berkata, “Amir (Amir Firqatut Tabligh) pernah memintaku untuk memberikan pengarahan kepada para jama’ah haji setelah shalat Ashar – dimana saya adalah orang yang baru saja ikut khuruj bersama jama’ah ini – lalu Amir meminta kepada pembantunya agar memberikan pesan kepadaku, kemudian ia (pembantunya) berkata: “Dalam pembicaraanmu harus dijauhkan dari tiga perkara, – yang disebutkan salah satu diantaranya –: “MEMBICARAKAN MASALAH KESYIRIKAN DAN BID’AH-BID’AH, karena sesungguhnya sebab lemahnya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah karena terlalu perhatian dalam hal ini”.
Saya (Abu Abdillah Al Haritsi) katakan, “Contoh-contoh dalam hal ini adalah banyak sekali, bukalah kembali kitab tersebut niscaya engkau akan menjumpai hal-hal yang sangat mengherankan.
Adapun Firqah “Ikhwanul Muslimin”, adalah suatu firqah yang dibangun di atas dasar “pengumpulan” (persatuan) karrna mengumpulkan antara berbagai kelompok ahlul bid’ah dan ahlul ahwa ([engikut hawa nafsu), sehingga seorang Rafidhah adalah saudara mereka, ia termasuk bagian dan golongan mereka, demikian pula seorang Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, Shufiyah, penyembah kubur, ashabul mawalid (para penggemar maulidan) bahkan Yahudi dan Nasrani. Dan ambilllah bukti-bukti ini:
Berkata Hasan Al banna, “Sesungguhnya permusuhan kita dengan Yahudi bukanlah karena agama, karena Al Qur’anul Karim menganjurkan untuk bersahabat dan berteman dengan mereka”.
Adapun yang berkaitan dengan orang-orang Nasrani adalah seperti yang dinukil oleh Jabir Rizq (seorang Ikhwanul Muslimin) di dalam kitabnya Hasan Al Banna bi Aqlami Talamidzatihi wa Mu’ashirihi hal.188 dan dari ucapan Doktor Hassan Hat Hut (seorang Ikhwanul Muslimin) dengan tema Tuhmatut Ta’ashshub (anggapan sikap fanatic), ia (Hassan Hat Hut) berkata, “Apakah “Qanaa” itu? Yaitu suatu acara yang dimulai dengan pesta besar dan pada puncaknya, ualma kaum muslimin dan para pendeta Nasrani (Mesir) saling berbangga, tercipta rasa kecintaan, keseriusan, dan persaudaraan yang berjalan seperti jalannya aliran listrik…dan dasar disebutkannya pendeta Nasrani di sini adalah karena banyak orang yang berusaha ingin mengesankan bahwa orang ini (Hasan Al Banna) adalah seorang yang fanatik dalam memerangi Nasrani dalam dakwahnya, atau anggapan bahwa dia seorang yang fanatik dalam memisahkan dua unsur umat ini (yaitu Islam dan Nasrani).
Akan tetapi Allah dan orang-orang yang hadir (dalam acara itu) dari kalangan shiddiqin menjadi saksi bahwa yang benar adalah sebaliknya…orang ini (Hasan Al banna) tidak pernah mengajak kepada kebencian dan perpecahan. Dan dia memberi keterangan bahwa dakwah adalah untuk penerapan syariat Islam dan tidak mungkin syariat Islam itu untuk para pendeta, karena syariat akan memperlakukan kita dan mereka sama.
Sesungguhnya syariat Islam tidak menuntut secara mutlak keNasraniannya orang nasrani karena ia hanyalah kumpulan undang-undang/peraturan yang tidak ditemukan di dalam agama nasrani sebagai penggantinya dan tidak pula menghapus hukum-hukumnya. Dan seandainya engkau temukan suatu peraturan di dalam Injil, maka hendaknya kamu terapkan undang-undang Injil kepada orang-orang Nasrani. Dan Islam tidak menemukan kekurangan dalam hal ini. Sesungguhnya selama pendapat mayoritas tidak meniadakan adama minoritas, maka tidak akan ada yang halim dan yang didhalimi. Sungguh kebenaran dakwah orang ini (Hasan Al Banna) telah mudah diterima oleh orang yang memiliki pemahaman (yang baik), baik dari kalangan kaum muslimin sendiri maupun para pendeta Nasrani…Dan cukup aku ingatkan kepada orang-orang yang menyangka bahwa orang ini (Hasan Al Banna) memusuhi orang-orang Nasrani dengan (kenyataan) bahwa: “LUWAIS FANUS” ketua para pendeta (ia sekarang sudah meninggal) adalah seorang pendengar setia pelajaran hari Sealasa yang disampaikan oleh Hasan Al Banna dan dianatar keduanya ada kontak dan persahabatan yang erat.
Dan bahwa; Ketika Hasan Al Banna dicalonkan dalam “parlemen” pada pemilihan umum, wakilnya yang menyertainya dalam salah satu lajnah pemilu adalah seorang Qibti (orang Mesir yang beragama Nasrani).
Dan bukti yang lain bahwa ketika ia (Hasan Al Banna) dimandikan sewaktu (meninggal), pemerintah melarang untuk mengumumkan jenazah seorangpun, sehingga tidak ada yang mengiringi jenazahnya kecuali dua orang saja yaitu ayahnya dan satu orang lagi yaitu Mukaram ‘Ubaid, seorang tokoh politik beragama Nasrani.
Dan aku (Doktor Hassan Hah Hut) sebutkan pula bahwa ketika kami menjadi mahasiswa, kami mengunjungi perkumpulan pemuda-pemuda Nashara dalam rangka membicarakan masalah sikap Islam terhadap agama Nasrani”, lalu kami keluar (meninggalkan mereka) dan sungguh kami merasa bahwa mereka itu manusia yang paling dekat kasih sayangnya”. Selesai ucapannya.
Maka aku (Abu Abdillah Al Haritsi) katakan: Ucapan semacam ini adalah tidak perlu ta’liq (penjelasan) karena hal ini sudah jelas. Aku cukupkan nukilanku terhadap ucapan-ucapan ini, karena sudah panjang lebar nukilannya, yang aku inginkan tidak lain hanyalah agar semua paham bahwa kaidah “Ikhwanul Muslimin” adalah: Pengumpulan (persatuan) umat di bawah nama Islam, tidak mementingkan tashfiyah (pemurnian) aqidah, Karena sesungguhnya dakwah tauhid dan manhaj salaf tidak akan menghantarkan kepada persahabatan mereka dengan Yahudi, Nasrani, Rafidhah, ahli bid’ah dan para pengikut hawa nafsu yang sesat dan menyesatkan.
Sedangkan kaidah mereka adalah ucapan Hasan Al Banna yang masyhur, berkata Doktor Hassan Hat Hut, “Dan sebagian dari pengajaran yang selalu diulang-ulang dan tidak bosan-bosannya adalah ucapannya yang masyhur, yang senantiasa “hidup” sampai hari ini: “Kita melangkah bersama-sama pada apa yang telah kita sepakati dan kita saling memaafkan dalam hal-hal yang kita perselisihkan” (ibid, hal.190)
Maka ucapan-ucapan ni adalah jelas, nyata-nyata bertentangan dengan kaidah Al Wala’ wal Bara’, cinta karena Allah dan benci karena Allah. Aslinya kaidah ini adalah kaidahnya pemilik majalah Al manar yang kemudian ditransfer oleh Ikhwanul Muslimin karena sesuai dengan hawa nafsunya:
Hawa nafsu mendatangiku sebelum aku mengenal hawa
Kemudian hawa itu hinggap pada hati yang kosong
Lalu menancap padanya
Dan aku (Abu Abdillah Al Haritsi) tidak memperpanjang penukilan tentang Ikhwanul Muslimin karena bagi orang yang berakal, isyarakt-isyarat tersebut telah mencukupinya. Selesai pernyataan beliau.
Lalu apa hubungan persaudaraan antara Ikhwanul Muslimin dengan Rafidhah?
Adakah orang-orang Ikhwanul Muslimin yang mengingkari bahwa merekalah pelopor taqrib/pendekatan antara Sunnah dengan Syi’ah?
Adakah orang-orang Ikhwanul Muslimin yang tanpa rasa malu berani mengingkari bahwa Ikhwanul Muslimin-lah yang menyambut dengan riang gembira penuh suka cita mengelu-elukan kesuksesan gerakan revolusi Rafidhah Khumaini Al Mal’un yang diberi baju dusta sebagai Revolusi Islam?
Seberapa “bengis” Khumaini Al Mal’un yang revolusi Rafidhahnya dielu-elukan oleh Ikhwanul Muslimin ini? Berikut contoh ucapan-ucapannya (dan kita berlepas diri dari kekafirannya):
Khumaini (semoga Allah melaknatnya) berkata tentang para shahabat Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam :
“Mereka (para shahabat) itu selalu mendambakan kesenangan duniawi dan pemerintahan tanpa menghormati sedikitpun kepada islam dan Al Qur’an. Mereka menjadikan Al Qur’an itu sekedar tameng untuk menutupi niat jahat yang terpendam dalam hati mereka. Mereka berani mengesampingkan ayat-ayat yang mengisyaratkan keabsahan kekhalifahan Ali radhiyallahu ‘anhu. Mereka berani memutarbalikkan Al Qur’an dan menjauhkannya dari pandangan ahli dunia untuk sepanjang masa yang menyebabkan aib bagi Al Qur’an dan bagi kaum muslimin sendiri sepanjang masa. Tuduhan pemalsuan dan pemutarbalikan terhadap kitab-kitab suci yang pernah dituduhkan kepada kaum Yahudi dan Nasrani juga telah mereka lakukan.” (Kasyiful Asrar hal.114).
Syi’ah telah mengingkari jaminan Allah Ta’ala seperti di dalam Surah Al Hijr ayat 9, Al Qiyamah ayat 17-19, Fushshilat ayat 42 bahwa Al Qur’an akan tetap dijaga, dijamin dan dipelihara kemurniannya sampai hari kiamat. Seperti apa Al Qur’an dan seberapa banyak ayatnya yang diyakini oleh agama Syi’ah?
Ahli hadits terbesar mereka, Al Kulaini meriwayatkan di dalam kitabnya “Al kaafy fil Ushul dari Hisyam bin Salim, dari Abu Abdullah ‘alaihis salam yang berkata, “Bahwa Al Qur’an yang disampaikan oleh Jibril kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiri atas 17.000 ayat.” (Al Kaafi fil Ushul, kitab Fadhlul Qur’an bab An Nawaadir, hal.634, juz II cetakan Teheran tahun 1381 H).
Sedangkan yang sebenarnya ayat-ayat Al Qur’an adalah 6000 lebih sedikit. Dan telah menyebut ahli tafsir Syi’ah, Abu Ali Ath Thabrisi dalam menafsirkan surah Ad Dahru bahwa semua ayat Al Qur’an adalah 6236 (Tafsir Majma’ul Bayaan, Ath Thabrisi, hal.406. juz X, cetakan Teheran tahun 1374H).
Ini berarti agama Syi’ah telah kehilangan dua pertiga Al Qur’annya! Dan terdapat nash tentang ini riwayat Al Kaafi juga dari Abu Bashiir yang mengatakan, “Saya masuk ke rumah Abu Abdullah ‘Alaihis salam…Ia berkata, “Sungguh itu ilmu dan bukan hanya itu.” Kemudian ia terdiam lagi sebentar, lalu berkata, “dan kami memiliki mushhaf Fathimah ‘alaihis salam. Tahukah mereka apa itu mushhaf Fathimah?” Ia menjawab, “Yaitu mushhaf yang di dalamnya ada seperti Al Qur’an kamu ini tiga kalinya, demi Allah apa yang ada di dalam Al Qur’an kamu itu hanyalah merupakan satu huruf saja…” (Al Kaafi fil Ushul, kitab Al Hujjah, bab yang menerangkan Ash Shahifah, Al Jafr, Al Jami’ah dan Mushhaf Fathimah, hal.239-241, juz I, cetakan Teheran)
Perhatikanlah apa yang diriwayatkan oleh Syi’ah tentang Abu ja’far yang diterangkan oleh pengarang kitab Basha’irud Darajad: “Mengabarkan kepada kami Ali bin Muhammad dari Al Qasim bin Muhammad, dari Sulaiman bin Dawud, dari Yahya bin Adhim, dari Syarik, dari Jabir yang mengatakan, telah berkata Abu ja’far, “Rasulullah pernah memanggil shahabat-shahabatnya di Mina dan berkata, “Wahai manusia, aku meninggalkan bagi kamu hurumat (yang disucikan) Allah, yaitu Kitabullah, keluargaku dan Ka’bah.” Lalu berkata Abu ja’far, “Adapun Kitabullah, maka bakarlah olehmu, adapun Ka’bah maka runtuhkanlah olehmu, adapun keluarga maka bunuhilah olehmu dan semua peninggalan Allah sudah kamu hancurkan.” (Basha’irud Darajad, juz VIII, bab 17, cetakan Iran tahun 1285)
Masih adakah gerangan yang lebih hebat dari ini? Masih, di sana masih banyak, bahkan lebih terang yaitu apa yang diriwayatkan oleh Al Kulaini dalam Al kaafi yang menerangkan bahwa Abul Hasan, Musa ‘alaihis salam telah mengirimkan surat kepada Ali bin Suwaid yang berada di dalam penjara yang bunyinya: “Janganlah kamu mendengarkan agama dari selain orang Syi’ah, jangan engkau mencintai agama mereka, sebab mereka adalah pengkhianat yang telah mengkhianati Allah dan rasulNya, mereka telah mengkhianati amanat-amanat mereka. Tahukah kamu, siapakah yang telah mengkhianati amanat-amanat itu? Percayailah Kitabullah, lalu ubah-ubahlah dan gantilah’ (Al Kaafi, hal.125 juz VIII, cetakan Teheran).
Tentu agama Syi’ah tidak akan begitu saja mengakui bukti-bukti tak terbantahkan di atas yang bersumber dari kitab-kitab rujukan utama mereka sendiri. Mereka akan berupaya melancarkan taqiyyah/berdusta yang juga menjadi sendi utama agama Syi’ah sebagaimana ucapan pembesarnya, Syaikh ahli hadits mereka, Muhammad bin Ali bin Al Husain bin Babawaih Al Qummi di dalam risalahnya yang terkenal “Al I’tiqadat” berkata: “At Taqiyyah itu wajib, siapa yang meninggalkannya sama dengan orang yang meninggalkan shalat.” Dan katanya selanjutnya, “At Taqiyyah itu wajib, tidak boleh ditinggalkan sampai munculnya Al Qa’im (imam Syi’ah yang masih menghilang), siapa yang melanggarnya sebelum nunculnya imam itu maka berarti ia sudah keluar dari agama Allah, juga keluar dari agama Al Imamiyah (Syi’ah). Berarti menatang Allah, RasulNya dan para imam. Ash Shadiq alaihis salam pernah ditanya tentang firman Allah nyang berbunyi: “Inna akramakum ‘indallahi atqakum” yang menurut kitab Ahlus Sunnah berarti: “orang yang paling mulia menurut Allah adalah orang yang paling taqwa”. Sedang menurut imam mereka yang bernama Ash Shadiq alaihis salam, artinya ialah: “Orang yang paling mulia menurut Allah ialah orang ang paling banyak melakukan taqiyyah, yaitu berbohong untuk membela agama Syi’ah tentu saja.” (Al I’tiqadat, pasal “At Taqiyyah”, cetakan Iran tahun 1284H).
Salah seorang imam besar ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub Al Kulaini berkata, “At Taqiyyatu min diini wa diini abaa’i”, artinya “Berdusta adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Menurut Al Kulaini, yang berkata demikian ini adalah Imam ke lima dari Imam yang dua belas, menurut anggapan mereka. (Al Kaafi fil Ushul, bab Taqiyyah, hal.219, juz II, cetakan Iran.
Lebih hebat dari itu, juga apa yang diriwayatkan oleh Al Kulaini dalam “shahihnya dari Abu Bashir yang mengatakan, “Telah berkata Abu Abdullah alaihis salam bahwa At Taqiyyah adalah agama Allah”, aku bertanya, “Dari agama Allah?” Ia menjawab, “Ya demi Allah, dari agama Allah”. (ibid, hal.217, juz II, cetakan Iran)
Bagaimana taqiyyah/dusta Syi’ah dalam rangka mengecoh kaum muslimin mengenai keyakinan mereka bahwa Al Qur’an telah diubah-ubah dan mereka memiliki Mushhaf Fathimah yang jemlahnya tiga kali lipat lebih banyak daripada Mushhaf yang dipegang oleh kaum muslimin dewasa ini?
Mereka akan mengatakan: “Bagaimana mungkin kami berkeyakinan seperti itu padahal kami memegang dan membaca Al Quran yang sama sebagaimana Al Qur’an yang kalian pegang dan baca?”
Maka jawablah gonggongan kekafiran tersebut dengan ucapan pembesar mereka sendiri di kitab mereka sendiri pula! Ni’matullah Al jazairi dalam bukunya Al Anwar an Nu’maniyyah 2, hal.363-364, cetakan Teheran berkata:
“Ia berkata, “Jika anda bertanya, mengapa (kami) dibenarkan membaca Al Qur’an ini, padahal ia telah mengalami perubahan?” Saya menjawab; “Telah diriwayatkan di dalam banyak riwayat bahwa mereka (para imam Syi’ah) menyuruh golongan mereka untuk membaca Al Qur’an yang ada di tangan umat Islam di waktu shalat dan lain-lain dan melaksanakan hukum-hukumnya sampai kelak datang waktunya pemimpin kita, shahibuz zaman muncul lalu menarik dari beredarnya Al Qur’an yang ada di tengah umat Islam ini ke langit dan mengeluarkan Al Qur’an yang dulu disusun oleh Amirul Mukminin alaihis salam, lali Al Qur’an inilah yang dibaca dan diamalkan hukum-hukumnya.”
Ulama Syi’ah, Al Karmani berkata, “Telah terjadi perubahan kalimat, pemindahan dan pengurangan di dalam Al Qur’an. Al Qur’an yang sebenar-benarnya terpelihara hanyalah yang ada di tangan Al Qaim (imam ke 12 yang ghaib) dan golongan Syi’ah sebenarnya hanyalah karena terpaksa membaca Al Qur’an yang ada ini karena taqiyyah yang diperintahkan oleh keluarga Muhammad ‘alaihis salam.” (Ar Raddu ‘ala hasyim Asy Syami, hal.14, cetakan Karman, Iran)
Bagaimana taqiyyah tidak dikatakan sebagai aqidah pokok di sisi agama Syi’ah, bahkan demi aqidah ini mereka berani berkata dusta dan lancang atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kata mereka pernah berkata, “Perumpamaan orang beriman yang tidak mengamalkan Taqiyyah adalah seperti satu jasad tanpa kepala.” (Tafsir Al Askari, hal.162, cetakan Ja’fari di India).
Demikianlah, tiap menyebut kata-kata “Syi’ah”, pasti terbayang kata-kata “dusta” besertanya. Seolah kedua kata tersebut identik, tiada memiliki perbedaan. Bahkan sejak hari pertama agama ini dimunculkan oleh Yahudi Abdullah bin Saba’.
Apakah yang dapat dikatakan oleh agama Syi’ah Rafidhah tentang bukti-bukti semua ini? Apapula yang dapat dikatakan oleh manusia-manusia yang masih berpikiran sehat? Siapakah yang berdosa wahai tuan-tuan? Pelaku kejahatan serta Ikhwanul Muslimin yang mengelu-elukannya yang menanggung dosa dan mendapat kehinaan ataukah “Salafi bengis, extreme, keras, radikal” – istilah bikinan mereka sendiri- yang telah menunjukkan perbuatan dosa dan kufur yang dipikul oleh manusia-manusia jahat yang disesatkan ini? Yang telah menimbulkan segala kepedihan yang telah dirasakan ini?
Betapa tepatnya pernyataan Imam Asy Sya’bi rahimahullah yang membandingkan antara Syi’ah Rafidhah dengan Yahudi dan Nasrani dalam menilai shahabat Nabi mereka, (artinya):
“Ketika kaum Yahudi ditanya, “Siapakah orang yang terbaik dalam agamamu (agama Yahudi)?” Jawab kaum Yahudi: “Yang terbaik dalam agama kami adalah mereka yang pernah menjadi shahabat Musa ‘Alaihis salam”.
Ketika ditanyakan kepada kaum Nasrani, “Siapakah orang yang terbaik dalam agamamu (Nasrani)?” Jawab kaum Nasrani: “Orang-orang yang terbaik dalam agama kami (Nasrani) adalah orang-orang yang pernah menjadi shahabat Isa ‘alaihis salam.”
Ketika kaum Syi’ah Rafidhah ditanya: “Siapakah orang-orang yang paling jahat dalam agamamu (Islam)?” Jawab mereka: “Yang paling jahat dalam agama kami adalah mereka yang pernah menjadi shahabat Muhammad”.
Dan ketika kaum Syi’ah Rafidhah itu disuruh untuk memintakan ampun bagi para shahabat Nabi itu, maka mereka menolaknya mentah-mentah bahkan diikutinya pula dengan caci maki yang pedas terhadap para shahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum” (Minhajus Sunnah I/6).
Bagaimana Syi’ah Rafidhah anak cucu Yahudi Abdullah bin Saba’ mau memintakan ampun bagi para shahabat jika mereka justru memiliki keyakinan busuk dan jahat bahwa mayoritas para shahabat telah murtad sepeninggal Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam!
Al Kasyi, tokoh besar mereka meriwayatkan (katanya) dari Abu Ja’far yang mengatakan, “Semua manusia murtad sepeninggal Rasulullah kecuali hanya tiga orang yang tidak murtad.” Saya tanyakan, “Siapa saja yang tidak murtad itu?” Ia menjawab, “Yaitu Al Miqdad bin Al Aswad, Abu Dzar Al Ghifari dan Salman Al Farisi…” dan tentang hal itulah turun ayat: “Wa maa Muhammadun illaa Rasuulun, qad khalat min qablihir rusulu, a fa in maata ay qutilan qalabtum alaa a’qaabikum” (Dan tidaklah Muhammad itu selain Rasul yang sudah berlaku sebelumnya Rasul-Rasul, apakah jika ia mati atau terbunuh, kamu akan berbalik ke belakang?)” (Rijaalul Kasyi, hal.12,13)
Dan diriwayatkan dari Abu Ja’far, ia pernah berkata, “Orang-orang Muhajirin dan Anshar pergi, kecuali – mengisyaratkan dengan jarinya- tiga orang.” (ibid, hal.13)
Setelah menghabisi dengan “bengis’ keIslaman, kehormatan dan kemuliaan para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajmain sebagai orang-orang murtad, ahli dunia yang haus kekuasaan dan mengubah –ubah ayat Al Qur’an maka kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selanjutnya ditikam Imam Rafidhah Khumaini Al Mal’un dengan penuh ke”bengis”an:
“Dan telah menjadi nyata, sekiranya Nabi benar-benar menyampaikan perintah mengenai “Imamah” sesuai dengan apa yang Allah perintahkan dan berdaya upaya untuk hal itu, niscaya tidak akan timbul di negeri-negeri Islam semua perselisihan, pertengkaran dan peperangan-peperangan itu dan tidak akan timbul pertentangan dalam pokok agama maupun cabangnya.” (ibid, hal.155)
Setelah menuduh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati perintah Allah tentang imamah kepada Ali radhiyallahu ‘anhu maka sekarang giliran Khumaini Al Mal’un ini yang berani berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dengan Imamah-lah agama menjadi lengkap dan misi menjadi sempurna” (ibid, hal.145)
Bagaimana kedudukan Khumaini di sisi para pembesar Ikhwanul Muslimin?
Inilah Pembesar Ikhwani yang Menghadiri Perayaan Mengenang Khomeini:
Karena Al Qaradhawi tidak mengharamkan perayaan-perayaan yang berasal dari Yahudi dan Nashara maka dia pun telah menghadiri banyak perayaan tersebut. Misalnya, ia menghadiri perayaan tahunan mengenang kepergian Khumaini. Kedutaan Iran merayakan pesta di Dafnah dalam rangka mengenang tewasnya Khumaini. Tentang perayaan tersebut diberitakan oleh harian yang terbit tanggal 17 Muharram 1417 H. Inilah teksnya :
Perayaan dihadiri oleh banyak tamu, di antaranya oleh Dr. Syaikh Yusuf Al Qaradhawi dan para diplomat … .
Perayaan tersebut mencakup ceramah-ceramah agama dan qasidah-qasidah mengenang Imam Al Khumaini yang dilantunkan dengan dua bahasa, Arab dan Persia, setelah itu diiringi pesta makan malam. Perayaan yang diadakan oleh kedutaan ini diselenggarakan sore hari kemarin di kediaman mereka di pemukiman diplomat di Dafnah dalam rangka mengenang tewasnya Imam Al Khumaini di tahun yang ketujuh.
Saudaraku yang mulia, perayaan mengenang perginya seorang pemimpin seperti ini dan yang sejenisnya adalah bid’ah. Tidak ada sedikitpun perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan belum pernah terjadi di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Serta belum pernah shahabat mengadakan perayaan dalam rangka mengenang kepergian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, imam manusia seluruhnya. Demikian juga para imam kaum Muslimin setelah mereka. Adapun perbuatan Qaradhawi semacam ini termasuk bersekutu dalam kebid’ahan, bid’ah yang baru, dan taklid kepada Barat. Tentang ini telah disebutkan dalil-dalil mengenai keharamannya. Begitu juga perbuatan ini termasuk turut serta memperbesar syi’ar Rafidhah (Syi’ah). Sesungguhnya Al Khumaini –orang yang Qaradhawi turut serta dalam perayaan bid’ahnya dalam rangka mengenang matinya– adalah orang jahat yang telah mencela shahabat Nabi dan mengkafirkan sebagian mereka sedang ia sendiri adalah salah seorang imam dari firqah Itsna ‘Asyariyah, firqah Syi’ah yang meyakini bahwa terdapat Al Qur’an yang turun kepada Fatimah, selain Al Qur’an yang diketahui para Muslimin.
Al Khumaini mempunyai perkataan yang karenanya ia dikafirkan oleh para ulama. Diantaranya ia mengatakan :
Sesungguhnya Imam (yakni Imam Syi’ah) mempunyai maqam (kedudukan) yang dipuja dan derajat yang tinggi dan kekuasaan takwiniyah (membina, mengelola) yang seluruh penghuni alam semesta tunduk kepada kekuasaannya. (Wilaayah Kauniyah, halaman 52)
Ia berkata tentang para imam Syi’ah Itsna ‘Asyariyah sebagai berikut :
Sesungguhnya yang termasuk kepercayaan pokok mazhab kita adalah bahwa para imam kita mempunyai maqam (kedudukan) yang tidak dimiliki baik oleh malaikat yang dekat dengan Allah ataupun seorang nabi yang diutus.
Bahkan ia menjadikan ajaran-ajaran imam mereka sama seperti ajaran-ajaran Al Qur’an di mana ia mengatakan :
”Sesungguhnya ajaran-ajaran para imam adalah sama seperti ajaran-ajaran Al Qur’an yang tidak dikhususkan bagi satu generasi saja. Dan sesungguhnya ia merupakan ajaran bagi semua orang di setiap masa dan setiap negeri sampai hari Kiamat maka wajib untuk melaksanakan dan mengikutinya”.
Dan sungguh ia telah menuduh Abu Bakar As Shiddiq dan Al Faruq Umar bin Khattab dengan kemunafikan.
Pembaca yang budiman, bukanlah tujuanku di sini untuk memaparkan biografi Al Khumaini, akan tetapi sebagai peringatan akan kejahatannya. Bersamaan dengan itu seorang yang dianggap sebagai ahli fiqh umat Islam, yakni Qaradhawi, adalah orang yang dengan serta merta menghadiri perayaan yang diadakan dalam rangka mengenang matinya orang jahat ini!
Dan ini tidaklah aneh jika disandarkan kepada seorang Qaradhawi yang menganut pemahaman Ikhwani. Karena mereka sejak zaman dahulu kala telah berdakwah untuk mendekatkan antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah. Qaradhawi sendiri adalah salah satu dari dai-dai mereka sebagaimana akan datang penjelasannya nanti.

12. Propaganda Pendekatan Sunnah Dan Syi’ah
Dakwah pendekatan antara Sunnah dan Syi’ah adalah dakwah pembauran dua hal yang berlawanan dan penggabungan yang mustahil, dakwah yang berpanjikan persatuan dan menentang perpecahan, bekerja sama dalam permasalahan-permasalahan kontemporer yang sebagai imbalannya adalah mempertaruhkan kehormatan para shahabat radliyallahu ‘anhum bahkan akidah Salaf.
Inilah dakwah yang menghancurkan pondasi yang besar dari pokok-pokok keyakinan Muslimin yaitu Al Wala’ wal Bara’. Dakwah yang muncul dari manusia-manusia jahat yang menyimpang dari As Shirathal Mustaqim dan petunjuk yang benar seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh Al Mishri, dan para pengikutnya seperti pemimpin hizib Ikhwan, Hasan Al Banna lalu bersambung kepada Al Ghazali, As Siba’i, dan Qaradhawi.
Mereka perbudak pena-pena mereka, mimbar-mimbar, serta karangan-karangan mereka untuk mencapai tujuan mereka. Lalu mereka menghiasinya dengan panji-panji yang mengkilat dan kata-kata manis hingga para Muslimin yang awam tertipu dengannya. Berikutnya, sejenak kita berbincang dengan salah satu dai tersebut, yaitu Qaradhawi.
Sungguh ia telah melontarkan ceramahnya dalam upacara wisuda yang ditulis oleh Harian Akhbarul Khalij yang terbit tanggal 20/9/1998. Inilah nukilan tulisan wartawan tersebut :
“Yang mulia Syaikh Doktor Qaradhawi telah mengisyaratkan kepada sikap dan toleransinya terhadap pelbagai mazhab Sunni dan mazhab lainnya seperti Syi’ah, Zaidiyah, dan Ibadhiyah. Dia berkata :
Sesungguhnya kita tidak merasa sesak dengan perbedaan mazhab sebagaimana lslam tidak merasa sesak dengan perbedaan agama, maka perbedaan itu suatu hal yang pasti terjadi khususnya furu’ (cabang) dalam sebagian masalah-masalah (fiqh, peny.) dan furu’ dalam masalah akidah. Karena dasar-dasarnya –Alhamdulillah– masih disepakati, kita adalah pemeluk agama yang satu dan kiblat kita satu dan kadang perbedaan tersebut terjadi di seputar masalah-masalah yang berkenaan dengan af’alil ibad (perbuatan hamba) dan tanggung jawab mereka terhadapnya. Dan menyangkut masalah kemakshuman para imam Syi’ah dan imamiyah itu semua pada dasarnya adalah masalah furu’ dalam akidah akan tetapi perkara yang mendasar tetap disepakati, maka tidaklah berbahaya perbedaan dan perselisihan dalam masalah furu’ dan semua dapat digabungkan menjadi satu.
Qaradhawi menguatkan bahwa perbedaan mazhab adalah hal yang harus terjadi dalam agama, bahasa, kemanusiaan, dan sunnah kauniyah. Ia memberikan beberapa contoh tentang itu. Yakni tidak perlu orang yang bermadzhab Syi’ah untuk meninggalkan Syi’ahnya akan tetapi ajakan untuk pendekatan merupakan tuntutan bagi kita untuk menyatukan sikap dalam menghadapi persoalan-persoalan masa kini.”
Untuk mempermudah memahami perkataan Qaradhawi di atas kami akan meringkasnya menjadi beberapa poin :
1. Tuduhannya bahwa Islam bertoleransi dengan madzhab-madzhab seperti Syi’ah, Zaidiyah, dan Ibadhiyah.
2. Pengakuannya bahwa ia tidak merasa sesak dengan perbedaan mazhab sebagaimana Islam tidak merasa sesak dengan perbedaan agama.
3. Ia membagi akidah menjadi furu’ (cabang) dan ushul (pokok).
4. Tuduhannya bahwa keimanan Ahlus Sunnah dan Syi’ah, Zaidiyah, Ibadiyah adalah satu.
5. Tuduhannya bahwa masalah kemakshuman dalam Imamiyah adalah termasuk furu’ dalam akidah adapun pokoknya adalah sama.
6. Ia tidak meminta seorang Syi’ah untuk meninggalkan ajaran Syi’ah.
7. Ajakan dia untuk taqrib (pendekatan).

Poin pertama, yaitu tuduhannya bahwa Islam bertoleransi dengan pelbagai mazhab seperti Syi’ah, Ibadhiyah, dan Zaidiyah maka kami katakan pada Qaradhawi :
Sesungguhnya kalimat Islam apabila dilontarkan tidak dimaksudkan kecuali Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran Salafus Shalih dari para sahabat radliyallahu ‘anhum dan para pengikut setelah mereka. Oleh karena itu tidak ada toleransi antara mereka dengan orang-orang yang disebut dari firqah-firqah bid’ah. Karena hal ini bertentangan dengan ajaran Islam dalam banyak permasalahan ushul, baik masalah keyakinan ataupun hukum. Dan apabila yang dimaksud dengan Islam adalah Islam yang berdiri di atas pemahaman Khalaf dari pengamalan (meninggikan) hawa nafsu dan perubahan nas-nas secara maknawi, yang ini mungkin untuk bertoleransi bersama dengan seluruh golongan-golongan mubtadi’ karena sumber mereka adalah satu.

Poin kedua, bahwa ia tidak merasa sesak dengan perbedaan mazhab. Ini bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah yang menyeru pada persatuan dan membuang perpecahan dan perselisihan. Firman Allah :
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu maka sembahlah Aku.” (QS. Al Anbiya’ : 92)
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran : 103)
Dan dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut banyak yang akan disebutkan dalam pembicaraan tentang pemecahbelahan Qaradhawi terhadap umat.
Maka apabila perpecahan diharamkan dalam agama kita dan merupakan penyebab kelemahan orang Islam dan hilangnya kekuatan mereka maka bagaimanakah seorang Muslim rela dengan perkara ini dan tidak merasa sesak sedikit pun.

Poin ketiga, ia membagi akidah menjadi furu’ (cabang) dan ushul (pokok). Pembagian ini tidaklah datang dari Allah ataupun Rasul-Nya dan belum pernah dikerjakan oleh para Salaf dan juga para pengikutnya, ulama, dan para imam bahkan mereka mengingkari Mu’tazilah yang membagi syariat menjadi ushul dan furu’. Mereka menjadikan masalah-masalah akidah sebagai ushul dan hukum-hukum syar’i sebagai furu’. Ibnul Qayyim telah menghancurkan bangunannya sampai ke dasar-dasarnya hingga runtuh menimpa mereka.
Dan diantara komentar beliau (Ibnul Qayyim) tentang pembagian ini adalah :
“Setiap pembagian yang tidak ditopang oleh Al Qur’an dan As Sunnah dan pokok-pokok syariat serta tidak diperhatikan (dikategorikan) oleh syariat maka ia adalah pembagian yang batil dan harus dicampakkan dan pembagian ini yakni pembagian agama menjadi ushul dan furu’ adalah salah satu dari dasar-dasar kesesatan mereka.” (Mukhtashar As Shawaa’iq, halaman 412)
Apabila ulama dan para imam kita mengingkari Mu’tazilah menyangkut pembagian ini maka aku tidak mengerti bagaimana bisa Qaradhawi dengan leluasa berpendapat seperti itu serta menuliskannya dalam setiap buku-buku dan menyampaikannya dalam pertemuan-pertemuannya. Terlebih lagi ia membagi akidah menjadi ushul dan furu’ yang mana kaum Mu’tazilah masih menganggapnya ushul, semua ini menunjukkan bahwa ia telah mengikuti pendapat-pendapat yang ganjil yang menyelisihi manhaj Salaf radliyallahu ‘anhum.

Poin keempat, tuduhannya bahwa keimanan Ahlus Sunnah, Syi’ah, Zaidiyah, dan Ibadhiyah adalah sama. Kemungkinan ia jahil dengan keyakinan firqah-firqah tersebut atau itu adalah pengkaburan terhadap Muslimin karena perbedaan antara keimanan Ahlus Sunnah dengan keimanan firqah-firqah tersebut adalah hal yang tidak samar lagi bagi siapa yang mempunyai sedikit dari ilmu yang bermanfaat (ilmu agama) terlebih lagi mereka yang dijuluki dengan gelar-gelar yang besar. Agar menjadi jelas perbedaan antara keimanan Ahlus Sunnah dengan keimanan firqah-firqah tersebut akan aku sebutkan beberapa perbedaan :
1. Sesungguhnya keimanan Ahlus Sunnah berdasarkan keyakinan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk. Sementara mereka (firqah-firqah tersebut) meyakini bahwa Al Qur’an itu makhluk.
2. Iman Ahlus Sunnah berdiri atas dasar keyakinan bahwa Mukminin akan melihat Rabb mereka sedang Zaidiyah dan Ibadhiyah tidak mengimaninya.
3. Iman Ahlus Sunnah tegak berdasar keyakinan bahwa para pelaku dosa besar adalah ahli maksiat bukan orang kafir dan mereka berada di bawah kehendak Allah, apakah Dia menyiksanya dengan azab atau mengampuninya. Sedangkan Zaidiyah mengatakan bahwa pelaku dosa besar berada pada satu tempat di antara dua tempat, manzilah baina manzilatain, bukan orang mukmin, bukan pula orang kafir. Adapun Ibadhiyah mereka meyakini bahwa pelaku dosa besar adalah kafir, oleh karena itu mereka mengkafirkan masyarakat Muslim.
Perbedaan-perbedaan di atas hanyalah sebagai contoh karena bukan di sini tempatnya untuk membeberkannya secara panjang lebar. As Syahristany mengakui bahwa keyakinan Zaidiyah adalah keyakinan Mu’tazilah di mana ia berkata :
“Adapun dalam permasalahan ushul, mereka berpendapat dengan pendapat Mu’tazilah selangkah demi selangkah.” (Al Milal Wan Nihal I:319)
Ar Razy menyebutkan hal ini juga dalam Al Mahshal halaman 248. Begitu juga disebutkan oleh Al Maqbaly dalam Al ‘Ilmu Asy Syaamikh halaman 319. Ini adalah berkenaan dengan Zaidiyah yang tergolong firqah Syi’ah yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah. Maka bagaimanakah dengan firqah Syi’ah lainnya yang jauh menyimpang dari manhaj Ahlus Sunnah?!
Namun demikian, Qaradhawi menyamakan semua firqah ini dan pemikiran-pemikiran yang dibawanya serta keyakinan-keyakinan yang batil dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah para pemeluk keyakinan yang murni dan bersih yang disarikan dan diambil dari Kalamullah dan sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berdasarkan pemahaman Salafus Shalih.

Poin kelima, tuduhannya bahwa kemakshuman dalam Syi’ah Imamiyah adalah termasuk dalam masalah furu’iyah dalam akidah.
Dan bantahan terhadap point ini dari dua sisi :
Yang pertama, penjelasan tentang hakikat keyakinan ini. Aku berkata, kemakshuman menurut Syi’ah tergolong permasalahan ushul yang besar yang termasuk dasar akidah mereka. Syi’ah meyakini bahwa para imam mereka makshum dari segala kesalahan dan kealpaan dan dari melakukan dosa-dosa besar ataupun dosa-dosa kecil. Keyakinan ini tercantum dalam banyak kitab-kitab yang mereka jadikan sebagai bahan rujukan, antara lain kitab Aqa’idul Imamiyah karangan tokoh Syi’ah masa kini, Muhammad Ridha Mudhaffar, An Nukatul I’tiqadiyah karangan Al Mufid, kitab Al Bihar susunan Al Majlisy. Sungguh ia telah mengisahkan bahwa kemakshuman para imam Syi’ah merupakan kesepakatan mereka. Tidak cukup di situ saja bahkan mereka menjadikan para imam mereka berkedudukan yang lebih tinggi dari kedudukan para nabi dan malaikat.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Al Khumaini :
Merupakan hal pokok dalam mazhab kita bahwa para imam kita mempunyai kedudukan yang tidak bisa diraih oleh malaikat yang dekat ataupun nabi-nabi yang diutus.” (Al Wilayah At Takwiiniyah, halaman 52)
Inilah kemakshuman menurut Syi’ah.
Yang kedua, penjelasan tentang kebatilan keyakinan yang rusak ini dan itu dilihat juga dari dua sisi :
a. Bahwasanya kemakshuman yang dijadikan oleh Syi’ah bagi para imam mereka tidak terdapat pada para Nabi. Allah berfirman menceritakan tentang Nabi Adam ‘Alaihis Salam (artinya):
“Dan durhakalah Adam kepada Rabbnya dan sesatlah ia. Kemudian Rabbnya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.” (QS. Thaha : 121-122)
Allah juga berfirman :
Keduanya berkata (artinya): “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raf : 23)
Dan inilah rasul kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Allah berfirman tentang beliau (artinya):
“Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang) sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta.” (QS. At Taubah : 43)
Allah juga berfirman :
“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa).” (QS. Abasa : 1-4)
Dahulu orang-orang musyrik menawarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam agar menjadikan bagi mereka suatu hari dimana para hamba sahaya seperti Ibnu Mas’ud dan Bilal tidak bisa menghadirinya. Hal tersebut sempat terbersit dalam hati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam akan tetapi Allah menurunkan ayat (artinya):
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi hari dan petang hari sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya.” (QS. Al An’am : 52)
Allah berfirman :
“Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya (artinya): ‘Tahanlah terus istrimu dan bertaqwalah kepada Allah.’ Sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya dan kamu takut kepada manusia sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” (QS. Al Ahzab : 37)

Terdapat hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang menunjukkan bahwa beliau tidak ma’shum secara mutlak. Beliau bersabda (artinya):
“Tidak lain aku hanyalah seorang manusia biasa, kadang datang padaku sebuah perkara. Maka barangkali sebagian dari mereka lebih pandai menyampaikan dari yang lainnya. Maka aku menyangka bahwa ialah yang benar (jujur) maka aku memenangkannya. Dan barangsiapa yang telah aku menangkan perkaranya dengan mengorbankan hak seorang Muslim maka tidak lain itu adalah percikan api neraka maka hendaklah ia menanggungnya atau meninggalkannya.” (HR. Muslim)

Dalam dalil ini terdapat penjelasan bahwa para nabi kadang jatuh dalam kesalahan hanya saja mereka tidak membenarkan kesalahan tersebut. Ini adalah kebalikan dari apa yang diyakini Syi’ah tentang para imam mereka bahwa mereka tidak mungkin melakukan kesalahan, baik disengaja ataupun lalai.
b. Bahwa keyakinan yang diakui oleh Syi’ah tentang para imam mereka, membawa mereka dalam hal-hal sebagai berikut :
– Setiap perkataan yang muncul dari para imam mereka yang dua belas adalah sama kedudukannya seperti firman Allah dan sabda Nabi. Oleh karena itu bahan rujukan mereka dalam hadits sanad-sanadnya kebanyakan berhenti pada salah satu imam mereka.
– Ketika mereka berselisih dan bersengketa maka mereka merujuk kepada perkataan imam mereka. Ini bertentangan dengan Al Qur’an di mana Allah telah berfirman (artinya):
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59)
– Berlebih-lebihan dalam kubur-kubur mereka dan menjadikannya tempat ziarah dan perayaan. Mereka menjadikan perbuatan ini sebagai dasar-dasar keyakinan mereka dan membuat bab-bab khusus tentang masalah ini dalam buku-buku dan karangan karangan mereka.
Pembaca, setelah mengetahui apa arti kemakshuman menurut mereka (Syi’ah) dan penyelisihan mereka dengan akidah yang benar, yakni akidah Salafus Shalih, masihkah dikatakan bahwa ‘ishmah termasuk masalah furu’ dalam akidah? Maha Suci Allah, ini adalah kebohongan yang besar! Allah berfirman (artinya):
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya?” (QS. Al Ankabut : 68)
Allah juga berfirman (artinya) : “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengadakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada agama Islam.” (QS. As Shaff: 7)
Adapun tuduhannya bahwa hal-hal yang mendasar telah disepakati adalah dakwaan yang sangat jelas kebatilannya. Karena Syi’ah dan sekte-sektenya seperti Zaidiyah dan Ibadhiyah dan sebagainya mempunyai ushul yang berbeda dengan ushul Ahlus Sunnah, baik dalam hukum ataupun dalam akidah.
Dan telah disebutkan beberapa perbedaan Ahlus Sunnah dengan firqah-firqah yang disebutkan Qaradhawi, maka aku tidak mengerti hal-hal mendasar apakah yang disepakati oleh Ahlus Sunnah dan Syi’ah menurut pemahaman Qaradhawi.
Seandainya apa yang dimaksud dengan hal mendasar tersebut adalah akidah maka ini tidak bisa diterima karena akidah Syi’ah dalam masalah Asma’ was Shifat diambil dari Mu’tazilah. Dalam masalah qadar dari Qadariah. Serta dalam masalah shahabat mereka mengkafirkan sekelompok besar dari sahabat, melaknat mereka, dan menuduh mereka dengan pelbagai kejahatan dan tidak bersandar (berpegang) dengan apa yang mereka riwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Dan seandainya ia bermaksud dengan assasiyat (hal-hal mendasar, asasi) adalah bahwa dasar-dasar Syi’ah yang dijadikan rujukan oleh mereka adalah dasar-dasar Ahlus Sunnah, itu sama batilnya dengan yang sebelumnya. Dasar-dasar Syi’ah bukanlah dasar-dasar Ahlu Sunnah! Dasar-dasar Ahlus Sunnah adalah Al Qur’an dan dua kitab shahih milik Bukhari-Muslim dan apa-apa yang shahih dari sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang dicatat oleh para ulama umat Islam seperti Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, An Nasai, Ibnu Majah, Musnad Ahmad, dan kitab-kitab sunan yang lain.
Adapun Syi’ah tidak menjadikan semua ini sebagai dasar-dasar mereka. Tentang sikap mereka terhadap Al Qur’anul Karim, adapun penganut Itsna ‘Asyariyah berkeyakinan bahwa Al Qur’an sudah diselewengkan sedangkan Al Qur’an yang sempurna adalah yang diturunkan kepada Fatimah setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Mereka menamakannya Al Qur’an yang lain itu Mushaf Fathimah dan ini diakui dalam kitab-kitab Syi’ah Imamiyah serta dijelaskan secara terang-terangan. Seperti dalam kitab Al Kaafi milik Al Kulaini dan lain sebagainya. Orang-orang ini (Syi’ah) tidaklah memahami Al Qur’an dengan pemahaman shahabat bahkan mereka menakwilnya dengan takwilan batiniyah sebagaimana yang sudah dikenal dari mereka.
Pembaca, setelah Anda mengetahui penyelisihan Syi’ah dengan Ahlus Sunnah dalam masalah akidah dan dalam dasar-dasar rujukan, Anda mengerti bahwa tidak ada kata sepakat antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah. Tuduhan Qaradhawi bahwa ada hal-hal mendasar yang disepakati adalah tuduhan sesat dan batil yang jelas serta merupakan pemutarbalikan fakta yang semua itu ditujukan dalam rangka dakwah taqrib (pendekatan) antara Syi’ah dan Sunnah, dakwah pendekatan antara tauhid dan syirik, petunjuk dan kesesatan, kegelapan dan cahaya, sunnah dan bid’ah! Dakwah yang berusaha mendekatkan kecintaan pada shahabat dan meneladani mereka dengan pelaknatan dan pencelaan terhadap mereka dan ajaran-ajaran syar’i yang mereka bawa. Dakwah yang mengupayakan penyatuan dua hal yang berlawanan!
Dakwah ini tidak bertujuan untuk mendekatkan Syi’ah kepada Sunnah, hal ini tidaklah diinginkan oleh Qaradhawi seperti apa yang diakuinya. Katanya :
Tidaklah diharapkan dari seorang yang bermadzhab Syi’ah untuk meninggalkan Syi’ahnya akan tetapi ajakan untuk pendekatan … . Dan seterusnya.
Benarlah perkataan Syaikh Ihsan Ilahi Dzahir :
“Maka menjauhlah persatuan yang didirikan dengan mengorbankan Islam dan celakalah persatuan yang dibangun atas dasar pencelaan terhadap Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya radliyallahu ‘anhum.” (As Sunnah wasy Syi’ah hal.7)
Benarlah perkataan Muhaddits masa kini, Syaikh Al Albaniy :
“Jauh sekali kemungkinan pendekatan dan saling memahami bersama mereka (Syi’ah) bahkan setiap usaha untuk mencapainya akan gagal. Dan hanya pada Allah kita memohon pertolongan.” (Ad Dha’iifah, hadits nomor 1893)
Pembaca, ketahuilah bahwa pertentangan nyata terjadi antara Ahlus Sunnah dan Syi’ah.
“Tidak ada jalan untuk menghapus perbedaan itu dan membenarkan upaya pendekatan antara Ahlus Sunnah dengan Syi’ah sementara mereka (Syi’ah-Rafidhah) masih terus bertahan dalam keganjilan mereka menjauhi jamaa’atul Muslimin. Dan tidaklah mungkin mempertemukan Ahlus Sunnah dan Syi’ah mencapai suatu hasil, apakah melalui acara dialog, diskusi atau muktamar-muktamar dalam rangka memhahas perselisihan kita dengan mereka dalam masalah dasar-dasar aqidah dan hukum (Dalam tanda kutip adalah perkataan penulis Kitab Masalah At Taqrib Baina As Sunnah wa Asy Syi’ah.) .” Sesungguhnya orang-orang yang berjalan dalam rangka mendekati mereka dan berdakwah kepada yang demikian adalah para dai yang menyeru pada kesesatan dan penyimpangan dari jalan yang lurus!!
(Sumber : Kitab Raf’ul Litsaam ‘An Mukhaalaafatil Qaradhawi Li Syari’atil Islaam, edisi Indonesia Membongkar Kedok Al Qaradhawi, Bukti-bukti Penyimpangan Yusuf AL Qardhawi dari Syari’at Islam. Penerbit Darul Atsar Yaman. Diambil dari http://www.assunnah.cjb.net )

Apa lagi yang dapat dikatakan oleh para propagandis pendekatan antara Sunnah dengan Syi’ah? Apa lagi yang bisa dikatakan oleh orang-orang yang lancang menyerukan persatuan dan kesatuan antara Islam dengan agama Syi’ah? Apa tujuan tersembunyi yang hendak kalian kejar wahai hizbiyyun untuk mempersatukan kaum Muslimin dengan agama “bengis” Syi’ah yang berkeyakinan bahwa mayoritas shahabat telah kafir? Bahwa Al Qur’an telah diubah-ubah dan dipalsukan oleh para shahabat? Bahwa dusta adalah pokok-pokok dari agama? Dan yang lebih hebat lagi, menganggap bahwa dusta adalah jalan yang laping penting untuk mendekatkan diri kepada Allah? Persatuan apa yang sesungguhnya kalian inginkan dengan agama hasil bikinan Yahudi itu? Bagaimana dapat disatukan antara Al haq dengan Al Bathil? Bagaimana kaum Muslimin bisa bersatu dengan orang-orang yang mengkafirkan dan mencaci maki para shahabat adalah bentuk ibadah kepada Allah? Tetapi bagi partai politik Ikhwanul Muslimin, sesuatu yang tidak mungkin di sisi Ahlul Haq akan dapat dipoles menjadi “Kenapa tidak?”
Bukankah ada kaidah politik keranjang sampah yang terkumpul padanya sampah-sampah hizbiyyah, sampah-sampah kesesatan yang mereka hambur-hamburkan lagi untuk menyesatkan umat yakni “Kita saling tolong menolong dalam apa-apa yang kita sepakati dan saling dan kita saling memberi udzur (maaf) dalam perkara yang kita perselisihkan”. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.

http://www.salafy.or.id

Tinggalkan komentar