nasionalisme bertentangan dengan ajaran islam

nasionalisme bertentangan dengan ajaran islam

Ikatan persaudaraan yang boleh dimiliki oleh kaum muslimin adalah ikatan aqidah dan hukum-hukum Islam. Jadi tidak bisa dibenarkan adanya persaudaraan-persaudaraan yang dikembangkan atas tali yang lain seperti ikatan persaudaraan setanah air (ukhuwwah wathoniyyah) dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyyah). Sebab tidak ada dalilnya dalam Islam dan Rasulullah saw. bersabda:

“Siapa yang mengerjakan suatu aktivitas yang tidak kami perintahkan atasnya maka amalnya itu tertolak”.

Ukhuwwah Islamiyyah bagi sesama muslim itu harus ada manifestasinya secara nyata, misalnya seorang muslim tidak menzhalimi muslim yang lain dan tidak menyerahkannya kepada musuh. Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasa’i meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Muslim itu saudara seorang muslim, dia tidak menzhaliminya dan tidak menyerahkannya kepada musuh. Siapa saja yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya; dan siapa saja yang membebaskan seorang muslim dari kesulitan, Allah SWT akan membebaskannya dari suatu kesulitan di hari kiamat; dan siapa saja yang menutupi aib sesama muslim niscaya Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat” (lihat Fathul Kabir III/275).

Secara komunal, ukhuwwah Islamiyyah di antara kaum muslimin itu diantaranya diwujudkan dalam tiga bentuk. Pertama, kesatuan umat dan daulah. Kedua, mempertahankan negeri Islam dan pemerintahan khilafah. Ketiga, amar makruf nahi mungkar atas kaum muslimin dan penguasa.

Adalah kewajiban kaum muslimin untuk menolong, melindungi, menjaga dan memberikan bantuannya kepada sesama saudaranya yang muslim dimanapun berada. Sekat-sekat geografis berupa perbatasan negara atau suku bangsa tidak lagi menjadi sesuatu yang menghalangi sesama muslim untuk saling membantu, menjaga dan melindungi. Bukankah Allah SWT telah mempersaudarakan kita –sesama kaum muslimin, dan bukankah Allah SWT pula yang menegaskan bahwa kita satu dengan yang lain adalah saling menjaga, melindungi dan membantu ? Firman-Nya:

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” (QS. At Taubah : 71).

Kendala Bagi Ukhuwah Islamiyyah

Ada kendala yang menghambat terajutnya ukhuwah islamiyyah. Setidaknya penghambat ini berupa ananiyah (akuisme) dan ashabiyah (fanatisme golongan).

Ukhuwah Islamiyyah yang realitas dasarnya kompak, solid dan harmonis serta dilandasi atas rasa cinta dan kasih sayang secara otomatis akan terganggu —bahkan tidak muncul— apabila timbul perilaku akuisme. Dengan adanya sifat akuisme ini seseorang akan cenderung mengukur haq atau bathil, baik atau buruk, terpuji atau tercela menurut penilaian hawa nafsunya sendiri. Kezhaliman atau kemaksiatan akan dicoba dilegitimasi dengan memutarbalikkan ajaran Islam sesuai dengan kepentingan dan kelana berpikirnya sendiri. Bila hal ini terjadi maka pola hubungan cinta dan kasih sayang yang dibangun atas dasar syariat Islam berubah menjadi pola hubungan koncoisme dengan pelaku kezhaliman. Perkara ini, tentu saja, bukan lagi pola ukhuwah islamiyyah.

Adapun ashabiyyah merupakan fanatisme golongan, tercakup di dalamnya sukuisme, kelompokisme, dan nasionalisme. Allah SWT menjelaskan melalui Rasulullah SAW :

“Bukan termasuk golongan kami yang menyeru kepada ashabiyyah (fanatik kelompok/suku/ bangsa), berjuang untuk ashabiyyah dan mati di atas ashabiyyah” (HR.Muslim).

Dengan adanya ashobiyah ini orang-orang akan bersatu karena kesamaan suku, kelompok, atau kepentingannya. Bahkan dengan alasan demi kepentingan nasional, mereka mengorbankan Islam yang universal. Tolok ukur yang dirujuk bukan lagi aturan dan hukum Islam. Semuanya didasarkan pada kepentingan. Ujungnya, tidak lagi membedakan secara tegas antara haq dengan bathil, iman dengan kufur, terikat dengan hukum syara atau sekedar kepura-puraan. Jadilah perbedaan antara Islam, sekularisme, dan agama-agama lain dipandang dengan kacamata ashobiyyah ini sebagai perbedaan dalam kata atau sebutan saja. Disatukanlah antara Islam, sekularisme, nasionalisme, bahkan komunisme atas dasar kepentingan bersama. Melalui ashobiyah demikian ditempuhlah jalan tengah seperti itu yang diridlai oleh seluruh golongan-golongan tadi.

Bahaya pengelompokan berdasarkan kepentingan politik tersebut sangat jelas. Yakni muncul konflik yang nyata maupun laten yang terus menerus. Yang berubah hanyalah para pelaku dan aliansinya. Bahkan itu dikukuhkan oleh adagium politik mereka : Tiada kawan abadi dan tiada musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi! Hakikat dari yang demikian tiada lain adalah tiada pemihakan abadi, kecuali kepentingan dan keuntungan sesaat. Sebagai kaum muslimin, tentu kita sangat khawatir sikap demikian menjatuhkan kita kepada murka Allah SWT. Sebab, Allah telah mencap munafiq pada sikap seperti itu. Dia berfirman:

“Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir); tidak masuk kedalam golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak pula kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya” (QS. An Nisa 143).

Bahaya Sekularisme Terhadap Islam dan Umat Islam

Sekularisme yang diusung oleh para penjajah kolonialis Barat kedunia Islam telah menimbulkan bahaya serius bagi Islam dan kaum muslimin. Mereka mencabut hukum-hukum Islam dalam bidang politik, pemerintahan dan ekonomi, lalu mereka ganti dengan hukum-hukum Barat sekuler. Mereka mengintroduksikan hukum sipil perkawinan untuk membuka jalan bagi proses pemurtadan kaum muslimin melalui modus perkawinan. Mereka membiarkan hukum-hukum Islam dalam peribadatan sebagai strategi memasung kehidupan keislaman kaum muslimin sehingga terbatas dalam masalah-masalah ritual.

Setiap upaya mengembalikan Islam ke arena kehidupan kenegeraan dicegat oleh kolonialis dan para kader pelanjut mereka. Kasus perdebatan panjang pada saat menjelang kemerdekaan Indonesia yang diakhiri dengan kompromi pelaksanaan syari’at Islam secara terbatas (Piagam Jakarta) menunjukkan betapa kaum sekuler yang merupakan kader-kader kolonialis penjajah menentang Islam. Bahkan mereka menelikung kaum muslimin dengan menghapuskan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya” dari Pembukaan UUD 1945.

sumber: buletin al islam (hizbut tahrir)

Tinggalkan komentar